1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Urbanisasi menjadi fenomena global yang mendominasi abad ke-21 yang mengubah secara fundamental lanskap sosial dan spasial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan dalam World Urbanization Prospects The 2018 Revision bahwa pada tahun 2018, lebih dari 55% populasi dunia telah bermukim di perkotaan, dan proyeksi menunjukkan angka ini akan meningkat tajam menjadi 68% pada tahun 2050. Industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, dan migrasi dari wilayah pedesaan menuju perkotaan menjadi motor utama urbanisasi, didorong oleh harapan akan peluang pekerjaan, akses pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan kualitas hidup (United Nations Convention to Combat Desertification, 2017). Fenomena ini seringkali memicu proses Gentrifikasi, yaitu transformasi kawasan kota yang ditandai dengan masuknya kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dan investasi modal, yang mengakibatkan perubahan karakter sosial, ekonomi, dan fisik kawasan, serta seringkali diikuti dengan tergusurnya penduduk berpenghasilan rendah (Smith, 2005). Salah satu bentuk Gentrifikasi yang semakin relevan dalam konteks kawasan pendidikan tinggi adalah Studentifikasi. Perguruan tinggi menjelma menjadi pusat-pusat penting bagi inovasi, pengembangan sumber daya manusia, dan pendorong pertumbuhan ekonomi regional. Ekspansi kawasan pendidikan tinggi ini seringkali bertindak sebagai katalisator perubahan sosio-spasial di wilayah sekitarnya, terutama melalui fenomena yang dikenal sebagai Studentifikasi (Smith & Hubbard, 2014). Studentifikasi dalam konteks ini, merujuk pada transformasi suatu kawasan yang dipicu oleh dominasi populasi mahasiswa dan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan kehidupan mahasiswa (Sage dkk., 2012). Kawasan yang mengalami Studentifikasi umumnya ditandai dengan peningkatan signifikan hunian mahasiswa (Hubbard, 2009; Kinton dkk., 2018), pertumbuhan bisnis yang berorientasi pada kebutuhan mahasiswa, serta pembangunan infrastruktur pendukung (Chatterton, 2000; He dkk., 2012). Meskipun Studentifikasi dapat membawa dampak positif 2 seperti revitalisasi ekonomi lokal, peningkatan keragaman budaya, dan inovasi perkotaan (Chatterton, 2000; Wilkinson & Greenhalgh, 2024), fenomena ini juga berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif. Dampak negatif tersebut antara lain adalah peningkatan harga properti dan sewa, tekanan pada infrastruktur lokal (Munro & Livingston, 2012), dan perubahan penggunaan lahan, termasuk alih fungsi lahan pertanian di kawasan pinggiran kota atau semi-rural yang berdekatan dengan kawasan pendidikan tinggi (Suma & Shofwan, 2023). Lahan pertanian memegang peran strategis dan vital dalam menjamin keberlangsungan kehidupan suatu bangsa, terutama dalam konteks ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan (Tantoh & McKay, 2023). Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki ikatan historis, kultural, dan ekonomis yang mendalam dengan sektor pertanian. Fungsi lahan pertanian tidak terbatas hanya sebagai media produksi pangan, tetapi juga mencakup peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah bencana alam, dan melestarikan warisan budaya agraris yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks ketahanan pangan, lahan pertanian produktif merupakan aset fundamental yang menentukan kemampuan suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO, 2017) menegaskan bahwa ketersediaan lahan pertanian yang memadai adalah salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Namun, di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, lahan pertanian semakin sering mengalami transformasi menjadi lahan non-pertanian, terutama untuk kepentingan komersial. Salah satu pendorong utama perubahan fisik dan konversi lahan pertanian ini adalah proses Gentrifikasi yang dipicu oleh pembangunan fasilitas pendidikan tinggi, atau yang dikenal sebagai Studentifikasi (Prada-Trigo dkk., 2020). Fenomena Studentifikasi menjadi kekuatan pendorong yang signifikan dalam mengubah dinamika penggunaan lahan di sekitar kawasan pendidikan tinggi. Pertumbuhan populasi mahasiswa yang pesat menciptakan permintaan tinggi terhadap hunian dan berbagai fasilitas penunjang kehidupan mahasiswa. Kondisi ini memicu kenaikan nilai properti dan harga sewa yang signifikan, yang pada gilirannya memberikan tekanan ekonomi kepada penduduk lokal, khususnya mereka yang bergantung pada 3 sektor pertanian (Suma & Shofwan, 2023). Tekanan ekonomi ini seringkali memaksa petani untuk mempertimbangkan alih fungsi lahan pertanian mereka menjadi bentuk penggunaan lahan yang lebih menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek, seperti perumahan mahasiswa atau komersial, meskipun berpotensi mengancam keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan di wilayah tersebut. Jatinangor, yang terletak di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, merupakan representasi klasik dari kawasan yang mengalami transformasi signifikan akibat perkembangan pendidikan tinggi. Dahulu, Jatinangor dikenal sebagai wilayah agraris yang subur, dengan lanskap yang didominasi oleh hamparan sawah, kebun, dan ladang produktif (Pemerintah