9 Bab II Tinjauan Pustaka Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal/bernaung melainkan juga tempat untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan perumahan adalah suatu syarat yang mutlak bagi seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Menurut Teori Hirarki Kebutuhan (Teori Maslow), kebutuhan rumah dapat didekati sebagai berikut. 1) Kebutuhan fisiologi, kebutuhan paling dasar manusia (sandang, pangan dan papan) 2) Kebutuhan rasa aman, merupakan tempat berlindung bagi manusia dari segala bentuk gangguan 3) kebutuhan berinteraksi, sebagai tempat untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman. 4) kebutuhan untuk dihargai, rumah sebagai penanda status sosial Secara finansial, Dalton (2006) dalam Anshori (2013), menyebutkan bahwa rumah juga bisa berfungsi sebagai asuransi keuangan pribadi (private financial insurance). Jika seseorang memutuskan untuk membeli rumah, yang biasanya dilakukan secara mencicil, maka besaran cicilan — baik riil maupun relatif terhadap inflasi — berkurang seiring waktu. Cicilan rumah tersebut pun biasanya selesai sebelum usia produktif seseorang berakhir. Kondisi sebaliknya terjadi jika seseorang menyewa rumah tinggal. Harga sewa sebuah rumah selalu meningkat seiring dengan inflasi dan situasi yang berkembang. Karena itu, membeli rumah merupakan pilihan yang lebih menguntungkan untuk jangka panjang. Fungsi ini 10 akan sangat terasa manfaatnya saat seseorang sudah lanjut usia, yaitu ketika masa produktif telah berakhir. Lebih jauh, menurut Daoud (2011) dalam Anshori (2013), kepemilikan rumah bisa memupuk solidaritas sosial. Seseorang yang berkeluarga dan menetap di suatu tempat akan memiliki keterikatan terhadap tempat tersebut. Keluarga sebagai “akar kehidupan” seseorang bertumbuh di dalam rumah dan berkembang bersanginan dengan dinamika lingkungan sekitarnya. Akhirnya rumah tidak hanya berfungsi sebagai “pengikat” kehidupan seseorang, tapi juga mengikatnya dengan masyarakat. Memang, seseorang yang memiliki rumah di suatu tempat tidak selalu menjamin dirinya akan memiliki ikatan sosial dengan masyarakat sekitarnya. Namun, ikatan sosial di sebuah masyarakat akan sulit dikembangkan jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. II.1. Tinjauan Kebijakan Perumahan Rakyat di Indonesia II.1.1. Pelita II Pada masa Orde Baru, yaitu Pelita II (1974-1979), kebijakan perumahan rakyat mulai menjadi salah satu program pemerintah yang dimasukkan dalam GBHN. Dimasukkannya program perumahan rakyat pada GBHN karena berdasarkan data pertumbuhan penduduk tahun 1961-1971, kebutuhan rumah di Indonesia tahun 1974-1979 akan mencapai 440.000 unit per tahun, sedangkan yang mampu disediakan secara swadaya oleh masyarakat hanya sekitar 230.000 unit per tahun. Sisanya memerlukan bantuan pemerintah dalam penyediaannya. Program perumahan rakyat pada Pelita II menganggarkan dana 24,2 milyar rupiah untuk membangun rumah tipe 21, 36, 25, dan 70. Pada masa Pelita II ini, pemerintah mendirikan Perum Perumnas sebagai developer pembangunan rumah sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pada masa Pelita II ini juga pertama kali pemerintah memberikan subsidi perumahan melalui sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dijalankan oleh Bank Tabungan Negara (BTN). 