Hasil Ringkasan
65 Bab III Metodologi Penelitian Bab ini membahas mengenai bagaimana penelitian ini dibangun untuk dapat mencapai tujuan penelitian. Pada prinsipnya, metodologi penelitian dipilih dan disusun berdasarkan jenis pertanyaan penelitian dan karakter/sifat dari penelitian yang akan dilakukan, dimulai dari pemaparan paradigma, pendekatan metode, horison waktu, strategi, lokasi penelitian, tahapan penelitian, metode pengumpulan data, validasi dan reliabilitas, dan yang terakhir adalah operasionalisasi penelitian. Paradigma penelitian dibangun untuk memberikan landasan metodologis dan pendekatan penelitian menjelaskan tradisi penelitian yaitu penelitian kualitatif dengan studi kasus. III.1 Paradigma penelitian Paradigma penelitian merupakan hal penting dalam menetapkan landasan teoritis dan metodologis suatu penelitian kualitatif. Menurut kamus Merriam-Webster (2024), paradigma merupakan “kerangka filosofis dan teoretis dari suatu aliran atau disiplin ilmiah yang di dalamnya dirumuskan teori, hukum, dan generalisasi serta eksperimen yang dilakukan untuk mendukungnya.” Paradigma ini melambangkan upaya menyeluruh untuk menguraikan peristiwa sosial dan perilaku manusia dengan menafsirkan konteks dan makna yang rumit. Fokus utama penelitian kualitatif adalah pada deskripsi, interpretasi, dan kedalaman fenomena yang dilihat. Penelitian ini dilakukan berdasarkan dua paradigma yaitu post-positivism intrepretivism. Post-positivism yang menentang gagasan tradisional tentang kebenaran absolut dalam ilmu pengetahuan dan menempatkan narasi sebagai dasar melakukan penilaian terhadap suatu fenomena (Creswell, 2007). Postpositivistisme memandang penelitian sebagai rangkaian prosedur yang berhubungan secara logis, dan menghargai keragaman dan sudut pandang partisipan daripada realitas tunggal. Interpretivisme berasumsi bahwa makna suatu kejadian hadir karena dikonstruksikan dan dikreasikan oleh individu (Creswell, 2007). Proses interpretasi dihasilkan dari pengalaman 66 manusia sehingga penilaian material terhadap dunia fisik serta perilaku manusia sangat tergantung pada bagaimana individu menafsirkan. Kontruksivisme berusaha untuk mendasarkan keputusan sebanyak mungkin pada pendapat orang-orang yang terlibat dalam situasi tertentu. Penafsiran subyektif ini sering kali tampak dikonstruksi secara historis dan sosial. Dengan kata lain, realitas yang berbeda diciptakan oleh interaksi sosial serta konvensi sejarah dan budaya yang mempengaruhi keberadaan individu. Studi terhadap tata kelola perubahan iklim terkait peran dan jaringan antar pemangku kepentingan pada dasarnya mempertanyakan siapa, apa, kapan, mengapa, apa yang dilakukan, bagaimana dan mengapa hal-hal dapat terjadi atau berubah. Jika melihat pada paradigma positivisme maka perencanaan prosedural dalam tata kelola perubahan iklim yang kompleks cenderung terbatas dilihat pada hasil akhir dan pandangan deterministik sehingga kehilangan perhatian pada proses perubahan itu sendiri yang melibatkan banyak pemangku kepentingan dan kondisi sosial politik yang menyertainya. Peranan pemangku kepentingan mengalami dinamika terkait keterlibatan, kekuasaan dan wewenang, melalui post-positivism intrepretivisme analisis dinamika proses ini akan dapat dipahami dengan melihat siapa dan apa yang dilakukan. Paradigma post-positivism dalam tata kelola perubahan iklim dengan pendekatan CCD memberikan pendekatan yang lebih inklusif, kontekstual, dan reflektif dibandingkan dengan positivisme tradisional. Pendekatan CCD yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan memperkuat peran berbagai pemangku kepentingan dalam menentukan prioritas pembangunan. Paradigma post-positivism mendorong partisipasi masyarakat, pengakuan keragaman lokal, dan pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.