Hasil Ringkasan
13 BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Saat ini dunia sedang dalam menghadapi isu global terkait polusi lingkungan dan udara yang salah satunya diakibatkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. Emisi GRK dunia meningkat sebesar 1,2% dari tahun 2021 ke tahun 2022 sehingga mencapai rekor baru sebesar 57,4 Gigaton CO2. Semua sektor, termasuk energi, telah kembali naik dari penurunan emisi pada masa pandemi COVID-19 dan sekarang melewati level emisi pada tahun 2019. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan proses industri menjadi kontributor utama pada peningkatan emisi secara global, masing-masing sekitar 14,6 ribu MtCO2eq dan 6.340 ribu MtCO2eq pada tahun 2021 seperti ditunjukkan pada Gambar I.1. Gambar I.1 Tren Kenaikan Emisi Gas Rumah Kaca (IEA, 2023a) Emisi GRK pada anggota G20 juga bertambah 1,2% pada 2022. Negara-negara seperti China, India, Indonesia, dan Amerika mengalami tren kenaikan, sementara Brazil, Uni Eropa, dan Rusia mengalami penurunan. Secara kolektif, negara anggota G20 menyumbang 76% emisi global. Pada tahun 2021, emisi dari pembakaran bahan bakar fosil kembali meningkat hampir 6%, hampir menyamai 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 1971 1990 2005 2011 2014 2017 2020 MtCO2eq Tahun Biofuels dan limbah Minyak bumi Gas alam Batu bara, Gambut, dan minyak serpih Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian 14 tingkat emisi sebelum pandemi COVID-19. Bahan bakar fosil merupakan 80% dari TES secara global, dengan komposisi minyak bumi sebesar 30%, batu bara 27%, dan gas alam 24% (IEA, 2023a). Pada tahun 2021, emisi pada sektor energi mencapai 600 juta metrik ton CO2, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penghasil emisi terbesar ke sembilan di dunia. Sebagai upaya menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah program NZE 2060, mengikuti ketentuan batas kenaikan temperatur pada Paris Agreement. Program ini bertujuan untuk mempercepat transisi dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi sumber energi terbarukan (IEA, 2023b). Produksi tenaga listrik diproyeksikan akan meningkat dari 519 TWh pada tahun 2024 naik menjadi 1939 TWh pada tahun 2060. Dengan bauran EBT sebesar 14% (73 TWh) pada tahun 2024 naik mendominasi menjadi 74% (1427 TWh) pada tahun 2060 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2024). Namun pada pembangkit listrik terbarukan, diperlukan perlakuan penstabilan dikarenakan sifat energi terbarukan yang memiliki intermitensi dan ketergantungan terhadap kondisi alam yang tidak konsisten (Gowrisankaran et al., 2011). Jika energi yang dihasilkan tersebut dimasukkan ke dalam sistem kelistrikan, akan menimbulkan ketidakstabilan frekuensi. ketidakstabilan ini dapat dihindari dengan menggunakan pembangkit listrik yang dapat merespons perubahan beban yang cepat seperti PLTG. Salah satu keuntungan PLTG adalah kemampuannya dalam beroperasi dengan menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar yang tidak menghasilkan CO2 sebagai emisi. Penelitian ini menggunakan PLTG Tanjung Batu 2 x 50–60 MW sebagai studi kasus, yang merupakan bagian dari infrastruktur sistem kelistrikan Mahakam. Pembangkit ini juga berperan sebagai pemasok energi ke IKN, yang diharuskan menggunakan 100% energi hijau (Presiden Republik Indonesia, 2022).