11 Subsidi pemerintah dalam KPR BTN berupa subsidi suku bunga sehingga masyarakat hanya membayar bunga dengan kisaran 5 – 9 persen per tahun dengan masa kredit maksimal 20 tahun. Selain melalui Perumnas, pembangunan rumah sederhana sistem KPR juga mulai diserahkan pada pengembang-pengembang swasta. II.1.2. Pelita III Kebijakan perumahan rakyat pada Pelita III hanya melanjutkan kebijakan perumahan rakyat pada Pelita II namun dengan kondisi jumlah penduduk yang bertambah signifikan. Syarat-syarat untuk memperoleh fasilitas KPR BTN pada pelita III ini relatif sama dengan sebelumnya hanya ada penambahan syarat, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah harus memiliki kemampuan mengangsur sebesar sepertiga jumlah penghasilan setiap bulannya. Jumlah rumah yang diprogramkan pada Pelita III ini sebanyak 150.000 unit terdiri dari 60.000 unit rumah inti dan 90.000 unit rumah sederhana. Perumnas ditugaskan menyediakan 120.000 unit rumah sederhana sedangkan pengembang swasta 30.000 unit rumah sederhana. Alokasi dana yang dianggarkan dalam APBN untuk subsidi perumahan tersebut sebesar 114,6 milyar rupiah. Kebijakan pembangunan perumahan pada Pelita III dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama meningkatkan pemerataan dan kestabilan sosial sesuai Trilogi Pembangunan. Selain itu juga, untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produksi bahan-bahan bangunan murah secara masal yang memenuhi syarat kesehatan dan berasal dari bahan baku lokal. Pelaksanaan kebijakan perumahan rakyat pada Pelita III telah berhasil menyediakan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 210.241 unit atau 87,6 persen dari kebutuhan rumah yang harus dibantu penyediaannya pada periode tersebut. Rumah yang dibangun oleh Perumnas sebanyak 77.576 unit sedangkan pengembang swasta sebanyak 132.665 unit rumah sederhana. 12 II.1.3. Pelita IV Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat pada periode Pelita IV (1984 -1989) menyebabkan pemerintah menyusun kebijakan baru melalui peningkatan jumlah pembangunan rumah sederhana baru dengan tipe yang lebih kecil, yaitu 36 m 2 . Jumlah rumah tipe ini direncanakan dibangun sebanyak 300.000 unit dengan menganggarkan biaya sebesar 1,5 triliun rupiah. Pelaksana pembangunan rumah pada masa ini lebih banyak dilakukan oleh pengembang swasta. Perumnas membangun sebanyak 70.795 unit sedangkan pengembang swasta sebanyak 171.027 unit rumah sederhana. Meningkatnya peranan pengembang swasta ini sesuai dengan tujuan GBHN 1983, yaitu agar pembangunan rumah sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah dapat dilakukan sebanyak-banyaknya. Suku bunga subsidi yang harus dibayar oleh masyarakat hanya 9 persen per tahun, lebih kecil dibanding suku bunga komersial sebesar 20 persen per tahun pada masa itu. Sejak tahun 1976 sampai 1990, masyarakat yang menikmati KPR BTN mencapai 673.168 debitur dengan nilai KPR sebesar 2,96 triliun rupiah. KPR BTN ini dinikmati oleh PNS dan ABRI termasuk pensiunan dengan jumlah debitur 76,82 persen, sedangkan sisanya dinikmati oleh pegawai swasta formal dan informal. II.1.4. Pelita V Campur tangan pemerintah dalam penyediaan perumahan belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan pada Pelita-Pelita sebelumnya. Masalah ini menjadi tambah kompleks ketika terjadi kenaikan harga jual rumah sederhana. Pada tahun 1988, harga rumah sederhana tipe 36 m 2 mencapai 7 juta per unit, naik 2,8 kali dibanding harga rumah pada tahun 1978, yaitu 2,5 juta per unit. Rumah tipe 36 pada tahun 1988 hanya mampu dibeli oleh PNS golongan II/d ke atas dengan gaji 90.000 rupiah 13 per bulan, sedangkan pada tahun 1978, rumah yang sama mampu dibeli oleh PNS golongan I dan II dengan gaji 50.000 rupiah per bulan. Pada periode Pelita V ini kesulitan penyediaan rumah berupa keterbatasan dana pemerintah dan semakin mahalnya harga lahan di perkotaan menyebabkan rasio jumlah pasokan rumah sederhana terhadap jumlah penduduk menurun dibanding pada Pelita sebelumnya. Selain itu jumlah subsidi