7 BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Karakteristik Ekosistem Teluk Teluk merupakan badan perairan semi tertutup yang sebagian besar sisinya dibatasi oleh daratan, sementara sisanya terbuka menuju laut atau samudra. Teluk biasanya memiliki bentuk melingkar atau setengah lingkaran dengan pantai yang melengkung ke dalam. Karakteristik fisik sebuah teluk dapat bervariasi tergantung faktor geografis dan geologis di daerah tersebut. Bentuk pantai dan topografi daratan di sekitar teluk akan mempengaruhi kedalaman, ukuran, dan bentuk teluk itu sendiri. Beberapa teluk dapat memiliki perairan yang dalam dan menghadap langsung ke laut lepas, sementara yang lain mungkin lebih dangkal dan dikelilingi oleh pulau atau tanjung. Semua karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pola arus dan pasang surut di lingkungan perairan teluk (Stewart, 2008). Sebagai bagian laut yang berbatasan langsung dengan daratan, teluk membentuk zona estuaria dimana air tawar sungai dan air asin laut bertemu. Pada zona ini, terjadi perubahan karakteristik fisik dan kimia air, seperti perubahan suhu, tingkat oksigen, dan konsentrasi nutrien (Jordan, 2012). Air sungai membawa partikel – partikel padat seperti pasir, lumpur, dan kerikil yang kemudian terendapkan membentuk sedimen di dasar teluk. Sedimen yang terbentuk dapat mempengaruhi salinitas, kualitas air, dan produktivitas ekosistem. Estuaria teluk dikenal sebagai habitat yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Zona peralihan dan fluktuasi salinitas menciptakan kondisi yang mendukung kehidupan berbagai organisme dengan menyediakan tempat mencari makan, berkembangbiak, dan perlindungan (Jordan, 2012). Teluk memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Badan perairan semi tertutup ini sering digunakan sebagai pelabuhan alami, tempat sandar kapal, dan pusat kegiatan perdagangan dan pelayaran. Kegiatan ekonomi seperti perikanan, industri kelautan, dan pariwisata sering terkait erat dengan keberadaan teluk. Selain itu, banyak penduduk yang tinggal di sekitar teluk mengandalkan sumber daya yang disediakan oleh perairan ini sebagai mata 8 pencaharian mereka. Hal ini ditopang oleh keanekaragaman hayati teluk yang sangat beragam. Ekosistem teluk dapat menyediakan habitat yang berbeda – beda, termasuk terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, rumput laut (seaweed), dan substrat berlumpur. Banyak spesies ikan, moluska, krustasea, dan organisme laut lainnya hidup di lingkungan perairan ini. Kendati demikian, ekosistem teluk sangat rentan terhadap pencemaran dan perubahan lingkungan. Teluk memiliki air yang relatif terbatas sehingga polutan yang masuk ke ekosistem teluk cenderung terakumulasi dan berdampak pada organisme di dalamnya. Pencemaran dari sumber antropogenik seperti limbah industri, pertanian, dan permukiman penduduk dapat menyebabkan keracunan, kematian massal organisme, serta gangguan pada rantai makanan dan jaringan ekologis. Selain itu, perubahan iklim, peningkatan suhu air, dan kenaikan permukaan laut juga dapat mengancam keberlanjutan ekosistem teluk (Stewart, 2008). II.2 Fitoplankton Laut Fitoplankton atau alga merupakan organisme autotrof berukuran mikroskopis yang hidup melayang di perairan. Fitoplankton membentuk dasar jaring makanan dan menjadi tempat bergantung seluruh kehidupan akuatik untuk mendapatkan makanan. Hal ini karena kemampuan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis dengan cara memanfaatkan energi matahari, karbondioksida, dan nutrien yang ada di dalam air. Proses fotosintesis ini mengubah energi matahari menjadi energi kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton. Cahaya matahari, suhu air, salinitas, dan kandungan nutrien seperti nitrogen, fosfor, dan silika merupakan faktor – faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi fitoplankton (Suthers dan Rissik, 2009). Pertumbuhan fitoplankton akan cenderung membludak (blooming) apabila kandungan nutrien dalam suatu perairan cukup tinggi (Mahmudi dkk., 2020). Tingginya kadar nutrien dapat diakibatkan oleh