12 Bab II Tinjauan Pustaka Hati merupakan organ visceral terbesar dalam tubuh manusia, yang beratnya mencapai 2-5% dari berat orang dewasa (Radu-Ionita et al., 2020). Fungsi utama hati adalah menyerap, menyimpan, dan mengantarkan nutrisi ke organ lain. Saat menjalankan fungsinya, hati juga menyerap zat yang berpotensi berbahaya seperti obat-obatan, mikroorganisme, atau produk bakteri yang didistribusikan melalui darah portal (Ramadori et al., 2008). Karena itu hati sangat rentan terhadap kerusakan akibat bahan hepatotoksik. Penyakit hati termasuk ke dalam the global burden of mortality and disease (Rehm, Samokhvalov and Shield, 2013). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa sekitar 1,8% orang dewasa, atau 4,5 juta orang, didiagnosis menderita gangguan hati pada tahun 2018. Setiap tahun, sekitar 2 juta orang meninggal karena penyakit hati, 1 juta orang akibat komplikasi sirosis dan 1 juta akibat karsinoma hepatoseluler dan virus hepatitis. Jika berbicara tentang penyebab utama kematian, sirosis berada di peringkat ke-11, sementara kanker hati berada di peringkat ke-16, dan keduanya menyumbang sekitar 3,5% dari seluruh kematian. Sirosis adalah salah satu dari dua puluh masalah kesehatan paling serius di dunia, yang mengakibatkan disability-adjusted life years and years of life lost sebesar 1,6% dan 2,1% dari total beban global. Lebih dari 75 juta orang menderita gangguan penggunaan alkohol yang pada akhirnya meningkatkan risiko terkena penyakit hati. Lebih dari 2 miliar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, dan lebih dari 400 juta diantaranya adalah penderita diabetes; keduanya merupakan faktor risiko karsinoma hepatoseluler dan non-alcoholic fatty liver disease. Beban global akibat virus hepatitis terus meningkat, dan penyakit hati akibat obat masih menjadi penyebab utama hepatitis akut. Beban global akibat virus hepatitis terus meningkat, dan penyakit hati akibat obat masih menjadi penyebab utama hepatitis akut (Asrani et al., 2019). Karibia, Amerika Latin, Afrika Utara, dan Timur Tengah memiliki persentase kematian regional tertinggi akibat penyakit hati; sementara Asia Timur dan Pasifik, 13 Mesir, Mongolia, Moldova, dan Asia Selatan memiliki jumlah kematian tertinggi. Karena populasinya yang besar, India bertanggung jawab atas seperlima (18,3%) dari seluruh kematian akibat sirosis di seluruh dunia, sementara Tiongkok menyumbang 11%. Sirosis lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan di seluruh dunia, meskipun rasionya hampir sama di Moldova dan Rusia (Mokdad et al., 2014). Penyebab sirosis berbeda-beda di setiap wilayah. Di negara- negara industri dan negara-negara Barat, alcoholic and non-alcoholic fatty liver diseases lebih umum terjadi dibandingkan dengan infeksi virus hepatitis; namun, di Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya, hepatitis B masih menjadi penyebab utama (Lozano et al., 2012). Di Mongolia, infeksi virus hepatitis B dan C menyebabkan 99% kasus sirosis, dan 20% pasien mengalami koinfeksi keduanya. Penyakit hati kronis dan sirosis merupakan penyebab kematian utama ke-12 di Amerika Serikat, dan penyebab kematian terbesar ke-4 pada pasien berusia 45-64 tahun (Asrani et al., 2013). Strategi pengobatan sirosis didasarkan pada etiologi dan tingkat keparahan kerusakan hati. Gejala dan komplikasi sirosis dapat dicegah atau diobati dengan terapi yang bertujuan memperlambat perkembangan jaringan parut hati. Tingginya jumlah penderita gangguan liver serta dampak fatal dari penyakit ini masih belum diimbangi dengan pengobatan yang tersedia untuk mengatasinya. Terapi alami dan herbal sering digunakan sebagai alternatif karena potensi hepatoproteksinya. Menurut survei yang dilakukan di Amerika Serikat, 41 persen pasien penyakit hati menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif. Pengobatan herbal yang paling umum digunakan untuk penyakit liver adalah ekstrak biji milk thistle (silymarin) dan bawang putih, diikuti oleh ginseng, teh hijau, gingko, echinacea, dan St. John's wort. Walaupun demikian, transplantasi hati masih menjadi standar perawatan pasien penyakit hati stadium akhir. Namun hingga saat ini, ketersediaan donor hati masih menjadi isu utama (Osna, Donohue and Kharbanda, 2017). Secara patofisiologi, diketahui bahwa meskipun etiologi berbeda dapat menyebabkan penyakit hati, terdapat kesamaan dalam peran radikal bebas, mediator inflamasi, dan mikrobiota usus selama proses perkembangannya. 14 Akibatnya, bahan dengan aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan antidisbiotik berpotensi berperan sebagai hepatoprotektor; dan kefir air adalah salah satunya. Kefir air memiliki efek antioksidan yang kuat dengan IC50 sebesar 92,65 ppm dan menunjukkan aktivitas anti inflamasi (Aligita et al., 2021). Studi lain menyimpulkan bahwa kefir air berpotensi sebagai antioksidan (Alsayadi, Jawfi and Belarbi, 2016) dan sebagai hepatoprotektor terhadap kerusakan hati akibat parasetamol (Aspiras, Flores and Pareja, 2015; W Aligita et al., 2021). Kefir air terdiri dari biofilm kompleks yang dibentuk oleh berbagai bakteri simbiosis dan ragi pada permukaan matriks dekstran polisakarida, suatu polimer dari 1-6 glukosa yang terikat (Neve dan Heller, 2002). Komposisi mikroorganisme dalam kefir air telah dipelajari (Gulitz et al., 2011a; Laureys dan De Vuyst, 2014a; Marsh et al., 2013a; Verce et al., 2019a). II.1 Patofisiologi Penyakit Hati Setiap gangguan yang mempengaruhi hati disebut dengan penyakit hati (Das, 2011). Kondisi ini ditandai dengan penyakit kuning, koagulopati, dan ensefalopati hepatic, diikuti kegagalan multiorgan (multiorgan failure/ MOF) (Dong, Nanchal and Karvellas, 2020). Penyakit liver akut dan kronis dapat dibedakan berdasarkan onsetnya. Jika gejala muncul dalam waktu 6 bulan, pasien dikategorikan menderita penyakit hati akut; namun jika gejalanya berlangsung lebih dari enam bulan, pasien termasuk ke dalam penyakit hati kronis (Das, 2011). Namun definisi ini terlalu sempit dan tidak mencakup seluruh populasi pasien. Gagal hati akut saat ini didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana serangan hati akut menyebabkan perburukan klinis yang cepat, dengan HE terjadi dalam waktu 26 minggu setelah gejala pertama disfungsi hati (ikterus). Jika HE terjadi 26 minggu atau lebih setelah timbulnya gejala penyakit hati, maka dianggap sebagai penyakit hati kronis (Dong, Nanchal and Karvellas, 2020). Penyakit hati kronis dapat disebabkan oleh alkohol, sindrom metabolik, virus hepatitis B atau C, atau adanya penyakit autoimun (Böttcher dan Pinzani, 2017). Respons pertama yang mungkin terjadi adalah peradangan (hepatitis), diikuti perubahan lemak (steatosis), atau keduanya (steatohepatitis). Pada tahap ini, hati 15 masih bisa beregenerasi dan kondisinya berpotensi reversibel. Namun, jika masalah dasar kerusakan hati tidak diatasi, kerusakan dapat berkembang menjadi fibrosis dan akhirnya menjadi sirosis hati (Das, 2011). Deposisi matriks ekstraseluler (extracellular matrix/ ECM) sebagai respons terhadap cedera hati kronis dengan etiologi apa pun menjadi ciri fibrosis hati. Proses ini dimulai dengan aktivasi sel stellate hepatik (hepatic stellate cell/ HSCs), yang awalnya merupakan sel penyimpan vitamin A, menjadi sel yang mirip myofibroblast (Moreira, 2013). Perubahan ini mengaktifkan HSC, menyebabkannya memproduksi kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein (seperti fibronektin). Akumulasi zat-zat ini di hati, menyebabkan pembentukan jaringan ikat non-fungsional yang dikenal sebagai ECM.