perumahan yang diberikan pada masyarakat akan dikurangi dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan dana pemerintah. Jumlah rumah yang akan dibangun pada Pelita V ini derencanakan sebanyak 450.000 unit dan kemudian direvisi menjadi 350.000 unit. Realisasi pembangunan perumahan sederhana sebanyak 306.436 unit rumah. II.1.5. Pelita VI Pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,6 persen per tahun menyebabkan tambahan kebutuhan rumah sebanyak 720.000 unit per tahun. Jika ditambah dengan tuntutan untuk mengejar ketertinggalan jumlah pasokan pada tahun-tahun sebelumnya serta perbaikan rumah rusak, maka kebutuhan rumah akan mencapai 1 juta unit per tahun. Khusus daerah perkotaan, kebutuhan perumahan akan bertambah signifikan akibat pertambahan jumlah penduduk dari 64,35 juta jiwa (34 persen) pada akhir Pelita V menjadi 80,3 juta jiwa (39,3 persen) pada akhir Pelita VI. Kebijakan pembangunan perumahan pada Pelita VI bukan saja didasari oleh umlah unit rumah yang harus disediakan, tetapi juga didasari pada keterkaitan rumah dengan sumber daya manusia. GBHN 1993 memberi perhatian tinggi pada kualitas sumber daya manusia sehingga pembangunan perumahan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup keluarga dan masyarakat. Target pembangunan rumah difokuskan tetap pada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Perumahan yang disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan 14 berupa rumah inti, yaitu rumah sangat sederhana (RSS) dan rumah sederhana (RS) dengan luas lantai 21 m 2 sampai 70 m 2 . Agar masyarakat berpenghasilan rendah mampu membayar cicilan rumah, maka diterapkan subsidi silang antar lapisan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan perumahan. Pada Pelita VI direncanakan akan dibangun sebanyak 500.000 unit rumah dengan tipe RSS dan RS. Anggaran yang disediakan sebanyak 630,84 milyar rupiah atau turun 69 persen dibanding Pelita V sebelumnya. Suku bunga subsidi yang diberikan pada masyarakat sebesar 8,5 persen untuk rumah tipe RSS dan 14 persen untuk tipe RSS. Sampai tahun keempat Pelita VI, jumlah rumah yang dibangun mencapai 653.955 unit, jauh lebih banyak dibanding jumlah yang direncanakan semula, yaitu 500.000 unit. Komposisi penyedia perumahan, yaitu Perumnas sebanyak 170.242 unit, pengembang swasta sebanyak 430.921 unit dan koperasi sebanyak 52.832 unit. II.1.6. Era Reformasi Selama era reformasi periode tahun 1999 sampai tahun 2004 hampir tidak ada kebijakan perumahan rakyat yang dibuat. Hal ini karena tidak adanya kementerian atau lembaga khusus yang mengelola persoalan perumahan rakyat seperti halnya Kementerian Negara Perumahan Rakyat pada era Orde Baru. Pada tahun 2004 baru terbentuk Kementerian Perumahan Rakyat yang masuk dalam Kabinet Indonesia Bersatu I sampai saat ini. Tahun 2004 tercatat jumlah keluarga yang tidak memiliki rumah sebanyak 7,4 juta. Kebijakan perumahan rakyat pada periode tahun 2004 sampai 2009 salah satunya berupa pembangunan rumah susun 1000 tower di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan strategi dalam memenuhi kebutuhan rumah yang meningkat tajam semenjak tahun 1998. 