pencemaran antropogenik berupa limbah industri, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Sebagian besar fitoplankton ditemukan sebagai mikroplankton (20 – 200 µm), nanoplankton (2 – 20 µm), dan pikoplankton (0,2 – 2 µm) – dengan beberapa di antaranya terdapat di 9 ketiga kelas ukuran tersebut. Di perairan pantai beriklim sedang, nanoplankton dapat mencapai 80% dari total biomassa fitoplankton, sedangkan di perairan tropis, pikoplankton dapat mencapai 80% dari total biomassa fitoplankton (Suthers dan Rissik, 2009). Kelompok fitoplankton laut yang paling sering ditemukan meliputi kelompok diatom, dinoflagellata, dan cyanobacteria. II.2.1 Diatom (Bacillariophyceae) Diatom merupakan salah satu jenis fitoplankton yang umum ditemukan di perairan laut. Diatom adalah organisme uniseluler (tetapi sering ditemukan hidup berkoloni dan beberapa diantaranya membentuk rantai) dengan organel sel bermembran dan dinding sel bersilika atau frustula, yang terdiri dari dua bagian – hipovalve dan epivalve. Berdasarkan struktur, pola, dan proses pembentukkan dinding selnya, diatom dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu diatom pennate dan sentris. Diatom pennate memiliki bentuk memanjang dan biasanya simetris bilateral, dengan lebih dari 800 spesies telah teridentifikasi. Diatom sentris biasanya berbentuk bulat atau simetris radial (dengan frustula yang mirip dengan cawan petri) dan ada sekitar 1000 spesies di perairan laut. Diatom tidak memiliki flagela dan dalam banyak kasus bersifat non-motil (Suthers dan Rissik, 2009). Diatom juga dapat ditemukan sebagai bentik yang tumbuh di atas sedimen, batu, dan tanaman. Di perairan pesisir, faktor pembatas – seperti ketersediaan silikat, stabilitas air, intensitas cahaya, parasitisme dan grazing – memengaruhi dominasi spesies di kolom air pada waktu – waktu tertentu. Blooming diatom sering terjadi di sepanjang perairan pesisir ketika upwelling episodik membawa air yang kaya nutrisi naik ke permukaan. Blooming diatom dapat menjadi sangat padat sehingga menyebabkan kematian pada ikan dan invertebrata karena deplesi oksigen atau kerusakan insang (seperti Thalassiosira spp. dan Chaetoceros spp.). Spesies yang termasuk dalam genus Pseudo-nitzschia dilaporkan telah terlibat sebagai organisme penyebab keracunan pada kerang atau amnesic shellfish poisoning (ASP) (Suthers dan Rissik, 2009). 10 II.2.2 Dinoflagellata (Dinophyceae) Dinoflagellata adalah kelompok fitoplankton uniseluler dengan organel bermembran (eukariota) dan memiliki satu atau beberapa flagela. Lebih dari 80 spesies dinoflagellata laut diketahui menghasilkan kista (lebih dari 16 spesies diketahui menyebabkan red tide dan tujuh spesies diantaranya beracun) (Suthers dan Rissik, 2009). Kista dapat terdiri dari dua jenis – kista sementara (yaitu, sel yang dengan cepat membentuk kembali dirinya sendiri setelah pembelahan singkat) atau kista istirahat, yang tenggelam dari kolom air dan sering kali tetap berada di sedimen 6 (enam) minggu hingga 5 (lima) bulan, tergantung spesiesnya (Suthers dan Rissik, 2009). Menurut Hallegraeff (2003), pembentukan kista merupakan strategi bertahan hidup akibat stres fisiologis atau lingkungan seperti: 1) perlindungan dari kondisi yang merugikan (seperti suhu atau ketersediaan nutrisi); 2) perlindung dari pemangsaan; 3) pergantian antara habitat planktonik dan bentik; 4) sebagai bagian dari proses reproduksi; 5) untuk membantu penyebaran/populasi benih untuk pemekaran berikutnya. Dinoflagellata memiliki jumlah spesies berbahaya terbesar (sekitar 40 spesies) dibandingkan jenis fitoplankton lainnya. Dinoflagellata dapat menghasilkan senyawa beracun yang terakumulasi pada bivalvia, krustasea, dan ikan-ikan yang penting secara komersial. Manusia yang mengonsumsi ikan yang terkontaminasi dapat mengalami berbagai gejala keracunan seperti gastroenteritis, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, bahkan kelumpuhan dan gagal napas (keracunan PSP, DSP, NSP, dan ciguatera) (Hallegraeff, 2003). Dalam skala global, telah lebih dari 2000 kasus keracunan pada manusia akibat