57 BAB IV. Gambaran Umum Kota Jakarta Selatan Pada bagian ini akan menjelaskan gambaran umum Kota Jakarta Selatan yang berhubungan dengan evaluasi aksesibilitas dari perspektif 15-minutes city. Terdiri dari pembahasan mengenai administrasi, kondisi fisik, kependudukan, jaringan transportasi, penggunaan lahan, dan sebaran fasilitas. Penjelasan pada bagian ini digunakan sebagai input data dan informasi pada bagian selanjutnya yakni analisis data. IV.1 Batas Administrasi Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Selatan adalah salah satu dari lima kota administratif di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Wilayah ini terletak antara 6° 14' 0" hingga 6° 22' 0" Lintang Selatan dan antara 106° 45' 0" hingga 106° 55' 0" Bujur Timur, dengan luas total sekitar 145,73 kilometer persegi. Jakarta Selatan dikenal sebagai wilayah yang memadukan area bisnis, permukiman, dan kawasan hijau. Selain itu, Jakarta Selatan memainkan peran penting sebagai salah satu pusat ekonomi dan sosial di DKI Jakarta, serta menjadi bagian strategis dalam pergerakan ekonomi di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan dan 65 kelurahan dengan rincian detail sebagai berikut: 1. Kecamatan Cilandak dengan luas kurang lebih 2.681 ha terdiri dari 5 kelurahan 2. Kecamatan Jagakarsa dengan luas kurang lebih 2.524 ha terdiri dari 6 kelurahan 3. Kecamatan Kebayoran Baru dengan luas kurang lebih 771 ha terdiri dari 10 kelurahan 4. Kecamatan Kebayoran Lama dengan luas kurang lebih 1.740 ha tediri dari 6 kelurahan 5. Kecamatan Mampang Prapatan dengan luas kurang lebih 793 ha terdiri dari 5 kelurahan 6. Kecamatan Pancoran dengan luas kurang lebih 841 ha terdiri dari 6 kelurahan 58 7. Kecamatan Pasar Minggu dengan luas kurang lebih 2.507 ha terdiri dari 7 kelurahan 8. Kecamatan Pesanggrahan dengan luas kurang lebih 1.700 ha terdiri dari 5 kelurahan 9. Kecamatan Setiabudi dengan luas kurang lebih 643 ha terdiri dari 8 kelurahan 10. Kecamatan Tebet dengan luas kurang lebih 935 ha terdiri dari 7 kelurahan Gambar 4. 1 Peta Administrasi Kota Jakarta Selatan Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta, 2023 Secara batas administrasi, Kota Jakarta Selatan berada di bagian selatan Daerah Keistimewaan Ibukota Jakarta yang dikelilingi beberapa kabupaten dan kota, batas-batas administrasi Kota Jakarta Selatan meliputi: 59 • Sebelah Utara : Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat • Sebelah Timur : Kota Jakarta Timur • Sebelah Selatan : Kota Depok, Jawa Barat • Sebelah Barat : Kota Tangerang Selatan, Banten IV.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan Kota Jakarta Selatan Dalam sudut pandang konsep 15-minute city di Jakarta Selatan, kondisi topografi dan kelerengan wilayah menjadi salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan dalam mengevaluasi aksesibilitas dan proximity terhadap fasilitas publik. Wilayah Jakarta Selatan, yang sebagian besar terdiri dari dataran rendah namun juga memiliki beberapa daerah dengan kontur tanah yang lebih tinggi, seperti di kawasan perbukitan kecil, dapat menjadi tantangan dalam memastikan konektivitas yang efisien. Topografi yang beragam mempengaruhi efisiensi infrastruktur transportasi dan aksesibilitas terhadap layanan publik. Di daerah dengan kelerengan yang lebih curam akan lebih sulit untuk menyediakan akses yang mudah bagi pejalan kaki dan pesepeda. Keterbatasan ini harus diperhitungkan ketika melihat dari sudut pandang konsep kota 15 menit, di mana tujuan utama adalah memastikan bahwa masyarakat dapat mengakses fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, dan ruang terbuka hijau, dalam radius 15 menit berjalan kaki atau bersepeda. Sebaliknya, di area datar tantangan geografis lebih rendah sehingga penerapan konsep ini lebih mudah dan lebih efisien. 