5 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan ciri hiperglikemia akibat dari gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2021). II.1.1 Klasifikasi dan Patofisiologi Diabetes Melitus Berdasarkan klasifikasi DM dibagi menjadi 4 kelompok yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain seperti pada Gambar II.1 (Perkeni, 2021). Gambar II.1 Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Perkeni, 2021) DM tipe 1 atau disebut juga sebagai DM tergantung insulin, paling banyak terjadi pada masa anak-anak sampai dewasa dengan prevalensi 5% sampai 10% dari semua kasus DM, tapi dapat terjadi pada usia berapapun. Pasien dapat memberikan respon yang buruk terhadap ADO (Anti Diabetes Oral), sehingga membutuhkan terapi insulin. DM tipe 1 terjadi karena kerusakan sel beta pankreas akibat dari penyakit autoimun dimana sel beta tidak mampu memproduksi insulin. DM tipe 1 rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti penyakit graves, tiroiditis hashimoto, vitiligo, dan anemia pernisiosa (Dipiro, 2021 dan Babara dkk., 2013). 6 Terdapat beberapa autoantibodi yang dihubungkan dengan DM tipe 1 antara lain Islet Cell Autoantibodies (ICAs), Autoantibodies to Insulin (IAAs), Autoantibodies to Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) dan Autoantibodies to the Tyrosine Phosphatases IA-2 and IA-2beta, penderita DM tipe 1 hampir 90% memiliki ICAs di dalam darahnya. ICAs merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada pasien DM tipe 1. Tingkat kerusakan sel beta cukup bervariasi, beberapa individu terutama bayi dan anak-anak terjadi cepat dan pada orang dewasa terjadi lambat. Pasien anak dan remaja dapat mengalami ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit ini. Stadium akhir DM tipe 1 hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sekresi insulin seperti yang ditunjukan pada kadar C-peptida plasma yang rendah atau tidak terdeteksi (ADA, 2003 dan Kemenkes, 2005). Stimulasi inisiasi atau pemicu autoimun prosesnya tidak diketahui dengan jelas, tapi sebagian besar karena paparan virus enterovirus atau agen lingkungan lainnya. Kerusakan sel beta kemungkinan dimediasi sel dan ada bukti bahwa sel infiltrasi menghasilkan agen inflamasi lokal seperti TNF-alfa, INF-gamma dan IL- 1 yang dapat merusak bahkan menghancurkan sel beta. Hiperglikemia terjadi apabila kerusakan sel beta lebih dari 80% dan dapat diagnosis klinis DM tipe 1 (Gilman, 2018). DM tipe 2 atau disebut juga DM tidak terganggu insulin dengan prevalensi 90% sampai 95% dari semua kasus DM. Risiko berkembangnya DM tipe 2 meningkat dengan seiringnya bertambah usia dan sangat bervariasi antara kelompok ras dan etnis. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kejadian obesitas dan kurangnya aktivitas fisik secara teratur. Selain itu, faktor genetik juga dapat mempengaruhi perkembangan DM tipe 2 meningkat karena sebagian besar DM tipe 2 ini bersifat poligenik. DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin (Babara dkk., 2013 dan Dipiro, 2021). 7 Resistensi insulin ditandai dengan adanya peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hati dan penurunan glukosa pada otot rangka. Disfungsi sel beta bersifat progresif dan berkontribusi terhadap kontrol glukosa darah yang memburuk dari waktu ke waktu. DM tipe 2 bisa terjadi ketika gaya hidup diabetogenik dengan kondisi kalori berlebih, olahraga yang tidak memadai dan obesitas (Babara dkk., 2013 dan Dipiro, 2021). Gambar II.2 Modifikasi “the egregious eleven”(Perkeni, 2021). Patogenesis hiperglikemia melibatkan sebelas organ/sel/sistem seperti pada Gambar II.2 yaitu kegagalan sel beta pankreas, disfungsi sel alfa pankreas, sel lemak, otot, hepar, otak, kolon, usus halus, ginjal, lambung dan sistem imun. Berdasarkan data yang sudah