konsumsi ikan atau kerang-kerangan dilaporkan setiap tahunnya (Hallegraef, 1995). II.2.3 Cyanobacteria Cyanobacteria atau alga hijau-biru adalah fitoplankton primitif yang dicirikan dengan tidak adanya membran pada organel sel (golongan prokariota). Fitoplankton ini bersifat uniseluler, hidup berkoloni, berbentuk filamen dan tidak memiliki flagel pada seluruh siklus hidupnya. Alga hijau-biru dapat hidup sebagai bentik maupun planktonik. Banyak spesies memiliki adaptasi khusus untuk menopang kehidupan 11 di habitat yang ekstrim dan beragam, seperti vakuola gas untuk kontrol daya apung, akinetes (tahap istirahat) dan heterokista (sel khusus yang dapat memfiksasi nitrogen dari atmosfer) untuk bertahan hidup di perairan dengan kadar nitrat dan amonia yang relatif rendah. Di perairan laut dan payau, alga hijau-biru dapat menghasilkan racun yang menyebabkan gangguan neuromuskuler, gangguan pada organ tubuh, dan iritasi kontak eksternal (Suthers dan Rissik, 2009). II.3 Harmful Algal Blooms Beberapa spesies fitoplankton diketahui dapat menyebabkan masalah pada lingkungan perairan. Hal ini terjadi ketika fitoplankton terakumulasi dalam jumlah yang cukup banyak, menghasilkan racun, atau ketika keberadaannya secara langsung atau tidak langsung mengganggu organisme lain atau mengubah habitat fisik yang berdampak negatif pada pertumbuhan organisme lain. Jenis fitoplankton tersebut dikenal sebagai spesies alga berbahaya atau harmful algae, dan peristiwa pertumbuhannya yang masif dikenal dengan sebutan harmful algal blooms (HAB). HAB dapat disebabkan oleh pertumbuhan eksplosif dari satu atau beberapa spesies fitoplankton yang mendominasi kolom air, tetapi juga dapat disebabkan oleh fitoplankton yang sangat beracun yang tidak terakumulasi dalam jumlah besar. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, kondisi toksik juga dapat terjadi pada perairan jernih dengan konsentrasi fitoplankton yang relatif rendah (Glibert dkk., 2005). Organisme penyebab HAB, sebelumnya disebut red tide maker karena banyak terdiri dari dinoflagellata yang mewarnai air laut dengan warna merah, tetapi fenomena ini juga bisa berwarna hijau, kuning, atau cokelat, tergantung pada jenis fitoplankton dan pigmentasinya (Glibert dkk., 2005). Sebagian besar kejadian HAB di laut biasanya disebabkan oleh dinoflagellata, tetapi kelas fitoplankton lainnya, termasuk cyanobacteria, raphidophyta, dan diatom, memiliki anggota yang dapat membentuk HAB dalam kondisi tertentu. Beberapa organisme HAB tidak termasuk jenis fitoplankton, artinya, mereka tidak bergantung pada fotosintesis untuk memperoleh nutrisi, melainkan melalui grazing dan konsumsi partikel. Di sisi lain, banyak juga yang memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber nutrisi; mengombinasikan fotosintesis dan serapan nutrisi anorganik bersama 12 dengan grazing (Flynn dkk., 2018). Alga berbahaya lainnya yang secara teknis bukan merupakan alga adalah cyanobacteria (CyanoHAB) yang beberapa di antaranya memiliki kemampuan untuk menangkap nitrogen dari atmosfer. Istilah HAB juga berlaku untuk fenomena blooming beberapa jenis mikroalga atau makroalga (rumput laut) yang tidak beracun, yang dapat tumbuh di luar kendali dan menyebabkan dampak ekologis yang besar seperti perpindahan spesies asli, perubahan habitat, atau deplesi oksigen (Glibert dkk., 2005). HAB menimbulkan bahaya dengan beberapa cara, salah satunya melalui produksi toksin atau racun. Racun-racun ini memiliki berbagai vektor dalam rantai makanan. Racun yang umum dihasilkan oleh HAB di laut diantaranya brevetoxin, penyebab neurotoxic shellfish poisoning (NSP); saxitoxin, penyebab paralytic shellfish poisoning (PSP); asam okadoik (OA), penyebab diarrhetic shellfish poisoning (DSP); asam domoat (DA), penyebab amnesic shellfish poisoning (ASP); azaspiracid, penyebab azaspiracid poisoning (AZP); dan ciguatoxins (CTX), penyebab ciguatera fish poisoning (CFP) (Landsberg, 2002; Glibert dkk., 2005). Belum ada obat penawar khusus untuk menangkal keracunan yang disebabkan oleh racun HAB. Meskipun kejadian keracunan pada manusia