1 BAB I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang Saat ini permasalahan terkait perubahan iklim menjadi perhatian baik secara global maupun di Indonesia. Kebijakan terkait pentingnya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam skala global dituangkan dalam Paris Agreement (Burandt et al., 2019). Dalam Paris Agreement, disepakati bahwa kenaikan temperatur global akan (Zhao and You, 2020). Penyebab kenaikan suhu adalah emisi GRK yang biasanya disebabkan oleh 5 sektor, yaitu sektor industri, energi, transportasi, bangunan, agriculture, forestry, and other land uses (AFOLU). Sektor-sektor tersebut memiliki tantangan yang harus dimitigasi, seperti pada sistem energi yang berkaitan dengan penyediaan dan kebutuhan energi untuk industri, transportasi, dan bangunan (Lamb et al., 2021). Sebagian besar negara di dunia seperti Amerika Serikat, Cina, dan India telah secara progresif menetapkan target, rencana, dan mengimplementasikan langkah-langkah untuk membatasi emisi mereka terutama di sektor energi (Sani et al., 2021). Emisi gas rumah kaca dari sektor energi didominasi oleh pembangkit listrik tenaga batu bara (Lamb et al., 2021). Pada tahun 2014, sekitar 66% pembangkit listrik tenaga uap global masih menggunakan bahan bakar batu bara sebagai sumber energi utamanya. Meskipun pembangkit listrik tenaga uap memang memiliki porsi yang cukup besar dalam penyediaan energi dalam skala global, namun dampak yang dihasilkan dari penggunaan pembangkit listrik tenaga uap memegang peranan penting dalam menimbulkan emisi GRK (Gupta et al., 2021). China telah berkomitmen untuk mematuhi perjanjian Paris dengan mengurangi penggunaan batu bara dan diperkirakan puncaknya akan terjadi pada tahun 2030 atau bisa lebih cepat (Burandt et al., 2019). China sebagai konsumen terbesar memiliki peran penting dalam transisi energi global. Untuk terus memenuhi kebutuhan energinya yang terus meningkat, China telah beralih ke energi terbarukan untuk mengurangi polusi udara. Negara ini telah menetapkan target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 60-65% pada tahun 2030 dimana energi terbarukan akan memainkan peran 2 penting (Gielen et al., 2019). Selain mengurangi penggunaan pembangkit listrik termal berbasis batu bara, bauran pembangkit listrik diharapkan akan bergeser lebih banyak ke energi terbarukan dari termal berbasis batu bara agar negara-negara dapat memenuhi komitmen perubahan iklim mereka (Gupta et al., 2021). Banyak negara yang sudah menggunakan sumber daya energi terbarukan untuk pembangkit listrik seperti tenaga surya, angin, air, atau panas bumi. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Cina memiliki kapasitas terpasang tertinggi untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin pada tahun 2019 dan penggunaan tenaga air di Norwegia, Paraguay, Kosta Rika, dan Filipina lebih dari 90% dari total kapasitas terpasang. Oleh karena itu, dekarbonisasi sektor energi telah menjadi perhatian yang cukup penting dalam beberapa tahun terakhir dan ada banyak penelitian yang dilakukan mengenai hal ini (Papadis and Tsatsaronis, 2020). Sebagai contoh lain, Rusia pada akhir tahun 2015 telah memasang energi surya dan angin masing- masing sebesar 0,571 GW, dan pada akhir tahun 2024 direncanakan akan memiliki total kapasitas energi surya, angin, dan panas bumi sebesar 5,9 GW (Mitrova and Melnikov, 2019). Selain meningkatkan bauran energi terbarukan, hal lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan tenaga nuklir dan menggunakan Carbon Capture and Storage (CCS) pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil (Barbour et al., 2016). Sejalan dengan target yang telah ditetapkan secara global dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia juga telah menetapkan target nasional untuk menurunkan emisi karbon pada tahun 2060 yang disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim dengan target penurunan GRK sebesar 29% dari tingkat skenario Business As Usual (BAU) pada tahun 2030 dan 41% di bawah tingkat BAU pada tahun 2030 dengan bantuan internasional untuk pembiayaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas EBT (Eko Cahyono et al., 2022) dan mengingat sumber daya energi terbarukan yang tersedia di Indonesia, target ini cukup realistis (Silalahi et al., 2022). 3 Transisi energi saat ini menjadi sebuah strategi yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi emisi GRK. Dengan listrik di Indonesia sebagian besar berasal dari bahan bakar batu bara (61%) tentunya sulit untuk untuk mencapai target penurunan emisi yang ditetapkan. Sehingga pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menargetkan peningkatan bauran EBT menjadi 23% dari total bauran pembangkit listrik nasional pada tahun 2025 (Silalahi et al., 2021). Berdasarkan outlook energi Indonesia 2023 pada tahun 2022 total emisi karbon dioksida (CO2) adalah 696,75 juta ton CO2. Emisi CO2 terbesar berasal dari sektor tenaga listrik dengan 297 juta ton CO2 atau sekitar 42,6% dan diikuti oleh sektor industri dengan 206,4 juta ton CO2 atau 29,6% (Outlook Energi Indonesia 2023). Sesuai dengan Rencana Usaha Penyedian Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 - 2030 untuk menunjang transisi energi maka diperlukan strategi penurunan GRK. Beberapa strategi kebijakan yang dilakukan antara lain memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan, pengalihan bahan bakar (fuel switching) dan pemanfaatan gas buang, pemanfaatan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi, dan menggunakan teknologi rendah karbon dan lebih efisien (RUPTL 2021-2030). Sebagai penunjang peningkatan bauran energi terbarukan maka diperlukan energi terbarukan seperti dari energi air, panas bumi, angin, sinar matahari, biomasa, sampah, dll. Potensi energi dan pemanfaatan yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1. Dari potensi energi yang sudah ada tersebut maka dibuatlah rencana pengembangan pembangkit energi terbarukan sampai tahun 2030 yang dapat dilihat pada Tabel 1.2 Tabel I.1 Potensi energi terbarukan di Indonesia (Alnavis et al., 2024). No Jenis Energi Potensi (MW) Pemanfaatan (%) 1 Panas Bumi 29.544 4,9 2 Hydro 75.091 6,4 3 19.385 1 4 Bioenergi 32.654 5,1 5 Surya 207.898 0,04 (4,8 kWh/m2/hari) 6 Angin 0,01 7 Gelombang Laut 17.989 0,002 4 Tabel I.2 Pengembangan energi terbarukan di Indonesia (RUPTL 2021 2030) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa energi surya mempunyai potensi tertinggi sebesar 207.898 MWp dibandingkan dari sumber energi lainnya. Namun dari tingginya potensi tersebut hanya 0,04 % yang sudah dimanfaatkan. Maka dari itu dalam RUPTL 2021 2030 telah direncanakan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sampai dengan tahun 2030 akan menjadi 4.680 MWp. Potensi paling banyak terdapat di Sumatra seperti pada Gambar 1.1 Gambar I.1 Potensi energi surya di Indonesia (Alnavis et al., 2024).