Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Semakin disadari bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang terancam oleh dampak perubahan iklim sehingga upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus sesuai dengan tujuan pembangunan suatu negara. Eratnya kaitan antara dampak perubahan iklim dengan kehidupan manusia menjadikan isu perubahan iklim semakin menjadi perhatian negara-negara di dunia. (Biesbroek, 2021). Bersamaan dengan perkembangan wacana perubahan iklim, pendekatan dalam perencanaan pembangunan juga mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu yang terbentuk oleh debat, kritik, pengalaman dan evaluasi. Gagasan untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan dan aksi perubahan iklim yang menghasilkan dampak positif (sinergi) untuk mitigasi dan adaptasi semakin mendapat tempat dalam agenda penelitian dan pengambilan keputusan nasional dan internasional (Elias dkk., 2014). Tata kelola perubahan iklim pada awalnya didominasi wacana mitigasi perubahan iklim (Sanderson & Sardar, 2007). Berbagai negara mulai melakukan perubahan pendekatan perencanaan pembangunan (Höhne et al., 2017). Muncul konsep pembangunan yang terintegrasi dengan upaya mitigasi perubahan iklim seperti Low Carbon Development (LCD) dan Greengrowth (Lu et al., 2023). Terdapat dua aliran pemikiran yang mempengaruhi sehingga adaptasi sedikit mendapat perhatian dalam kebijakan perubahan iklim global. Pertama adalah adanya pemikiran bahwa 'pencegahan' lebih baik dari pada penyembuhan sehingga lebih mengutamakan mitigasi; kedua adalah pemikiran ‘adaptationists' yang menganggap masyarakat harus dapat beradaptasi secara alami terhadap dampak perubahan iklim, dan menganggap 2 aksi adaptasi dapat menghabiskan biaya yang lebih tinggi daripada dampak perubahan iklim itu sendiri (Sanderson & Sardar, 2007). Adaptasi perubahan iklim mulai menjadi penting dalam ilmu pengetahuan dan kebijakan perubahan iklim sejak tahun 2001. Adaptasi mulai dikaitkan dengan kepentingan negara-negara sedang berkembang, dan diakui bahwa kapasitas adaptasi bergantung pada konteks pembangunan dalam laporan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2001. Tindakan adaptasi khususnya di negara-negara sedang berkembang, merupakan prioritas yang mendesak, sehingga adaptasi setara dengan mitigasi dalam hal kerja sama teknologi, dan pendanaan diperkuat dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007. Hal ini mengubah retorika global mengenai perubahan iklim, dan adaptasi kini dipandang sebagai pilihan kebijakan yang sah selain mitigasi. Langkah- langkah untuk 'mengarusutamakan' adaptasi ke dalam kebijakan dan program pembangunan diperlukan. Pengarusutamaan melibatkan pengintegrasian adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan sosial, kelembagaan dan infrastruktur, dan telah diadopsi dalam berbagai bentuk dalam kebijakan dan praktik pembangunan (Ayers & Dodman, 2010) Meskipun mitigasi dan adaptasi sudah diatur setara dalam konvensi global, tetapi kebijakan yang mendorong berbagai negara untuk mengutamakan mitigasi masih ditemukan terutama karena adanya target pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing negara. Selain adanya ketidakseimbangan praktek dan kebijakan aksi adaptasi dan mitigasi, dalam wacana tata kelola perubahan iklim muncul isu trade off yang terjadi antara aksi adaptasi, mitigasi dan pembangunan yang dilakukan secara terpisah. Trade-off antara mitigasi perubahan iklim, adaptasi dan pembangunan, mendapat pengakuan dari tata kelola pemerintahan di berbagai negara (Munasinghe & Swart, 2005; Thornton & Comberti, 2017; Castells-Quintana et al., 2018; Shrestha & Dhakal, 2019: Akinyi et al., 2021; Auliz-Ortiz et al., 2023). Terkait isu trade off ini, Winkler 3 et al., (2015) menemukan adanya penekanan climate first dalam kebijakan perubahan iklim di berbagai negara. Tindakan ini seolah-olah melihat iklim yang menyebabkan pembangunan bermasalah.