131 Bab V Hasil dan Pembahasan Kawasan pendidikan tinggi Jatinangor, yang terletak di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, telah mengalami transformasi lahan yang sangat signifikan sejak tahun 1980-an hingga 2023. Transformasi ini mengubah lanskap agraris yang dulunya didominasi oleh lahan pertanian, khususnya sawah dan ladang, menjadi kawasan urban yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi, ditandai dengan kehadiran universitas besar seperti Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Winaya Mukti (UNWIM). Proses ini dipengaruhi oleh fenomena Studentifikasi, yaitu dampak dari meningkatnya jumlah mahasiswa, yang memicu Gentrifikasi secara umum dan rural Gentrifikasi di kawasan peri-urban metropolitan Bandung. Bab ini menganalisis perubahan tutupan lahan di Jatinangor selama periode 1985 hingga 2023, dengan fokus pada konversi lahan pertanian akibat kehadiran universitas, pertumbuhan bangunan, serta implikasinya terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. V.1 Transformasi spasio-temporal tutupan lahan Jangka Panjang (1985- 2020) Bagian ini mengkaji perubahan kelas lahan di Kecamatan Jatinangor dalam jangka panjang, yaitu pada periode 1985 hingga 2020, menggunakan citra satelit Landsat (GLC30) untuk memahami pola spasial-temporal alih fungsi lahan pertanian, khususnya konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun akibat ekspansi kawasan pendidikan tinggi, sebagai bagian dari upaya menjawab rumusan masalah pertama dan kedua tentang pola perubahan lahan dan faktor pendorongnya. Analisis meliputi pemetaan distribusi kelas lahan, tren luas tutupan lahan setiap lima tahun, matriks transisi kelas lahan, serta pola spasial perubahan lahan pertanian ke terbangun melalui analisis tetangga terdekat, yang semuanya diolah melalui pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode klasifikasi supervised dan post-classification change detection. Hasil analisis divisualisasikan melalui peta perubahan lahan, grafik tren, dan tabel matriks transisi, untuk memberikan gambaran komprehensif tentang dinamika lahan selama 35 tahun, 132 yang menjadi dasar untuk analisis perubahan terkini pada subbab berikutnya serta mendukung identifikasi dampak dan rekomendasi kebijakan tata ruang. Perubahan Spasial Tutupan Lahan di Jatinangor (1985 vs 2020) Analisis perubahan tutupan lahan di Jatinangor selama periode 1985 hingga 2020 menjadi langkah awal untuk memahami dinamika transformasi lahan akibat Studentifikasi dan urbanisasi. Analisis ini menggunakan data dataset Global Land Cover (GLC30) dengan resolusi 30 m (Landsat) (Lampiran B), yang mengklasifikasikan tutupan lahan ke dalam 5 kelas utama: Trees (hutan/pohon), Crops (lahan pertanian), Built Area (permukaan terbangun), Sparse (vegetasi jarang/lahan kosong), dan Water (badan air) (Tabel III.3). Total luas kawasan studi ditetapkan sebesar 2.548,14 hektar, sesuai dengan poligon batas administrasi Kecamatan Jatinangor dari Tanah Air Indonesia tahun 2023, yang mencakup 12 desa: Cipacing, Sayang, Mekargalih, Cinta Mulya, Ciseumpur, Jatimukti, Jatiroke, Hegarmanah, Cikeruh, Cibeusi, Cileles, dan Cilayung. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan luas antar kelas tutupan lahan, tren perubahan antar waktu, transisi antar kelas, serta pola spasial perubahan menggunakan analisis nearest neighbor. Transformasi lahan di Jatinangor dapat dijelaskan melalui teori Studentifikasi yang dikemukakan oleh Smith (2005), yang mendefinisikan Studentifikasi sebagai proses perubahan sosial, ekonomi, dan fisik di suatu kawasan akibat meningkatnya jumlah mahasiswa, yang memicu konversi lahan untuk kebutuhan hunian dan fasilitas pendukung. Dalam konteks Jatinangor, Studentifikasi menjadi pendorong utama perubahan tutupan lahan, dengan kehadiran mahasiswa yang meningkat pesat sejak relokasi Universitas Padjadjaran (UNPAD) pada 1983, menciptakan permintaan besar terhadap lahan untuk pembangunan kos-kosan, gedung kampus, dan fasilitas komersial. Selain itu, teori land use change dari Lambin dkk. (2001) dalam jurnal Global Environmental Change menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan sering dipicu oleh faktor proksimal seperti urbanisasi dan faktor mendasar seperti kebijakan pemerintah, yang dalam kasus Jatinangor terlihat dari kebijakan relokasi universitas dan pembangunan infrastruktur seperti Tol Cisumdawu. 