Kabupaten Sumedang, 2016). Karakteristik ini menjadikan sektor pertanian sebagai tulang punggung perekonomian dan mata pencaharian utama penduduk Jatinangor. Namun, lanskap dan identitas Jatinangor mulai mengalami perubahan drastis sejak akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, seiring dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan kawasan ini sebagai pusat pendidikan tinggi strategis (Salim, 2008). Keputusan ini ditandai dengan relokasi dan pembangunan kampus-kampus perguruan tinggi besar, seperti Universitas Padjadjaran (UNPAD) Kampus Jatinangor, Institut Teknologi Bandung (ITB) Kampus Jatinangor, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dan Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN). Kehadiran institusi-institusi pendidikan tinggi ini, terutama UNPAD dan IPDN yang memiliki populasi mahasiswa yang sangat besar, memicu gelombang Studentifikasi yang mengubah wilayah Jatinangor secara fundamental. Pertumbuhan populasi mahasiswa yang diperkirakan mencapai lebih dari 37.000 jiwa pada tahun 2014 (Nugroho, 2014) yang menciptakan permintaan yang sangat besar akan hunian, fasilitas komersial, dan infrastruktur pendukung, yang pada gilirannya mendorong perubahan penggunaan lahan secara masif di Jatinangor. Kehadiran perguruan tinggi besar UNPAD, ITB dan IPDN telah menjadi pendorong utama perubahan lahan dan pembangunan di Jatinangor, sebagaimana dikonfirmasi oleh Fazrin dkk. (2024). Untuk lebih memperjelas kompleksitas 4 transformasi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi dan dampak Studentifikasi terhadap berbagai aspek wilayah, Gambar I.1 menyajikan Diagram Hubungan Kausal Isu di Kawasan Universitas Jatinangor. Diagram ini, yang diadaptasi dari penelitian Salim (2008) yang secara visual merangkum alur sebab- akibat yang kompleks, dimulai dari keputusan pemerintah untuk merelokasi universitas ke Jatinangor. Gambar I.1. Hubungan Kausal Isu-isu di Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Sumber: Salim, 2008 Sebagaimana tergambar dalam diagram (Gambar I.1), keputuan strategis untuk merelokasi universitas ke Jatinangor menjadi titik awal dari serangkaian konsekuensi berantai, yang mencakup perkembangan kota baru, pertumbuhan sektor jasa, peningkatan permintaan tenaga kerja dan perumahan, hingga pada akhirnya memicu isu-isu seperti degradasi lingkungan, kekurangan infrastruktur, dan potensi konflik sosial (Salim, 2008). Transformasi Jatinangor menjadi kawasan pendidikan tinggi telah membawa konsekuensi signifikan terhadap penggunaan lahan pertanian. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa lahan terbangun di Jatinangor meningkat sebesar 158,9% antara tahun 2007 dan 2016, mencerminkan konversi besar lahan pertanian akibat ekspansi urban (Pratiwi & Agustina, 2017). Sebagai ilustrasi, luas lahan sawah di Kecamatan Jatinangor dilaporkan mengalami penurunan yang sangat tajam, dari 2.102 hektar pada tahun 2012 menjadi hanya 371 hektar pada tahun 2015 (Judawinata & Hutagalung, 2019). Penurunan sebesar 82,35% dalam kurun waktu hanya tiga tahun ini merupakan angka yang sangat 5 ekstrem dan di luar kecenderungan umum, sehingga penting untuk dilakukan verifikasi lebih lanjut terhadap keakuratannya. Hal ini berbeda dengan laporan Pemerintah Kabupaten Sumedang (2016), yang menyatkan bahwa selama dua dekade terakhir, luas lahan pertanian di Jatinangor telah menyusut sebesar 47%, dari sekitar 700 hektar pada akhir 1980-an menjadi hanya 371 hektar pada tahun 2015. Jatinangor juga merupakan bagian dari kawasan Cekungan Bandung. Berdasarkan laporan Dinamika Konsumsi Lahan Wilayah Urban di Indonesia (BPS, 2024), luas wilayah terbangun di Cekungan Bandung meningkat dari 24.078 hektar pada tahun 2010 menjadi 25.510 hektar pada tahun 2020, dengan pertambahan sebesar 1.432 hektar. Perubahan ini setara dengan 5,9% dari luas lahan awal, menghasilkan nilai LCR (laju konsumsi lahan) sebesar 0,59% per tahun. Nilai LCR ini menunjukkan bahwa setiap tahun, sekitar 0,59% lahan di Cekungan Bandung beralih fungsi menjadi lahan terbangun, mencerminkan tingkat urbanisasi yang moderat dibandingkan kawasan lain. Di sisi lain, transformasi lahan di Cekungan Bandung, termasuk Jatinangor, juga berkaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan pertanian, khususnya sawah, di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data luas lahan sawah (irigasi dan non-irigasi) di Jawa Barat dari tahun 2010 hingga 2015, luas lahan sawah di Jawa Barat turun sekitar 2% (BPS, 2015). Perubahan penggunaan lahan pertanian ini tidak hanya merupakan masalah spasial, tetapi juga mencerminkan adanya konflik kepentingan antara berbagai pihak. Di satu sisi, terdapat kebutuhan untuk mengembangkan kawasan pendidikan tinggi dan memenuhi kebutuhan mahasiswa yang terus bertambah (Yasin, 2022). Di sisi lain, terdapat kepentingan untuk mempertahankan lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian petani, penopang ketahanan pangan lokal, dan penjaga kelestarian lingkungan. Data dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sumedang (2014) menunjukkan penurunan jumlah petani sebesar 25% dalam 6 tahun (2007-2013), sementara tenaga kerja sektor jasa dan perdagangan mengalami pertumbuhan sebesar 31%.