Hasil Ringkasan
BAB 4 Iradati Zahra

Jumlah halaman: 30 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

35 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Hasil dan Pembahasan Pemodelan Bidang Gelincir Hasil perhitungan nilai resistivitas yang telah diperoleh pada lintasan A, B, dan C dilakukan pemodelan 2D menggunakan perangkat lunak Res2DinV. Pemodelan ini menghasilkan citra penampang struktur bawah permukaan yang menunjukkan distribusi nilai resistivitas serta variasi kedalaman. Berikut merupakan hasil inversi resistivitas semu menggunakan konfigurasi Wenner-Schlumberger. IV.1.1 Lintasan A Gambar IV. 1 Penampang resistivitas 2D lintasan A. Berdasarkan hasil pemodelan geolistrik pada Lintasan A yang dimodelkan pada gambar IV.1, terlihat adanya variasi nilai resistivitas yang mencerminkan karakteristik litologi dan potensi ketidakstabilan lereng di lokasi penelitian. Lapisan dengan resistivitas rendah (< 30 Ωm) teridentifikasi pada kedalaman sekitar 6–8 meter, yang ditampilkan dengan warna biru hingga hijau pada model resistivitas. Lapisan ini kemungkinan besar terdiri dari lempung jenuh air atau tanah berbutir halus dengan tingkat kejenuhan tinggi, yang memiliki sifat kohesi rendah dan berpotensi menjadi bidang gelincir utama. Keberadaan lapisan ini menunjukkan bahwa infiltrasi air berperan penting dalam melemahkan struktur tanah, yang dapat memicu terjadinya pergerakan tanah atau longsor pada lereng ini. Di bawahnya, terdapat lapisan dengan resistivitas lebih tinggi (>79 Ωm) yang muncul pada kedalaman lebih dari 8 meter, dengan warna kuning hingga merah 36 pada model resistivitas. Lapisan ini diperkirakan terdiri dari batupasir padat, batuan sedimen yang lebih terkompaksi, atau material lebih kompeten yang berfungsi sebagai lapisan dasar. Lapisan ini cenderung lebih stabil dan dapat menjadi batas bawah dari pergerakan tanah yang terjadi di atasnya. Dari hasil interpretasi ini, dapat disimpulkan bahwa bidang gelincir utama pada Lintasan A kemungkinan berada pada kedalaman sekitar 6–8 meter, yang didominasi oleh material lempung jenuh air. Interaksi antara lapisan ini dengan lapisan di bawahnya yang lebih padat dapat menyebabkan terbentuknya zona geser, yang berpotensi mempercepat proses longsoran, terutama jika dipengaruhi oleh infiltrasi air atau aktivitas seismik. Oleh karena itu, dalam upaya mitigasi bencana longsor, perlu dilakukan strategi pengelolaan air dan stabilisasi lereng yang sesuai dengan karakteristik geologi setempat. IV.1.2 Lintasan B Gambar IV. 2 Penampang resistivitas 2D Lintasan B. Berdasarkan hasil pemodelan geolistrik pada lintasan B yang dimodelkan pada Gambar IV.2, ditemukan variasi nilai resistivitas yang mengindikasikan perbedaan karakteristik litologi di sepanjang lintasan. Lapisan dengan resistivitas rendah (<40 Ωm) teridentifikasi pada kedalaman sekitar 0-6 meter, dengan rentang warna biru hingga hijau pada model. Lapisan ini diduga tersusun atas lempung jenuh air, tanah lempungan, atau material lepas, yang memiliki kohesi rendah dan berpotensi sebagai bidang gelincir utama. Keberadaan lapisan ini menunjukkan bahwa 37 infiltrasi air dapat mempercepat proses pelemahan tanah, meningkatkan risiko longsor di area ini. Di bawahnya, terdapat lapisan dengan resistivitas sedang (40–91,5 Ωm) yang muncul pada kedalaman lebih dari 6-9 meter, dengan warna kuning hingga jingga pada model resistivitas. Lapisan ini diperkirakan terdiri atas pasir berlempung atau lanau