1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pada 2019, industri kosmetika mencatatkan kinerja yang memuaskan, total revenue dari pasar kosmetik di Indonesia mencapai 497,7 juta USD dan diprediksi tumbuh setiap tahun sebesar 2,6% (CAGR 2019-2023), hal itu menjadikan Indonesia akan memasuki top five Asian market dalam 10 sampai 15 tahun kedepan (IFCCI, 2019). Sesuai amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 yang mencantumkan bahwa salah satu industri andalan untuk menunjang visi dan misi pembangunan industri nasional adalah Industri Farmasi, Kosmetik, dan Alat Kesehatan (Kemenperin, 2015). Salah satu bentuk nyata adalah penerapan Pedoman CPOB & CPKB (BPOM RI, 2018), di mana Industri farmasi dalam aktivitas pembuatan produk harus dapat menjamin produk dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai tujuan penggunaan. Dalam rangka penjaminan terhadap aspek kualitas, efikasi, dan keamanan. Hal ini diwujudkan dengan manajemen mutu, salah satunya adalah manajemen produksi industri farmasi. Kadim (2017) menuliskan bahwa manajemen produksi atau operasi merupakan serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output sehingga manajemen produksi adalah penerapan ilmu manajemen untuk mengatur kegiatan operasi secara efektif dan efisien. Untuk mengatur kegiatan produksi mencapai output maksimum dengan kualitas maksimum, salah satu usaha adalah penerapan Lean Six Sigma. Lean Six Sigma merupakan metodologi kombinasi yang berorientasi pada perbaikan proses, Lean Six Sigma berfokus untuk mengurangi variabilitas proses, meminimalisir pemborosan/waste dan mengurangi produk atau proses cacat sehingga proses produksi dapat dipercepat (Vivekananthamoorthy & Sankar, 2011). Tujuan dari adanya pendekatan Lean Six Sigma adalah untuk menghilangkan sembilan jenis pemborosan yaitu defects, overproduction, transportation, waiting, inventory, motion, overprocessing, underutilized employees, and behavior waste dan 2 menyediakan barang dan jasa dengan tingkat 3,4 cacat per satu juta peluang (DPMO) (Voehl et al., 2013). PT. LRI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Industri Farmasi, Kosmetik, dan Alat Kesehatan. Pada salah satu tahapan proses produksi produk “SA” yang merupakan sediaan emulgel dengan tujuan penggunaan sebagai tabir surya/sunscreen di fasilitas kosmetik PT. LRI, terdapat beberapa tahapan produksi antara lain adalah printing kemasan primer dan penimbangan otomatis dengan automatic weighchecker yang dikontrol dengan aktivitas in process control (IPC). Namun, proses ini sangat bermasalah karena banyaknya pemborosan di dalam proses produksi, seperti excess processing karena banyak reprocess yang terjadi di produksi seperti adjusment bobot pada hasil berat tidak memenuhi syarat baik batas bawah maupun batas atas; defect karena proses print kerapkali reject karena defect minor maupun mayor yang berakibat pada proses ulang; dan motion di mana pergerakan baik dari personil maupun proses yang tidak menambah nilai (non value added). Hal ini mengakibatkan beban konsumsi Direct Labour (DL) maupun Factory Overhead (FOH) semakin tinggi. Peningkatan pada DL dan FOH berdampak langsung pada peningkatan nilai Harga Pokok Produk (HPP) atau Cost of Goods Sold. Aktivitas-aktivitas yang tidak menambah nilai serta termasuk dalam kategori pemborosan harus didorong untuk dihilangkan. Maka, untuk meminimalisir pemborosan, serta untuk meningkatkan upaya perusahaan untuk menerapkan manajemen mutu produksi yang komprehensif agar produk tetap kompetitif, perlu adanya perbaikan berkelanjutan dengan memulai penerapan Quality Risk Management (QRM) dengan metode kombinasi FMEA-Ishikawa. QRM merupakan komponen penting di dalam industri farmasi di mana kualitas produk yang dapat mempengaruhi manfaat, kualitas dan keamanan produk ketika sampai di konsumen diinkorporasikan dan diintegrasikan ke dalam good manufacturing controls dengan penilaian berbasis kajian risiko (Alsaidalani & Elmadhoun, 2022). Merujuk pada EMA (2015) dalam dokumen ICH Guideline Q9 mengenai Quality Risk Management disebutkan bahwa tools atau alat bantu yang bisa digunakan dalam internal prosedur antara lain: 1) Basic risk management 3 facilitation method (flowchart, checkheet, dll); 2) Failure Mode Effects Analysis (FMEA); 3) Failure Mode, Effects and Critically Analysis (FMECA); 4) Fault Tree Analysis (FTA); 5) Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP); 6) Hazard Operability Analysis (HAZOP); 7) Preliminary Hazard Analysis (PHA); 8) Risk ranking and filtering; 9) Supporting stastical tools. Sementara, dalam melihat kategori penyebab biasanya dikelompokkan ke dalam kategori utama yang meliputi man, method, machine, material, measurement, and milieu. Diagram Ishikawa didefinisikan sebagai representasi grafis yang menggambarkan secara skematis hubungan antara hasil tertentu dan penyebabnya (Liliana, 2016). Penggabungan metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA) dan Diagram Ishikawa dapat memfasilitasi keputusan yang lebih baik, memberikan jaminan yang lebih besar untuk menghadapi risiko potensial, dan dapat memengaruhi tingkat pengawasan, adapun kedua metode ini sering digunakan dalam manajemen risiko karena mudah digunakan (Hisprastin & Musfiroh, 2021). Perbaikan dan pengendalian proses produksi di PT. LRI dilakukan dengan penerapan Total Productive Maintenance (TPM).