15 Pada periode kedua pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, perumahan rakyat merupakan salah satu agenda prioritas. Terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan salah satu upaya untuk mengurangi jumlah keluarga terutama keluarga MBR yang tidak memiliki rumah. Dalam undang-undang tersebut pada pasal 54 disebutkan, bahwa terdapat kemudahan-kemudahan pembangunan rumah dan pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kemudahan tersebut berupa subsidi perolehan rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu perizinan, asuransi dan penjaminan, penyediaan tanah, sertifikasi tanah, dan/atau prasarana, sarana, serta utilitas umum. Terobosan baru dalam kebijakan perumahan rakyat adalah kebijakan rumah murah bersubsidi dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Gambar II.1. Skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Sumber: Kemenpera, 2011 16 Fasilitas Likuiditas Perumahan Rakyat atau disingkat FLPP adalah program yang diluncurkan oleh Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera). FLPP menggantikan subsidi bunga dan subsidi uang muka yang telah diluncurkan sebelumnya. FLPP ataupun program subsidi kedua-duanya bertujuan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah sendiri dan hidup sejahtera. FLPP ini memiliki kelebihan dibandingkan subsidi karena fungsinya yang bisa menguntungkan MBR dengan memberikan kemampuan mencicil rumah selama 20 tahun dengan tingkat bunga 7.25% tetap selama tenor, sedangkan program subsidi hanya berhenti paling lama selama 6 tahun, sesudah itu kembali kepada tingkat bunga komersil. Tabel II.1. Perbandingan Sistem Pembiayaan dengan Subsidi dan FLPP Sistem Subsidi Sistem FLPP Masa Subsidi Terbatas, jangka waktu tertentu Sepanjang masa pinjaman Suku Bunga Bunga bersubsidi dalam jangka waktu tertentu dan dilanjutkan bunga komersial (bank yang bersangkutan) Bunga yang ditetapkan satu digit sepanjang masa pinjaman (fixed rate) Angsuran Angsuran selama masa subsidi ≤ 1/3 penghasilan, dan selanjutnya cenderung ≥ 1/3 penghasilan tergantung bunga komersial Angsuran selama masa pinjaman ≤ 1/3 penghasilan Dana APBN Belanja Subsidi, merupakan dana habis (tidak kembali) Belanja FL dalam pos pembiayaan/investasi sehingga bukan dana habis dan merupakan revolving fund Alokasi APBN Terus menerus Setelah beberapa periode tertentu semakin berkurang dan terus mengecil sampai akhirnya tidak perlu ada alokasi atau ketika Tabungan Perumahan Nasional sudah melembaga Sumber Dana APBN APBN dan sumber dana lain Penggunaan Hanya untuk sisi permintaan (KPR Bersubsidi) Untuk sisi permintaan (KPR) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 15 tahun Untuk sisi pasokan (kredit konstruksi) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 24 bulan Sumber: Kemenpera, 2011 17 II.2. Permasalahan Perumahan di Perkotaan Permasalahan perumahan di Indonesia secara umum adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan jumlah pasokan rumah baru dengan pertumbuhan jumlah keluarga baru yang membutuhkan rumah. Permasalahan perumahan ini umumnya timbul di daerah perkotaan dengan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut disebabkan daya tarik berbagai sektor di perkotaan seperti sektor ekonomi dan pendidikan. II.2.1. Keengganan Developer Membangun Rumah Murah Keterbatasan jumlah pasokan rumah baru terjadi pada segmen rumah kelas masyarakat menengah bawah termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini disebabkan oleh keengganan pengembang membangun unit rumah sederhana untuk MBR karena keuntungan yang diperoleh lebih sedikit dibanding dengan menjual rumah untuk kelas menengah atas. Menurut berita yang dilansir kompas.com 13 Mei 2013, kenaikan harga rumah kelas menengah dan atas per tahun mencapai 27 – 28 persen dan ironisnya masih tetap laku keras. Sedangkan kenaikan harga rumah kelas bawah hanya berkisar 15 persen. Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo seperti yang dilansir kompas.com 16 Mei 2013, keengganan developer membangun rumah murah disebabkan sikap pemerintah yang tidak punya strategi untuk mengendalikan tingginya harga rumah bagi kaum menengah bawah.