di negara maju sangat sedikit (karena pengawasan yang ketat terhadap produk makanan laut), namun keracunan langsung pada manusia di berbagai wilayah di Asia akibat fitoplankton beracun diperkirakan telah mencapai ribuan kasus setiap tahunnya (Yan dan Zhou, 2004). Tabel II.1 Gangguan Kesehatan Akibat HAB (Sumber: Shumway dkk., 2018) Gangguan Toksin Organisme Gejala CFP Ciguatoxin Gambierdiscus spp. Mual, muntah, diare, mati rasa pada mulut dan ekstremitas, ruam, dan perubahan sensasi suhu. Gejala neurologis dapat 13 Gangguan Toksin Organisme Gejala berlangsung selama beberapa bulan PSP Saxitoxin & turunannya Alexandrium spp. Pyrodinium spp. Gymnodinium spp. Mati rasa dan kesemutan pada bibir, mulut, wajah, dan leher, mual, dan muntah. Kasus yang parah menyebabkan kelumpuhan otot dada dan perut yang dapat menyebabkan kematian ASP Domoic Acid Pseudo-nitzschia spp. & Nitzschia navis-varingica Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, kebingungan, disorientasi, defisit memori jangka pendek, dan kelemahan motorik. Kasus yang parah dapat menyebabkan kejang, aritmia jantung, gangguan pernapasan, koma, dan kemungkinan kematian AZP Azaspiracid & turunannya Azadinium spp. Mual, muntah, diare parah, dan kram perut NSP Brevetoxin Karenia spp. Mual, perubahan sensasi suhu, kelemahan otot, dan vertigo DSP Okadaic acid & turunannya Dinophysis spp. & Prorocentrum spp. Mual, muntah, diare parah, dan kram perut Yessotoxin Gonyaulax spinifera, Protoceratium Mual, muntah, kram perut, nafsu makan berkurang, efek 14 Gangguan Toksin Organisme Gejala reticulatum, & Lingulodinium polyedrum kardiotoksik, gangguan pernapasan Cooliatoxin Coolia spp. Mual, muntah, kram perut, nafsu makan berkurang, efek kardiotoksik, gangguan pernapasan Palytoxi- cosis Palytoxin & turunannya Ostreopsis spp. Mual, muntah, diare, kram perut, lesu, kesemutan pada bibir, mulut, wajah, dan leher, denyut jantung menurun, kerusakan otot rangka, kejang dan nyeri otot, berkurangnya sensasi, gangguan pernapasan Lyngbya- toxicosis Lyngbyatoxin & turunannya Lyngbya majusculad Kelelahan, sakit kepala, pusing, air liur berlebih, radang saluran pencernaan, dapat pemicu tumor Racun HAB dapat membunuh kerang dan ikan secara langsung atau terakumulasi di dalam tubuh dan menyebabkan penyakit atau kematian pada manusia atau konsumen lain dalam rantai makanan (Brown dkk., 2019; Landsberg, 2002). Tidak semua ikan yang terpapar racun fitoplankton akan mati; beberapa hanya mengalami sakit dan/atau gangguan fisiologis. Sebagai contoh, efek akut brevetoxin (dari Karenia brevis) pada ikan telah dilaporkan dapat menimbulkan perubahan perilaku berenang (berenang dalam bentuk spiral, perilaku memutar, kehilangan keseimbangan), permasalahan ekskresi dan regurgitasi, kelumpuhan sirip dada, kelengkungan sirip ekor, dan kejang-kejang (Landsberg, 2002). Kematian burung dan mamalia, seperti lumba-lumba, manate, singa laut, dan paus, juga telah dikaitkan dengan HAB dan toksinnya. Kejang, komplikasi kehamilan, dan 15 kematian adalah beberapa efek yang biasa diamati pada hewan-hewan tersebut (Silvagni dkk., 2005). Kejadian kematian paus besar-besaran di Chili pada tahun 2015, termasuk setidaknya 340 ekor paus sei, telah dikaitkan dengan toksisitas PSP akibat pemberian makan di dekat pantai (Haussermann dkk., 2017). Cara lain HAB menimbulkan bahaya adalah melalui akumulasi biomassa. Spesies HAB yang tidak bersifat toksik juga dapat menyebabkan efek berbahaya terhadap lingkungan apabila terakumulasi dalam jumlah yang sangat banyak. Beberapa spesies HAB memiliki struktur fisik, seperti duri, yang dapat bersarang di insang ikan dan dapat menyebabkan iritasi dan akhirnya mati lemas (Diaz dan Rosenberg, 2008). Pertumbuhan pikoplankton, seperti pelagofit Aureococcus anophagefferens dan CyanoHAB Synechococcus sp. yang dapat bertahan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap ekosistem. Di Laguna Madre, Texas, yang mengalami blooming spesies HAB Aureoumbra lagunensis selama hampir satu dekade, kepadatan protozoa ditemukan sangat berkurang (Diaz dan Rosenberg, 2008).