yang lebih padat, yang memiliki stabilitas lebih baik dibandingkan lapisan di atasnya. Namun, meskipun lebih stabil, lapisan ini tetap dapat mengalami deformasi apabila terdapat tekanan dari atas atau infiltrasi air yang berlebihan. Lapisan terdalam ditandai dengan resistivitas tinggi (>91,5 Ωm), yang muncul pada kedalaman > 9 meter, dengan warna merah hingga ungu pada model. Lapisan ini kemungkinan merupakan batupasir padat atau batuan vulkanik terubah sebagian, yang berfungsi sebagai batuan dasar dan batas bawah sistem longsoran di lokasi penelitian. Keberadaan batuan dasar ini berperan penting dalam menentukan mekanisme pergerakan tanah, di mana bidang gelincir cenderung berkembang pada kontak antara lapisan lempung jenuh air di atasnya dan batuan dasar yang lebih solid. Dari hasil interpretasi ini, dapat disimpulkan bahwa bidang gelincir utama pada Lintasan B diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 6–9 meter, dengan dominasi material lempung jenuh air. Lapisan ini menjadi zona kritis dalam proses pergerakan tanah, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi atau aktivitas seismik yang dapat memicu ketidakstabilan lereng. Oleh karena itu, mitigasi bencana longsor di wilayah ini perlu mempertimbangkan karakteristik geologi setempat, terutama dalam aspek pengelolaan air tanah dan stabilisasi lereng. Persentase error sebesar 2,6% dalam pemodelan resistivitas ini menunjukkan tingkat kesalahan atau perbedaan antara model hasil inversi dengan data lapangan yang terukur. Nilai ini tergolong kecil, yang mengindikasikan bahwa hasil pemodelan memiliki tingkat akurasi yang baik dan dapat diandalkan untuk interpretasi bidang gelincir. 38 IV.1.3 Lintasan C Gambar IV. 3 Penampang resistivitas 2D Lintasan C. Berdasarkan hasil pemodelan geolistrik pada Lintasan C yang dimodelkan pada gambar IV.3, distribusi resistivitas menunjukkan adanya perbedaan material bawah permukaan yang mencerminkan karakteristik geologi daerah tersebut. Lapisan dengan resistivitas rendah (< 6 Ωm), yang ditunjukkan oleh warna biru hingga hijau, berada pada kedalaman sekitar 7–9 meter. Zona ini kemungkinan terdiri dari material jenuh air, seperti lempung atau tanah lepas yang memiliki kandungan air tinggi, yang berpotensi menjadi bidang gelincir utama di lokasi ini. Keberadaan lapisan dengan resistivitas rendah ini mengindikasikan area yang rentan terhadap pergerakan tanah, terutama ketika terjadi infiltrasi air yang meningkat akibat curah hujan tinggi atau aktivitas seismik. Di bawah lapisan ini, terdapat zona dengan resistivitas tinggi (> 131 Ωm), yang diwakili oleh warna kuning hingga merah, terutama pada kedalaman lebih dari 9 meter. Lapisan ini kemungkinan merupakan batuan dasar yang lebih solid, seperti batupasir padat atau batuan vulkanik yang telah terkonsolidasi, yang berfungsi sebagai batas pergerakan tanah. Pola resistivitas yang bervariasi di sepanjang lintasan menunjukkan bahwa struktur bawah permukaan tidak seragam, dengan beberapa area yang memiliki perbedaan ketebalan antara lapisan jenuh air dan batuan dasar. 