133 Untuk memberikan gambaran perbandingan luas tutupan lahan pada dua titik waktu penting, yaitu 1985 (sebelum Studentifikasi mencapai puncaknya) dan 2020 (setelah transformasi signifikan terjadi), data disajikan dalam tabel berikut. Tabel V.1. Perbandingan Luas Tutupan Lahan di Jatinangor (1985-2020) Kelas Tutupan Lahan Luas 1985 (ha) Persentase 1985 (%) Luas 2020 (ha) Persentase 2020 (%) Perubahan Luas (ha) Persentase Perubahan (%) Trees 593 23.3% 348.38 13.7% -244.62 -41% Crops 1361.08 53.4% 725.74 28.5% -635.34 -47% Built Area 417.38 16.4% 1062.45 41.7% 645.07 155% Sparse 176.68 6.9% 410.05 16.1% 233.37 132% Water 0 0.0% 1.52 0.1% 1.52 - Total 2548.14 100.0% 2548.14 100% 0 0% Sumber: Hasil Analisis, 2025 Tabel V.1 mengungkapkan perubahan dramatis dalam komposisi tutupan lahan di Jatinangor selama 35 tahun. Pada tahun 1985, kelas Crops (lahan pertanian) mendominasi dengan luas 1.361,08 hektar atau 53,4% dari total kawasan sebesar 2.548,14 hektar, yang menunjukkan karakter agraris Jatinangor pada masa itu, dengan mayoritas lahan digunakan untuk pertanian seperti sawah, ladang, atau tanaman pangan. Namun, pada tahun 2020, luas Crops menyusut drastis menjadi 725,74 hektar atau 28,5%, mengalami penurunan sebesar 635,34 hektar atau 47% dari luas awalnya. Penurunan ini sangat signifikan dan dapat dijelaskan melalui teori land rent dari Ricardo (1817), yang menyatakan bahwa lahan dengan nilai ekonomi lebih tinggi (seperti lahan terbangun di kawasan pendidikan) akan menggantikan lahan dengan nilai lebih rendah (seperti lahan pertanian), terutama di kawasan peri-urban yang mengalami tekanan urbanisasi. Dalam konteks Jatinangor, Studentifikasi meningkatkan nilai lahan untuk pembangunan kos- kosan, gedung kampus, dan fasilitas pendukung, sehingga lahan pertanian yang kurang menguntungkan secara ekonomi dikonversi. Sebaliknya, kelas Built Area (area terbangun), yang mencakup bangunan, jalan, dan infrastruktur lainnya, mengalami peningkatan pesat dari 417,38 hektar (16,4%) pada 1985 menjadi 1.062,45 hektar (41,7%) pada 2020, atau bertambah 645,07 hektar dengan persentase kenaikan mencapai 155%. Peningkatan ini mencerminkan 134 ekspansi infrastruktur yang masif, seperti gedung kampus, kos-kosan mahasiswa, perumahan, dan fasilitas komersial, yang menjadi ciri utama transformasi Jatinangor menjadi kawasan urban pendidikan tinggi. Fenomena ini sejalan dengan teori urbanisasi dari Friedmann (1973), yang menjelaskan bahwa urbanisasi di kawasan peri-urban sering ditandai dengan konversi lahan agraris menjadi lahan terbangun untuk mendukung pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi. Kelas Trees (hutan/pohon) mengalami penurunan dari 593 hektar (23,3%) pada 1985 menjadi 348,38 hektar (13,7%) pada 2020, atau berkurang 244,62 hektar (- 41%). Penurunan ini menunjukkan adanya deforestasi yang signifikan, terutama di desa-desa pinggiran seperti Cileles dan Cilayung. Penurunan hutan ini dapat dihubungkan dengan teori deforestation dari Geist & Lambin (2002), yang menyatakan bahwa pembukaan lahan untuk pembangunan sering menjadi pendorong utama deforestasi di kawasan yang mengalami urbanisasi cepat, seperti yang terjadi di Jatinangor akibat kebutuhan lahan untuk universitas dan permukiman mahasiswa. Sementara itu, kelas Sparse (vegetasi jarang) meningkat dari 176,68 hektar (6,9%) pada 1985 menjadi 410,05 hektar (16,1%) pada 2020, atau bertambah 233,37 hektar (+132%). Peningkatan ini mengindikasikan adanya lahan pertanian atau hutan yang ditinggalkan dan berubah menjadi lahan peralihan dengan vegetasi jarang, sering kali sebagai tahap sementara sebelum dikonversi menjadi lahan terbangun. Kelas Water (badan air) sedikit meningkat dari 0 hektar (0%) pada 1985 menjadi 1,52 hektar (0,1%) pada 2020, kemungkinan akibat pembangunan waduk kecil atau perubahan