105 Bab IV Gambaran Umum Kecamatan Jatinangor Bab ini akan mengupas secara mendalam tentang Kecamatan Jatinangor, Jawa Barat, yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Jatinangor bukan sekadar lokasi geografis; wilayah ini adalah sebuah ekosistem yang dinamis, tempat bertemunya berbagai kepentingan, aspirasi, dan tantangan. Untuk memahami kompleksitas Jatinangor, kita akan menelusuri sejarahnya yang kaya, melihat bagaimana wilayah ini bertransformasi dari kawasan pertanian menjadi pusat pendidikan tinggi yang berdenyut. Kita juga akan mengamati perkembangan tata ruangnya, yang mencerminkan perubahan fungsi dan peruntukan lahan seiring waktu. Selain itu, bab ini akan menyajikan kondisi Jatinangor saat ini, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Aspek-aspek ini sangat relevan dengan fenomena Studentifikasi, yaitu bagaimana kehadiran mahasiswa dalam jumlah besar memengaruhi karakter dan dinamika wilayah ini. Dengan memberikan gambaran umum yang komprehensif, kita tidak hanya meletakkan dasar bagi analisis yang lebih mendalam di bab-bab selanjutnya, tetapi juga menghargai Jatinangor sebagai sebuah entitas yang hidup, terus berubah, dan penuh dengan potensi. IV.1 Jejak Langkah Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jatinangor merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Nama Jatinangor mulai digunakan sejak tahun 2000, menggantikan nama sebelumnya yaitu Kecamatan Cikeruh. Penamaan Jatinangor berasal dari salah satu blok perkebunan yang berada di lereng Gunung Manglayang. Kini, Jatinangor tidak lagi dikenal sebagai wilayah perkebunan, melainkan telah berkembang menjadi kawasan pendidikan tinggi karena keberadaan sejumlah perguruan tinggi nasional di wilayah tersebut (Nugroho, 2014). Sebelum dikenal sebagai pusat pendidikan, Jatinangor adalah hamparan lahan pertanian yang subur. Pada masa kolonial Belanda, khususnya pada abad ke-19, wilayah ini menjadi salah satu sentra perkebunan teh dan karet. Iklimnya yang sejuk 106 dan tanahnya yang kaya mineral menjadikannya lokasi yang ideal untuk budidaya tanaman komoditas tersebut. Perkebunan-perkebunan besar, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda, menjadi tulang punggung ekonomi Jatinangor pada masa itu. Namun, sejarah Jatinangor tidak hanya tentang perkebunan. Wilayah ini juga menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, banyak perkebunan di Jatinangor yang dinasionalisasi, diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Fungsi lahan pun mulai berubah, meskipun pada awalnya Jatinangor tetap merupakan daerah yang relatif tenang dan terpencil (BPS Kabupaten Sumedang, 2023). Titik balik transformasi Jatinangor terjadi pada akhir 1980-an. Visi untuk menjadikan Jatinangor sebagai pusat pendidikan tinggi mulai digulirkan. Pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Provinsi Jawa Barat, melihat potensi besar dalam mengembangkan kawasan ini sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia. Pemilihan Jatinangor sebagai lokasi pusat pendidikan tinggi bukanlah kebetulan. Ada beberapa faktor strategis yang mendasarinya: • Ketersediaan Lahan: Jatinangor memiliki lahan yang relatif luas dan masih belum banyak terbangun, terutama di area bekas perkebunan. Ini memberikan ruang yang cukup untuk membangun kampus-kampus besar dan fasilitas pendukungnya. • Lokasi Strategis: Jatinangor terletak di antara Bandung dan Sumedang, dua kota penting di Jawa Barat. Aksesibilitas yang baik ini memudahkan mahasiswa dan dosen dari berbagai daerah untuk datang dan menetap di Jatinangor. • Kondisi Alam yang Mendukung: Iklim Jatinangor yang sejuk dan udaranya yang segar dianggap ideal untuk kegiatan belajar mengajar. Lingkungan yang asri juga diharapkan dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan intelektual dan kreativitas. • Visi Pembangunan: Pemerintah memiliki visi untuk mengembangkan Jatinangor sebagai "kota pendidikan" yang modern dan terintegrasi. Konsep ini tidak hanya mencakup pembangunan kampus, tetapi juga fasilitas 107 pendukung seperti perumahan, pusat perbelanjaan, sarana olahraga, dan ruang terbuka hijau. Transformasi Jatinangor dari kawasan pertanian menjadi pusat pendidikan tinggi adalah sebuah proses yang panjang dan kompleks. Perubahan ini tidak hanya melibatkan pembangunan fisik, tetapi juga pergeseran sosial, ekonomi, dan budaya. Dasar Hukum dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Jatinangor sebagai pusat pendidikan tinggi semakin ditekankan seiring dengan padatnya jumlah perguruan tinggi yang telah ada di Kota Bandung. Hingga tahun 1980, Bandung telah menampung sebanyak 16 universitas, institut, dan perguruan tinggi, 25 akademi, serta 15 lembaga penelitian, dengan jumlah mahasiswa mencapai 60.128 orang. Untuk mengatasi kepadatan tersebut, beberapa aktivitas pendidikan dari perguruan tinggi dipindahkan secara bertahap ke wilayah Jatinangor, dimulai sejak tahun 1992 (Nugroho, 2014). Penetapan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 593/3590/1987, dengan luas area yang ditetapkan sebesar 962 hektar. Luas lahan tersebut kemudian dialokasikan kepada sejumlah institusi pendidikan, yaitu: 1. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN): 200 ha 2. Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN): 28 ha 3. Universitas Winaya Mukti: 53 ha 4. Universitas Padjadjaran (UNPAD): 175 ha Selain itu, sebagian lahan dialokasikan untuk fasilitas dan kawasan penunjang lainnya, yaitu: 1. Lapangan golf: 170 ha 2. Kebun binatang: 177 ha 3. Area perkemahan Pramuka: 66 ha 4. Tanah cadangan: 47 ha 5. Kawasan konservasi 108 Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan Jatinangor menjadi tonggak penting dalam transformasi ini. Peraturan ini menetapkan Jatinangor sebagai wilayah yang berbasis pendidikan dan mengamanatkan penataan desa-desa di sekitarnya. Jatinangor secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pendidikan (KSP) atau Kawasan Pendidikan Tinggi (KPT) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang. Visi Kecamatan Jatinangor Pengembangan wilayah Jatinangor merupakan bagian dari upaya mendukung pencapaian visi Kabupaten Sumedang, baik pada periode 2018–2023 yang mengusung tema "Terwujudnya Masyarakat Sumedang yang Sejahtera, Agamis, Maju, Profesional, dan Kreatif (SIMPATI) Pada Tahun 2023", maupun dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Kabupaten Sumedang 2024–2026 dengan visi "Sejahtera, Agamis, dan Demokratis pada Tahun 2025".