60 Gambar 4. 2 Peta Kemiringan Lereng Jakarta Selatan Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DEMNAS Tabel 4. 1 Klasifikasi Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng Klasifikasi Luas (Ha) 0 - 8% Datar 7684,95 8 - 15% Landai 4854,53 15 - 25% Agak Curam 1451,56 25 - 45% Curam 378,34 Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta Berdasarkan data yang diperoleh, mayoritas wilayah Jakarta Selatan didominasi oleh lereng dengan kemiringan datar (0-8%) yang mencakup luas wilayah sebesar 7.684,95 hektar. Wilayah ini memiliki potensi besar untuk pengembangan pemukiman dan infrastruktur perkotaan karena topografi datar memudahkan 61 pembangunan serta mendukung mobilitas pejalan kaki. Dominasi kawasan dengan kemiringan datar memberikan kemudahan dalam perencanaan tata kota yang berorientasi pada walkability. Selanjutnya, wilayah dengan kemiringan antara 8- 15% atau yang dikategorikan sebagai landai mencakup luas 4.854,53 hektar. Wilayah ini masih memungkinkan pengembangan yang relatif mudah, meskipun ada tantangan dalam memastikan aksesibilitas yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki, terutama di lokasi dengan kemiringan sedikit lebih tinggi. Pemahaman menyeluruh mengenai pola distribusi kemiringan lereng di Jakarta Selatan menjadi penting dalam perencanaan perkotaan yang berkelanjutan dan berorientasi pada keterjangkauan berjalan kaki (walkability). Dengan mempertimbangkan topografi beragam ini, pengembangan wilayah harus memperhatikan aspek keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan aksesibilitas bagi penduduk, khususnya dalam perspektif konsep kota 15 menit (15-Minute City) di mana setiap kebutuhan warga dapat diakses dalam jarak berjalan kaki atau bersepeda yang singkat dari tempat tinggal. IV.3 Kependudukan Kota Jakarta Selatan Kondisi kependudukan menjadi faktor penting yang mempengaruhi aksesibilitas, terutama dalam dimensi density (kepadatan penduduk). Dengan populasi yang terus meningkat di Jakarta Selatan, serta variasi kepadatan penduduk di berbagai kecamatan akibat urbanisasi dan migrasi, perlu dilakukan penyesuaian infrastruktur yang memperhatikan distribusi populasi agar aksesibilitas fasilitas publik dapat terjamin secara merata dan efisien. Kepadatan penduduk yang tinggi memberikan tantangan tersendiri dalam memastikan bahwa semua fasilitas dapat dijangkau dalam waktu 15 menit berjalan kaki atau bersepeda. Semakin padat populasi di suatu area, semakin banyak fasilitas publik yang dibutuhkan, seperti sekolah, rumah sakit, ruang hijau, dan pusat transportasi. Hal ini menuntut adanya perencanaan infrastruktur yang lebih matang untuk memastikan aksesibilitas terhadap fasilitas publik tetap terjaga 62 meskipun terjadi peningkatan populasi yang signifikan di wilayah-wilayah tersebut. Sebaliknya, di kecamatan dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah seperti Jagakarsa dan Pesanggrahan, jarak ke fasilitas publik mungkin lebih panjang, sehingga mempengaruhi efektivitas aksesibilitas berdasarkan konsep kota 15 menit. Dalam situasi ini, perlu dilakukan distribusi fasilitas yang lebih merata untuk menghindari ketimpangan aksesibilitas antara area padat dan kurang padat. Gambar 4. 