39 Interpretasi ini menunjukkan bahwa bidang gelincir di lintasan C berlokasi pada kedalaman sekitar 7–9 meter, dengan material yang memiliki stabilitas rendah. Keberadaan batuan lebih padat di bawahnya berpotensi menahan pergerakan tanah, tetapi zona transisi antara material jenuh air dan batuan padat tetap menjadi area kritis yang dapat memicu longsor. Oleh karena itu, pemantauan lebih lanjut dan mitigasi bencana sangat diperlukan untuk mengurangi risiko longsoran di lokasi ini. Persentase error dari pemodelan inversi pada lintasan C adalah 16,2 %, yang relatif lebih tinggi dibandingkan lintasan sebelumnya. Persentase error ini menunjukkan adanya tingkat ketidakpastian dalam pemodelan resistivitas, yang dapat disebabkan oleh heterogenitas material bawah permukaan dan faktor eksternal seperti kelembapan tanah yang bervariasi. Persentase error ini juga disebabkan oleh kondisi cuaca saat pengukuran yang sedang hujan sehingga mempengaruhi sensitivitas alat serta distribusi arus listrik dalam tanah. Kedalaman bidang gelincir yang diperoleh dari pengukuran langsung di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Jawa Barat menjadi data aktual dalam perhitungan zonasi kerentanan gerakan tanah menggunakan metode frequency ratio di Kabupaten Cianjur. 40 IV.2 Hasil Pengaruh Setiap Kelas pada Setiap Parameter Gerakan Tanah Bagian ini menyajikan hasil penelitian yang terdiri dari beberapa aspek utama zonasi kerentanan gerakan tanah, yaitu pengaruh masing-masing kelas pada setiap parameter gerakan tanah menggunakan nilai frequency rasio (FR), identifikasi faktor dominan yang mempengaruhi kerentanan gerakan tanah, serta validasi model menggunakan analisis Success Rate Curve (SRC) dan Prediction Rate Curve (PRC). Analisis ini mengintegrasikan metode geolistrik sebagai inovasi dalam pemodelan kerentanan gerakan tanah, yang umumnya hanya mengandalkan data spasial dalam metode statistik. Parameter geolistrik yang digunakan adalah kedalaman bidang gelincir, yang diperoleh melalui pengukuran di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Data ini kemudian dimasukkan sebagai parameter kedalaman bidang gelincir dalam pemodelan. Sementara itu, kedalaman bidang gelincir di 294 lokasi historis longsor lainnya merupakan data estimasi dari hasil interpretasi parameter elevasi dan jenis litologi. Dalam penelitian ini, data kedalaman bidang gelincir hanya tervalidasi di satu titik. Melalui pengembangan metode frequency ratio ini, diperlukan data kedalaman bidang gelincir di 294 lokasi historis longsor untuk meningkatkan model zonasi kerentanan gerakan tanah yang dibuat. Besarnya pengaruh parameter tersebut ditentukan oleh nilai frequency ratio (FR) yang dihasilkan, di mana semakin tinggi nilai FR, semakin besar kontribusi kelas tersebut terhadap potensi terjadinya longsor. Analisis ini memungkinkan identifikasi kelas-kelas yang memiliki peran dominan dalam menentukan tingkat kerentanan gerakan tanah di wilayah Kabupaten Cianjur. Selanjutnya akan disajikan perbedaan nilai AUC hasil validasi model menggunakan lima parameter dan enam parameter yang menggunakan grafik Success Rate Curve (SRC) dan Prediction Rate Curve (PRC). IV.2.1 Bidang Gelincir Bidang gelincir merupakan faktor krusial dalam menentukan stabilitas lereng serta potensi terjadinya longsor. Kedalaman bidang gelincir menunjukkan titik di mana 41 massa tanah atau batuan mulai kehilangan kestabilannya dan bergerak akibat pengaruh gaya gravitasi serta faktor pemicu dan pengontrol lainnya. Penambahan parameter ini menjadi state of the art dalam penelitian zonasi kerentanan gerakan tanah. Dalam penelitian ini, metode geolistrik diintegrasikan ke dalam pemodelan zonasi kerentanan gerakan tanah berbasis frequency ratio (FR), yang umumnya mengandalkan data spasial, dengan harapan dapat meningkatkan akurasi model. Data primer