Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan Bab ini memberikan gambaran awal penelitian, mencakup latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan, sasaran, manfaat, serta ruang lingkup kajian. Selain itu, bab ini juga memuat bagan kerangka berpikir sebagai landasan konseptual penelitian. I.1 Latar Belakang Pertumbuhan suatu kota sering selaras dengan munculnya masalah kompleks pada lingkungannya. Meski perkembangan perkotaan menghadirkan berbagai manfaat baik itu sosial dan ekonomi, masalah keamanan sering menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan. Angka kriminalitas di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan beberapa tahun ke belakang, Badan Pusat Statistik mencatat sebanyak 269.324 pada 2019, menurun menjadi 247.218 pada 2020, kemudian meningkat lagi menjadi 276.507 pada 2022, dan mencapai 288.472 pada 2023. Meningkatnya angka kriminalitas tersebut tidak hanya merugikan secara materiil, tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat dan kestabilan sosial. Pertumbuhan kota memberi ruang bagi meningkatnya kejahatan jalanan, seperti pencurian, perampokan, dan penyerangan. Apalagi di daerah yang merupakan tujuan pendatang, baik untuk bekerja, berwisata, maupun pendidikan. Fenomena klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu masalah kejahatan jalanan yang menyita perhatian. Pada tahun 2021, tercatat 58 kasus klitih di Sleman yang menyebabkan korban luka serius hingga kematian (Syaiful, 2022). Angka tersebut belum mencakup laporan dari masyarakat yang sering muncul di berbagai sosial media setiap hari. Kondisi tersebut menuntut solusi inovasi dalam meningkatkan keamanan jalan guna meningkatkan kualitas hidup penduduk kota. Klitih umumnya terjadi di jalan-jalan utama dan area yang saling terkoneksi, terutama pada malam hari ketika minimnya visibilitas dan pengawasan menciptakan celah keamanan seta memicu keresahan mendalam di kalangan masyarakat. Fenomena kiltih tidak hanya menimbulkan ketidakpuasan pada penanganan dari pihak berwenang, tetapi juga meningkatkan rasa takut akan kejahatan, yang berdampak pada menurunnya rasa aman warga, terutama bagi mereka yang sering beraktivitas malam hari, seperti pelajar, pekerja shift malam, 2 dan wisatawan (Dhudita dkk., 2024; Apriaji dan Purnamasari, 2023). Respons yang kurang responsif dari penegak hukum mendorong sebagian warga untuk mengambil tindakan vigilante yang justru memperkeruh situasi dengan risiko salah sasaran. Keresahan ini semakin diperparah dengan penyebaran fenomena klitih ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Karanganyar, Magelang, Sragen, Klaten, dan Sukoharjo, yang menunjukkan bahwa klitih telah berkembang menjadi ancaman regional yang tidak lagi terbatas pada Daerah Istimewa Yogyakarta (Detikcom, 2023a; Detikcom, 2023b; Bisnis.com, 2023; Solopos, 2024; KRJogja, 2024). Lebih mengkhawatirkan lagi, munculnya subkultur serupa di Semarang dengan istilah "kreak" menandakan adanya evolusi budaya kriminal yang dapat memperluas dampak negatif klitih (Kumparan, 2023). Dampak dari fenomena ini tidak dapat diabaikan, karena meningkatnya rasa takut akan mengurangi aktivitas malam hari, seperti kunjungan wisatawan atau operasional usaha kecil, yang pada akhirnya mempengaruhi perekonomian lokal, terutama di Sleman yang dikenal sebagai destinasi pendidikan dan pariwisata. Kondisi ini menunjukkan urgensi penanganan klitih secara sistematis dan inovatif, tidak hanyak sebatas tindakan normatif, untuk mencegah dampak yang lebih luas terhadap keamanan, stabilitas sosial, dan pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak kepolisian setempat walaupun masih sebatas tindakan normatif seperti tindakan preemtif, preventif, dan represif (Wijanarko dkk., 2021), tetapi kompleksitas pertumbuhan kota yang terus meningkat menuntut adanya inovasi baru.