3 Peta Kepadatan Penduduk Jakarta Selatan Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta, 2024 63 Tabel 4. 2 Jumlah Kepadatan Penduduk per Kelurahan Kecamatan Kelurahan Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan (Jiwa/km persegi) Cilandak Cilandak Barat 63043 5,89 10700 Lebak Bulus 46678 4,38 10653 Pondok Labu 57832 3,49 16557 Gandaria Selatan 27105 1,60 16952 Cipete Selatan 32748 2,39 13712 Jagakarsa Jagakarsa 79892 5,09 15709 Srengseng Sawah 74061 5,55 13337 Ciganjur 49709 3,65 13634 Lenteng Agung 68245 3,16 21624 Tanjung Barat 50552 3,57 14173 Cipedak 49580 4,06 12221 Kebayoran Baru Melawai 2956 1,28 2308 Gunung 11231 1,42 7891 Selong 3259 1,43 2282 Rawa Barat 6653 0,66 10146 Kramat Pela 17342 1,25 13885 Senayan 3266 1,43 2280 Pulo 6752 1,10 6115 Petogogan 13912 0,85 16355 Gandaria Utara 48594 1,56 31091 Cipete Utara 42102 1,71 24638 Kebayoran Lama Cipulir 49917 1,69 29496 Grogol Utara 52931 3,31 16004 Grogol Selatan 54944 2,88 19047 Kebayoran Lama Selatan 50904 2,07 24585 Kebayoran Lama Utara 53229 2,31 23027 Pondok Pinang 70088 6,79 10318 Mampang Prapatan Mampang Prapatan 22701 0,80 28551 Bangka 26426 3,17 8324 Pela Mampang 53422 1,95 27405 Tegal Parang 40191 1,05 38436 Kuningan Barat 15837 0,98 16220 Pancoran Pengadegan 26696 0,97 27418 Cikoko 12904 0,67 19380 Pancoran 24550 1,40 17541 Kalibata 52729 2,35 22400 Rawa Jati 26122 1,48 17674 Duren Tiga 34602 2,00 17289 Pasar Minggu Pasar Minggu 30616 1,99 15374 Jati Padang 46801 2,40 19513 Cilandak Timur 31361 3,71 8464 Ragunan 48969 4,77 10260 Pejaten Timur 72678 2,89 25191 Pejaten Barat 46351 3,08 15049 64 Kecamatan Kelurahan Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan (Jiwa/km persegi) Kebagusan 57065 2,78 20512 Pesanggrahan Pesanggrahan 34765 1,93 17975 Bintaro 66555 4,58 14528 Petukangan Utara 68081 2,81 24248 Petukangan Selatan 47008 2,13 22035 Ulujami 52076 2,04 25517 Setia Budi Karet Semanggi 3304 0,90 3671 Karet Kuningan 19502 1,69 11534 Karet 11431 1,00 11402 Menteng Atas 34101 1,05 32594 Pasar Manggis 33324 0,78 42502 Guntur 4603 0,65 7069 Kuningan Timur 7257 2,17 3350 Setia Budi 3540 0,68 5238 Tebet Kebon Baru 43392 1,26 34380 Bukit Duri 41973 1,08 39023 Manggarai Selatan 28410 0,55 51208 Manggarai 35552 1,06 33407 Tebet Timur 21521 1,32 16261 Tebet Barat 25590 1,64 15644 Menteng Dalam 44652 2,43 18405 Kecamatan dengan kepadatan tertinggi di Jakarta Selatan adalah Tebet, dengan jumlah penduduk sebesar 241.090 jiwa dan luas wilayah 9,34 km², menghasilkan kepadatan sekitar 25.807 jiwa per km². Kepadatan ini mencerminkan tekanan luar biasa terhadap ruang publik dan infrastruktur di wilayah tersebut. Dalam konteks walkability, tingginya kepadatan penduduk di Tebet menuntut perhatian khusus pada pengembangan jalur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan terhubung dengan baik antar-fasilitas. Penggunaan trotoar yang luas dan aksesibilitas yang baik sangat diperlukan agar mobilitas pejalan kaki tetap lancar, serta untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor yang dapat memperparah kemacetan dan polusi udara. Selain Tebet, kecamatan-kecamatan seperti Pancoran, dengan kepadatan 20.017 jiwa per km², dan Mampang Prapatan, dengan kepadatan 19.969 jiwa per km², juga menunjukkan tantangan serupa. Kecamatan-kecamatan ini menghadapi beban kepadatan yang tinggi, sehingga perlu menyediakan fasilitas umum yang 65 mudah diakses dan ruang terbuka hijau yang memadai untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat. Dengan populasi yang padat, keberadaan jalur pejalan kaki yang aman dan ramah pengguna serta konektivitas yang efisien ke fasilitas seperti sekolah, pasar, dan pusat layanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan produktif. Data kepadatan penduduk ini menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi populasi di beberapa kecamatan di Jakarta Selatan memerlukan perencanaan yang berfokus pada keterjangkauan, efisiensi ruang, dan peningkatan infrastruktur publik. Dengan pendekatan yang tepat, kepadatan ini dapat menjadi peluang untuk membangun komunitas yang terhubung dengan baik, ramah lingkungan, dan mendukung kehidupan sosial yang dinamis. IV.4 Jaringan Transportasi Kota Jakarta Selatan Jaringan jalan merupakan elemen inti dalam penerapan konsep 15-minute city, khususnya dalam konteks pengukuran aksesibilitas di Jakarta Selatan. Kondisi jaringan jalan, terutama dalam hal ketersediaan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, sangat berperan penting dalam dimensi proximity (kedekatan). Dari sudut pandang proximity, jaringan jalan harus memastikan bahwa fasilitas-fasilitas penting seperti pusat kesehatan, sekolah, dan ruang terbuka hijau dapat diakses dalam waktu maksimal 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Konektivitas antar jaringan jalan juga harus diperhatikan untuk memastikan kemudahan mobilitas dan akses cepat antar zona di Jakarta Selatan. Dengan memastikan bahwa jaringan jalan di Jakarta Selatan mendukung aksesibilitas yang baik untuk pejalan kaki dan pesepeda, kota ini dapat mendekati tujuan konsep 15-minute city yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Penataan dan pengelolaan yang tepat terhadap jaringan jalan akan memudahkan masyarakat untuk menjangkau berbagai fasilitas publik, meningkatkan kualitas hidup, serta mendorong gaya hidup sehat dan ramah lingkungan. 66 Gambar 4. 4 Peta Jaringan Jalan Jakarta Selatan Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta, 2023 Tabel 4. 3 Panjang tiap Fungsi Jalan di Jakarta Selatan Fungsi Jalan Panjang Jalan (Kilometer) Jalan Lokal 1379,06 Jalan Kolektor 126,19 Jalan Arteri 191,01 Jalan Lain 27,18 Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta Sebaran jaringan jalan di Jakarta Selatan menjadi elemen penting dalam mendukung konektivitas, mobilitas penduduk, serta aktivitas sosial dan ekonomi di wilayah tersebut. Berdasarkan data, total panjang jaringan jalan di Jakarta Selatan terdiri dari beberapa jenis fungsi, yaitu jalan arteri, kolektor, dan lokal, yang memiliki peran khusus dalam mendukung pergerakan barang, orang, dan 67 aktivitas sehari-hari. Jalan arteri, dengan panjang total 191,02 kilometer, berfungsi sebagai jalur utama yang menghubungkan kawasan-kawasan penting di Jakarta Selatan. Jalan ini menjadi koridor vital bagi pergerakan lalu lintas kendaraan dan memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, distribusi barang, dan mobilitas masyarakat dari satu wilayah ke wilayah lain. Sementara itu, jaringan jalan kolektor memiliki panjang total 126,19 kilometer dan berfungsi sebagai penghubung antara jalan arteri dan jalan lokal. Jalan kolektor memainkan peran penting dalam mendistribusikan lalu lintas dari kawasan permukiman ke jalan utama dan sebaliknya, serta memastikan arus lalu lintas tetap lancar. Jalan ini juga menjadi jalur penting yang menghubungkan masyarakat dengan pusat kegiatan ekonomi, layanan publik, serta fasilitas umum lainnya. Jalan lokal, yang