kedalaman bidang gelincir diperoleh dari tiga lintasan pengukuran di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, dengan kedalaman terukur berkisar antara 6-9 meter. Data ini merupakan satu-satunya data aktual yang digunakan dalam penelitian ini. Sementara itu, kedalaman bidang gelincir di lokasi longsor lainnya tidak diukur secara langsung, melainkan ditentukan melalui estimasi berbasis dua parameter utama, yaitu hubungan antara kedalaman bidang gelincir dengan elevasi serta jenis tanah. Estimasi ini dilakukan dengan mengacu pada penelitian Pilya Tri Oktaviani dkk. (2022), yang membahas hubungan bidang gelincir dengan kemiringan lereng dan pada jenis tanah tertentu. Dengan pendekatan ini, kedalaman bidang gelincir di 294 lokasi longsor lainnya diperoleh berdasarkan estimasi dari interpretasi sehingga ditekankan bahwa bukan kedalaman bidang gelincir selain di Desa Cijedil bukan berdasarkan hasil pengukuran langsung. Hasil analisis hubungan antara kedalaman bidang gelincir dan tingkat kerentanan gerakan tanah, yang direpresentasikan melalui nilai FR disajikan dalam Gambar IV.4. Dengan memasukkan parameter kedalaman bidang gelincir baik dari data aktual maupun estimasi ke dalam pemodelan, diharapkan zonasi kerentanan gerakan tanah yang dihasilkan menjadi lebih akurat dan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baik dalam mitigasi bencana longsor. 42 Gambar IV. 4 Grafik frequency ratio setiap kelas pada parameter kedalaman bidang gelincir. Nilai FR tertinggi (2,0137) ditemukan pada kedalaman 4,56 – 5,44 meter, menunjukkan bahwa longsor paling sering terjadi pada kedalaman ini dibandingkan dengan luas total wilayahnya. Berdasarkan penelitian Wieczorek dan Glade (2005), bidang gelincir pada kedalaman ini sering kali dikaitkan dengan lapisan tanah pelapukan yang jenuh air dan memiliki kohesi rendah, sehingga meningkatkan tekanan pori yang melemahkan struktur tanah. Selain itu, kedalaman ini juga berpotensi sebagai batas antara tanah residu dengan material induk yang lebih padat, menciptakan zona pergeseran utama di mana massa tanah lebih mudah bergerak. Penelitian Terzaghi (1950) mengenai mekanika tanah juga menunjukkan bahwa bidang gelincir pada kedalaman ini berhubungan erat dengan tekanan air pori yang meningkat akibat infiltrasi hujan. Saat hujan meresap ke dalam tanah, lapisan tanah atas menjadi lebih berat dan tekanan pori meningkat, mengurangi gesekan antar partikel tanah dan menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Kedalaman 2,78 – 3,67 meter nilai FR sebesar 1,1918 dan pada kedalaman 3,67 – 4,56 meter nilai FR sebesar 1,1888 juga memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap longsor. Nilai FR yang sedikit lebih rendah dibandingkan kedalaman 4,56 – 5,44 meter menunjukkan bahwa meskipun longsor sering terjadi pada kedalaman ini, intensitasnya tidak sebesar pada zona terdalam. Menurut Skempton dan Hutchinson 0,0000 0,5849 1,1918 1,1888 2,0137 1,1481 0,7122 0,2418 0,0000 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 1,00 - 1,89 1,89 - 2,78 2,78 - 3,67 3,67 - 4,56 4,56 - 5,44 5,44 - 6,33 6,33 - 7,22 7,22 - 8,11 8,11 - 9,00 Frequency Ratio Kelas Kedalaman Bidang Gelincir 43 (1969), bidang gelincir yang terbentuk pada kedalaman ini umumnya terkait dengan proses pelapukan yang cukup dalam serta adanya zona transisi antara tanah lepas dan lapisan tanah yang lebih padat atau berbatu. Selain itu, pada zona ini, akar tanaman tidak lagi memiliki pengaruh