ada, terbukti bahwa terdapat hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal ini, dianggap sebagai “immune disorder”. Kelainan metabolik yang berhubungan dengan inflamasi banyak terjadi pada DM tipe 2 (Perkeni, 2021). Pada pasien DM tipe 2 sensitivitas sel beta terhadap glukosa terganggu, hal ini menyebabkan sekresi insulin tertunda sehingga jumlah insulin tidak mencukupi yang menyebabkan glukosa darah meningkat drastis setelah makan dan kegagalan dalam menahan pelepasan glukosa hati selama puasa (Gilman dan Goodman, 2018).Sel alfa pankreas memiliki peran penting yaitu pada sistem glukagon kadarnya akan meningkat ketika dalam keadaan puasa. Peningkatan ini dapat menyebabkan produksi glukosa hati pada kondisi basal dapat meningkat. 8 Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin dapat mempengaruhi peningkatan lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma. Lipotoksisitas merupakan sebuah gangguan yang disebabkan oleh kadar asam lemak bebas. Dengan meningkatnya kadar asam lemak bebas dapat merangsang proses glikogenesis dan menyebabkan resistensi insulin di otot dan di hati. Komposisi mikrobiota di kolon dapat mengalami perubahan dan berkontribusi dalam keadaan hiperglikemik. DM tipe 1 dan 2 berhubungan erat dengan mikrobiota usus (Perkeni, 2021). Resistensi insulin merupakan kegagalan jumlah normal insulin untuk mendapatkan respon yang diharapkan. Sensitivitas insulin dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk, usia, berat badan, aktivitas fisik dan obat-obatan (Gilman dan Goodman, 2018). Di otot rangka, pada pasien DM tipe 2 diperoleh gangguan kinerja dari insulin di intraselular menyebabkan gangguan fosforilasi tirosin transport sehingga dapat terjadi gangguan glukosa dalam sel otot, penurunan oksidasi glukosa dan penurunan sintesis glikogen. Di hati pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin dan dapat memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa pada kondisi basal oleh hati “hepatic glucose production” dapat meningkat. Di otak, insulin dapat menekan nafsu makan. Pada individu yang kelebihan berat badan baik mengalami DM atau tidak didapatkan hiperinsulinemia, keadaan ini justru dapat meningkatkan makanan akibat adanya resistensi insulin yang terjadi di otak (Perkeni, 2021). Komposisi mikrobiota di kolon dapat mengalami perubahan yang akhirnya dapat berkontribusi pada kondisi hiperglikemia, DM tipe 1 dan 2 terbukti memiliki hubungan yang erat dengan mikrobiota usus. Keadaan hiperglikemia dapat ditangani dengan probiotik dan prebiotik. Di usus halus, glukosa yang ditelan dapat menyebabkan respon insulin yang tinggi dibandingkan dengan pemberian secara intravena. Peran dari efek inkretin oleh 2 hormon yaitu Glucagon Like Polypeptide- 1 (GLP-1) dan Glucose-dependent Insulinotropic Polypeptide (GIP) (Perkeni, 2021). 9 Pasien DM tipe 2 mengalami defisiensi GLP-1 dan resistensi terhadap hormon GIP, dengan keberadaan enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) dapat memecah hormon inkretin. Selain itu, organ yang memiliki peran dalam patogenesis DM tipe 2 yaitu ginjal, yang dapat memfiltrasi 163 gram glukosa dalam sehari. Enzim Sodium Glucose Co-transporter-2 (SGLT2) pada convoluted tubulus proxima dapat memfiltrasi 90% dari glukosa dan sisanya 10% akan diabsorpsi melalui SGLT2 sehingga dapat terjadi peningkatan reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal dan menyebabkan peningkatan glukosa darah (Perkeni, 2021). Pasien DM akan mengalami penurunan produksi amilin sehingga konsekuensinya dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus terjadi karena penurunan kadar amilin. Sistem imun juga terlibat dalam patogenesis DM, sitokin dapat menginduksi respon fase akut atau disebut sebagai inflamasi derajat rendah.