memiliki panjang total 1.379,07 kilometer, menyebar luas dan berfungsi untuk menghubungkan antar-lingkungan, serta menjadi akses menuju jalan kolektor dan jalan arteri. Jalan lokal berperan penting dalam menyediakan akses langsung ke permukiman, sekolah, pasar, dan fasilitas kesehatan, serta mendukung mobilitas pejalan kaki di tingkat lingkungan. Dengan adanya jaringan jalan yang terintegrasi dan fungsional, Jakarta Selatan memiliki potensi untuk meningkatkan mobilitas warganya, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan memperkuat aksesibilitas terhadap layanan dan fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat sehari-hari. IV.5 Penggunaan Lahan Kota Jakarta Selatan Penggunaan lahan, khususnya sebaran permukiman, merupakan elemen kunci dalam penerapan konsep 15-minute city di Jakarta Selatan. Efisiensi dan perencanaan penggunaan lahan harus diprioritaskan untuk memastikan bahwa penduduk memiliki akses yang optimal ke berbagai layanan dan fasilitas publik dalam jarak tempuh 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Dalam dimensi proximity, sangat penting untuk memastikan bahwa zona permukiman berdekatan 68 dengan fasilitas umum seperti sekolah, pusat kesehatan, ruang terbuka hijau, pusat perbelanjaan, dan transportasi umum. Penggunaan lahan yang tidak merata, seperti konsentrasi fasilitas di daerah-daerah tertentu dan minimnya layanan di daerah permukiman padat penduduk, dapat mengakibatkan ketimpangan dalam aksesibilitas. Oleh karena itu, distribusi layanan yang baik di sekitar area permukiman akan menciptakan lingkungan yang ramah penghuni dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor. Ini sejalan dengan tujuan konsep 15-minute city, yang bertujuan untuk menciptakan kota yang lebih berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi emisi karbon melalui mobilitas berkelanjutan. Gambar 4. 5 Penggunaan Lahan Jakarta Selatan Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta, 2023 69 Tabel 4. 4 Luasan Penggunaan Lahan Jakarta Selatan Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Budaya 20,11 0,15 Campuran 76,89 0,59 Hunian 7951,30 61,05 Industri 51,76 0,40 Jasa 316,32 2,43 Keagamaan 93,99 0,72 Khusus 154,40 1,19 Laboratorium 18,46 0,14 Lain-Lain 0,61 0,00 Pelayanan Kesehatan 75,87 0,58 Pelayanan Pendidikan 443,28 3,40 Pelayanan Umum 136,93 1,05 Pemerintahan 238,08 1,83 Ruang Terbuka 1728,76 13,27 Penyimpanan 36,76 0,28 Perhotelan 75,35 0,58 Perikanan 44,79 0,34 Perkantoran dan Perdagangan 880,23 6,76 Pertanian 35,01 0,27 Peternakan 1,33 0,01 Terminal 134,35 1,03 Wisata 509,59 3,91 Sumber : Hasil Olah Data dari Open Data DKI Jakarta, 2023 Berdasarkan identifikasi penggunaan lahan di Jakarta Selatan, lahan hunian menjadi jenis penggunaan lahan terbesar dengan luas mencapai 7.951,30 hektar, atau sekitar 61,05% dari total luas lahan. Hal ini menunjukkan kebutuhan tinggi akan tempat tinggal yang seiring dengan pertumbuhan populasi yang signifikan di wilayah tersebut. Dominasi lahan hunian mencerminkan pentingnya perencanaan perkotaan yang berfokus pada penyediaan infrastruktur pendukung, seperti fasilitas umum, akses transportasi yang baik, dan ruang terbuka hijau, untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan berkelanjutan bagi masyarakat. Selain itu, ruang terbuka menempati posisi kedua dengan luas 1.728,76 hektar, yang setara dengan 13,27% dari total penggunaan lahan. Ruang terbuka ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan, menyediakan 