aliran sungai. Poin penting dari Tabel V.1 adalah dominasi Built Area pada tahun 2020, yang menunjukkan bahwa Jatinangor telah bertransformasi menjadi kawasan urban yang padat, dengan lahan pertanian (Crops) dan hutan (Trees) mengalami tekanan konversi yang sangat besar. Proses ini didorong oleh Studentifikasi dan urbanisasi, sebagaimana dijelaskan oleh teori Smith (2005) dan Friedmann (1973). Untuk memberikan gambaran visual yang lebih jelas tentang distribusi spasial perubahan tutupan lahan ini, peta tematik yang membandingkan kondisi pada tahun 1985 dan 2020 disajikan berikut ini, sehingga memudahkan pemahaman tentang bagaimana lanskap Jatinangor berubah secara geografis. 135 Gambar V.1. Peta Distribusi Tutupan Lahan pada 1985 Hingga 2020 Sumber: Hasil Analisis, 2025 Gambar V.1 memberikan visualisasi yang sangat jelas tentang perubahan tutupan lahan di Jatinangor. Pada peta tahun 1985, warna Kuning yang mewakili Crops (Tanaman Pertanian/Perkebunan) mendominasi di desa-desa seperti Hegarmanah, Ciseumpur, dan Cikeruh, yang menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah ini masih digunakan untuk aktivitas pertanian. Warna hijau tua (Trees / Pepohonan) juga terlihat cukup luas di desa-desa pinggiran seperti Cileles dan Cilayung, 136 menandakan adanya tutupan pohon yang masih signifikan pada masa itu. Sementara itu, Built Area (Area Terbangun) yang ditunjukkan dengan warna merah hanya terlihat di sekitar Jalan Raya Jatinangor, yang merupakan koridor utama kawasan ini, dengan luas yang masih sangat terbatas, hanya mencakup bangunan- bangunan kecil dan infrastruktur dasar. Namun, pada peta tahun 2020, perubahan yang sangat mencolok terlihat dengan meluasnya warna merah (Built Area) yang kini mendominasi di Hegarmanah, Cipacing, dan Sayang, desa-desa yang menjadi pusat aktivitas pendidikan tinggi karena kedekatannya dengan kampus. Crops menyusut secara drastis dan hanya tersisa di pinggiran seperti Cilayung dan sebagian kecil Cileles, menunjukkan bahwa lahan pertanian/perkebunan di kawasan pusat telah hampir sepenuhnya dikonversi. Tutupan Trees di Cileles dan Cilayung juga menunjukkan penyusutan yang signifikan, dengan beberapa area berubah menjadi Sparse (Vegetasi Jarang/Lahan Terbuka, mungkin diwakili warna kuning lain atau berbeda), yang mengindikasikan lahan yang ditinggalkan atau dalam proses konversi. Visualisasi lebih lengkap dataset GLC30 per 5 tahun (1985- 2000) dan pertahun (2001-2020) dapat dilihat di Lampiran F. Gambar V.1 ini menegaskan bahwa transformasi lahan terkonsentrasi di desa-desa dekat kampus, yang menjadi pusat Studentifikasi, sementara desa-desa pinggiran masih mempertahankan sebagian lahan Crops dan Trees, meskipun tekanan konversi mulai terasa. Perubahan ini sejalan dengan teori Studentifikasi Smith (2005), yang menjelaskan bahwa kehadiran mahasiswa dalam jumlah besar sering kali menyebabkan konversi lahan agraris menjadi Built Area, terutama di sekitar kampus, untuk memenuhi kebutuhan hunian dan fasilitas pendukung. Selain itu, teori rural gentrification dari Phillips (2004) dalam jurnal Journal of Rural Studies juga relevan di sini, yang menyatakan bahwa kawasan peri-urban seperti Jatinangor sering mengalami Gentrifikasi akibat masuknya kelompok dengan daya beli tinggi (seperti mahasiswa dan investor properti), yang mendorong konversi lahan pertanian menjadi lahan yang lebih menguntungkan secara ekonomi seperti Built Area. 137 Tren Kuantitatif Perubahan Luas Kelas Tutupan Lahan (1985-2020) Untuk memahami dinamika perubahan tutupan lahan secara lebih rinci, periode 1985-2020 dibagi menjadi tujuh interval lima tahunan (1985-1990, 1990-1995, 1995-2000, 2000-2005, 2005-2010, 2010-2015, dan 2015-2020). Analisis tren ini bertujuan untuk mengidentifikasi kapan perubahan terbesar terjadi dan bagaimana setiap kelas tutupan lahan berubah dari waktu ke waktu yang dihasilkan dari perhitungan menggunakan kode Python (lihat Lampiran D). Untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang tren ini, data perubahan luas antar interval disajikan secara lengkap dalam sebuah gambar berikut. Gambar V.2.