signifikan dalam memperkuat tanah, sehingga semakin meningkatkan risiko longsor terutama di daerah dengan curah hujan tinggi. Pada kedalaman 5,44 – 6,33 meter nilai FR sebesar 1,1481 dan pada kedalaman 6,33 – 7,22 meter nilai FR = 0,7122, kerentanan terhadap longsor mulai menurun. Nilai FR yang lebih rendah menunjukkan bahwa frekuensi kejadian longsor pada kedalaman ini lebih kecil dibandingkan luas total area. Secara geoteknik, kondisi ini dapat dijelaskan dengan adanya lapisan tanah yang lebih padat atau material yang lebih kohesif pada kedalaman ini, yang berperan dalam menahan pergerakan massa tanah di atasnya (Varnes, 1978). Selain itu, pada beberapa daerah, kedalaman ini dapat mengindikasikan adanya lapisan batuan dasar (bedrock) yang lebih stabil, sehingga pergerakan tanah cenderung terbatas pada lapisan yang lebih dangkal. Penelitian oleh Dai dan Lee (2002) juga menunjukkan bahwa longsor dengan bidang gelincir yang lebih dalam cenderung lebih jarang terjadi dibandingkan longsor dangkal karena dibutuhkan lebih banyak energi untuk memicu ketidakstabilan pada kedalaman ini. Pada kedalaman 7,22 – 8,11 meter nilai FR sebesar 0,2418 dan pada kedalaman 8,11 – 9,00 meter nilai FR sebesar 0,0000 yang mana tidak ditemukan kejadian longsor yang signifikan. Nilai FR yang mendekati nol menunjukkan bahwa tanah pada kedalaman ini sangat stabil dan jarang mengalami pergerakan massa tanah. Menurut Crosta dan Frattini (2008), bidang gelincir yang lebih dalam sering kali terkait dengan longsor tipe translasi yang jarang terjadi dibandingkan longsor dangkal. Pada kedalaman ini, tekanan air pori umumnya lebih rendah, dan tanah sudah mengalami pemadatan alami yang membuatnya lebih tahan terhadap gaya geser. Selain itu, keberadaan lapisan batuan keras pada kedalaman ini juga berkontribusi dalam menjaga stabilitas lereng. 44 Menariknya, pada kedalaman 1,00 – 1,89 meter nilai FR = 0,0000, tidak ditemukan longsor yang signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti zona permukaan yang masih stabil di mana lapisan ini mungkin masih terdiri dari tanah organik dengan akar tanaman yang memperkuat struktur tanah dan mencegah pergerakan massa tanah. Longsor dangkal yang tidak teridentifikasi di mana longsor yang terjadi pada kedalaman ini kemungkinan berupa erosi permukaan atau pergerakan tanah yang tidak cukup besar untuk terekam dalam data longsor yang dianalisis (Greenway, 1987). Hasil analisis menunjukkan bahwa kedalaman bidang gelincir memiliki peran krusial dalam menentukan potensi longsor. Kedalaman 4,56 – 5,44 meter adalah zona paling rentan, sedangkan kedalaman di bawah 7,22 meter relatif stabil. Implikasi dari hasil ini sangat penting dalam mitigasi bencana longsor. Kesimpulan ini juga sejalan dengan penelitian Wieczorek dan Glade (2005), Dai dan Lee (2002), dan Crosta dan Frattini (2008) yang menekankan bahwa kedalaman bidang gelincir berpengaruh signifikan terhadap stabilitas lereng dan pemahaman mendalam terhadap parameter ini dapat meningkatkan efektivitas dalam memprediksi serta menanggulangi bencana longsor di berbagai wilayah. IV.2.2 Kemiringan Lereng Berdasarkan gambar IV.5 diketahui bahwa parameter kemiringan lereng kelas 8- 15⁰, 15-25⁰, dan 25-45⁰ memiliki nilai frequency ratio (FR) >1 yang memenunjukkan probabilitas tinggi terjadinya longsor. Sementara itu, kelas >45⁰ memiliki FR = 0 yang mengindikasikan tidak adanya kejadian longsor yang teridentifikasi pada kemiringan tersebut.