70 area rekreasi, serta membantu mengurangi polusi udara di tengah kota yang padat. Penggunaan lahan untuk perkantoran dan perdagangan mencakup 880,23 hektar atau 6,76% dari total lahan, mencerminkan pentingnya sektor ekonomi dan layanan bisnis yang mendukung kegiatan masyarakat sehari-hari. Dengan adanya area ini, Jakarta Selatan dapat memberikan akses mudah ke berbagai layanan dan peluang pekerjaan, yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Penggunaan lahan yang bervariasi di Jakarta Selatan menciptakan keseimbangan antara hunian, ruang terbuka, kegiatan ekonomi, serta kebutuhan sosial dan pendidikan. Dengan perencanaan yang baik, berbagai fungsi lahan ini dapat dikelola secara efisien untuk mendukung pertumbuhan kota yang berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, serta menjaga keseimbangan lingkungan di tengah pesatnya perkembangan perkotaan. IV.6 Sebaran Fasilitas Publik di Kota Jakarta Selatan Selain aksesibilitas jaringan jalan, sebaran dan ketersediaan fasilitas publik di Jakarta Selatan merupakan aspek penting dalam pengukuran aksesibilitas menggunakan konsep 15-minute city, khususnya dalam dimensi proximity dan diversity. Konsep 15-minute city berfokus pada lima jenis fasilitas utama yang harus tersedia secara merata dan mudah diakses oleh penduduk, yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan, transportasi, serta fasilitas rekreasi dan sosial. Dari segi proximity, sebaran fasilitas ini harus diperiksa untuk memastikan bahwa setiap zona permukiman di Jakarta Selatan memiliki akses yang merata terhadap fasilitas tersebut, dengan jarak tempuh maksimal 15 menit berjalan kaki atau bersepeda. Ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor dan mendukung mobilitas berkelanjutan di seluruh wilayah. Sebagai contoh, di beberapa kecamatan padat penduduk seperti Kebayoran Baru atau Pasar Minggu, sebaran fasilitas mungkin lebih terkonsentrasi di titik-titik tertentu, sehingga diperlukan distribusi yang lebih merata di kawasan permukiman lain. Sementara itu, dimensi diversity menekankan pentingnya keberagaman fasilitas yang tersedia dalam radius 15 menit. Fasilitas yang beragam dan saling 71 terintegrasi akan meningkatkan kenyamanan dan efisiensi mobilitas penduduk tanpa harus bergantung pada kendaraan bermotor. Keberagaman fasilitas dalam jarak yang dekat memungkinkan warga untuk memenuhi berbagai kebutuhan— seperti akses ke sekolah, rumah sakit, pasar, serta tempat rekreasi—dalam waktu singkat. Hal ini juga mendukung lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda, serta menciptakan ruang kota yang lebih inklusif dan sehat. Dengan mengukur sebaran dan keragaman fasilitas publik di Jakarta Selatan melalui pendekatan ini, penelitian dapat membantu mengidentifikasi area yang memerlukan peningkatan distribusi dan aksesibilitas, sehingga dapat mendukung terciptanya mobilitas yang lebih efisien, mengurangi polusi, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. IV.6.1 Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Jakarta Selatan Sebaran fasilitas kesehatan di suatu wilayah menentukan tingkat aksesibilitas dan kualitas layanan yang dapat dinikmati masyarakat. Identifikasi dan analisis sebaran ini membantu memahami distribusi fasilitas seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, dan apotek serta dampaknya pada akses pelayanan kesehatan. Hal ini penting untuk mengurangi disparitas akses dan memastikan setiap individu memiliki layanan kesehatan yang setara.