17 BAB II. Tinjauan Pustaka Pada Bab ini akan dijelaskan terkait aksesiblitas, evolusi kota 15 menit, konsep kota 15 menit, preseden kota 15 menit, dan fasilitas perkotaan. II.1 Kota 15 Menit Konsep kota 15 menit adalah pendekatan inovatif dalam perencanaan kota yang bertujuan menciptakan lingkungan di mana penduduk dapat mengakses kebutuhan dasar mereka, seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, layanan kesehatan, rekreasi, dan belanja, dalam waktu 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Konsep ini dirancang untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, mendorong gaya hidup sehat, meningkatkan kohesi sosial, serta mendukung keberlanjutan lingkungan. Pada intinya, kota 15 menit menggabungkan prinsip kedekatan, desain kota yang ramah manusia, keberagaman fungsi lahan (mixed-use), dan efisiensi transportasi. Diperkenalkan oleh Carlos Moreno pada tahun 2016, konsep ini semakin relevan dalam konteks perkembangan kota modern yang menghadapi tantangan seperti urbanisasi cepat, polusi, kemacetan lalu lintas, dan ketimpangan sosial (Moreno et al., 2021; Allam et al., 2024). Dalam konteks perkembangan kota saat ini, konsep kota 15 menit muncul sebagai respons terhadap kebutuhan menciptakan lingkungan kota yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Di banyak kota di dunia, pertumbuhan penduduk telah mendorong urbanisasi yang tidak terkendali, menghasilkan lingkungan kota yang terfragmentasi dan bergantung pada transportasi bermotor. Kota 15 menit menawarkan paradigma baru dengan memprioritaskan aksesibilitas lokal dan pembangunan berbasis komunitas, sehingga mengurangi jejak karbon dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan (Pozoukidou & Chatziyiannaki, 2021; Michalska-Żyła, 2023). Konsep ini juga sejalan dengan tren pembangunan kota seperti smart cities dan green urbanism yang menekankan pentingnya keberlanjutan sosial, ekonomi, dan 18 lingkungan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam desain dan tata kelola kota, konsep kota 15 menit tidak hanya meningkatkan efisiensi kota tetapi juga mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG 11) dan New Kota Agenda yang dicanangkan oleh PBB (Pozoukidou & Angelidou, 2022; Mohamed et al., 2024).. II.1.1 Asal Usul dan Evolusi Kota 15 Menit Neighbourhood planning unit atau Perencanaan lingkungan tetangga telah lama menjadi subjek diskusi di kalangan perencana, dimulai sejak revolusi industri dan terus berlanjut hingga abad ke-20, menyoroti ketidakmampuan kota besar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduknya (Rohe, 2009). Pada masa revolusi industri, upaya meningkatkan efisiensi perkotaan melalui sentralisasi fasilitas dan layanan di pusat kota mengakibatkan berbagai masalah seperti degradasi lingkungan dan krisis kesehatan (Vojnovic et al., 2019). Sebagai respons terhadap krisis ini, Ebenezer Howard mengusulkan konsep kota taman atau garden city pada tahun 1898 sebagai upaya pertama yang disengaja untuk mengatasi masalah sosial dan kesehatan melalui desain fisik, memperkenalkan gagasan tentang komunitas satelit mandiri yang terhubung dengan kota pusat (Howard, 1965). Pada tahun 1923, Clarence Perry mengusulkan konsep unit lingkungan sebagai pendekatan perencanaan yang berfokus pada lingkungan sebagai unit dasar perencanaan, menekankan pentingnya kehidupan komunal dan akses ke layanan lokal (Perry, 1929). Gambar 2. 1 Evolusi Kota 15 Menit Sumber : Sharifi & Khavarian-Garmsir, 2020 19 Evolusi konsep kota 15 menit terinspirasi oleh perkembangan teknologi dan transformasi sosial-ekonomi sepanjang abad ke-20. Modernisme, dipromosikan oleh Le Corbusier dan Frank Lloyd Wright pada tahun 1920-an dan 1930-an, memperkenalkan ide tentang bangunan tinggi, ruang terbuka luas, dan transportasi kecepatan tinggi, namun ini mengarah pada pemisahan lingkungan kerja dan tempat tinggal yang akhirnya dianggap tidak efektif dalam meningkatkan kualitas hidup (Lehmann, 2016). Pada akhir abad ke-20, muncul urbanisme pasca-modern sebagai respons terhadap kekurangan perencanaan modernis, mengembalikan fokus pada walkability, skala manusia, dan kompak (Duany et al., 2000). Gerakan ini, bersama dengan eco-urbanisme yang muncul pada tahun 2000-an, menekankan kembali prinsip-prinsip Howard dan Perry tentang pengembangan campuran penggunaan dan komunitas yang erat, sekaligus memperkenalkan keberlanjutan lingkungan ke dalam diskursus perencanaan perkotaan (Joss et al., 2013; Ahvenniemi et al., 2017). Namun, pandemi COVID-19 menyoroti batasan model perkotaan yang ada, memaksa peninjauan kembali prinsip-prinsip perencanaan perkotaan yang lebih berfokus pada ketahanan, keberlanjutan, dan orientasi manusia (Sharifi & Khavarian-Garmsir, 2020). Dengan ini, konsep kota 15 menit, yang diperkenalkan oleh Carlos Moreno pada tahun 2016, membangun atas prinsip-prinsip historis perencanaan perkotaan sambil mengatasi tantangan kontemporer ketahanan perkotaan, keberlanjutan, dan inklusivitas. Ini memberikan insight mengenai struktur perkotaan yang terdesentralisasi, modular, dan fleksibel yang menekankan kedekatan, densitas, dan keragaman, berusaha untuk menciptakan lingkungan yang layak, adil, dan ekologis yang mampu beradaptasi dengan tantangan masa depan (Moreno et al., 2021). Evolusi konsep kota 15 menit merupakan hasil akumulasi berbagai ide dan prinsip perencanaan perkotaan yang berkembang sejak era revolusi industri hingga abad ke-21. Pada masa revolusi industri, pendekatan sentralisasi fasilitas di pusat kota menghasilkan dampak negatif seperti degradasi lingkungan dan krisis kesehatan, 20 yang kemudian mendorong munculnya gagasan perencanaan berbasis komunitas. Ebenezer Howard memperkenalkan konsep kota taman pada tahun 1898 untuk menciptakan komunitas mandiri yang terhubung dengan kota pusat, sementara Clarence Perry pada tahun 1923 mengusulkan unit lingkungan yang menekankan pentingnya kehidupan komunal dan akses ke layanan lokal. Modernisme pada awal abad ke-20, yang diperkenalkan oleh tokoh seperti Le Corbusier, berfokus pada transportasi cepat, bangunan tinggi, dan zonasi yang ketat, tetapi akhirnya dinilai gagal menciptakan kota yang berkelanjutan dan layak huni. Gerakan urbanisme pasca-modern dan eco-urbanisme yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 mengembalikan fokus pada walkability, skala manusia, dan keberlanjutan lingkungan. Pandemi COVID-19 semakin menyoroti kelemahan model perkotaan konvensional, mendorong pergeseran ke arah perencanaan yang lebih tangguh dan berorientasi pada manusia. Konsep kota 15 menit yang diperkenalkan oleh Carlos Moreno pada tahun 2016 menjadi kristalisasi dari evolusi panjang ini, mengintegrasikan prinsip-prinsip historis seperti kedekatan, densitas, dan keragaman, dengan fokus pada tantangan kontemporer seperti ketahanan, keberlanjutan, dan inklusivitas. Dengan menekankan desain modular dan terdesentralisasi, kota 15 menit berupaya menciptakan lingkungan perkotaan yang adil, ekologis, dan fleksibel, serta mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan tantangan masa depan. Konsep ini merepresentasikan titik temu antara warisan perencanaan urban historis dan kebutuhan masyarakat modern. II.1.2 Komponen Kota 15 Menit Konsep kota 15 menit telah menjadi titik fokus dalam diskusi perencanaan perkotaan terkini, yang menekankan pada keperluan di mana warga kota dapat mengakses sebagian besar kebutuhan sehari-hari mereka dalam jarak berjalan kaki atau bersepeda selama 15 menit dari rumah mereka. Pendekatan ini sejalan dengan tujuan yang lebih luas untuk menciptakan kota yang berkelanjutan, layak huni yang mengutamakan infrastruktur yang ramah pejalan kaki dan aksesibilitas 21 terhadap layanan dan fasilitas esensial (Pozoukidou & Chatziyiannaki, 2021; Moreno et al., 2021; Manifesty & Park, 2022). Konsep kota 15 menit memastikan bahwa semua kebutuhan hidup esensial dapat diakses dalam waktu berjalan kaki atau bersepeda yang singkat, menandai pergeseran signifikan dalam prioritas perencanaan perkotaan menuju arah yang lebih hijau dan ramah pejalan kaki. Konsep ini didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang menghubungkan lingkungan yang mudah diakses dengan berjalan kaki dengan berbagai manfaat lingkungan dan sosial, termasuk pengurangan kemacetan, pengeluaran transportasi yang lebih rendah, penurunan polusi udara lokal, dan pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan transportasi (Hidalgo, Castañer, & Sevtsuk, 2020; Moreno, 2020; Zhang et al., 2022; Thadani, Krier, & Aurbach, 2010; Andrés & Padilla, 2018). Implementasi konsep ini telah mendapat perhatian dan dukungan global, dengan beberapa kota di berbagai negara mulai mengadopsi prinsip-prinsipnya dalam perencanaan dan kebijakan kota mereka. Kota Paris, di bawah kepemimpinan Wali Kota Anne Hidalgo, menjadi contoh terkemuka dalam menerapkan "Kota 15 Menit" sebagai bagian dari strategi pemulihan pasca-pandemi dan peningkatan kualitas hidup perkotaan. Kesuksesan ini menunjukkan potensi konsep tersebut dalam mempromosikan kohesi sosial, keberlanjutan ekologi, dan dinamika ekonomi yang lebih sehat di kota-kota pasca-pandemi.(Moreno ,2020) Konsep "Kota 15 Menit" mengintegrasikan empat dimensi utama: kepadatan, kedekatan, keberagaman, dan digitalisasi. Dimensi ini saling berkaitan dan berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan kota yang berkelanjutan dan inklusif (Moreno ,2020) : 22 Gambar 2. 2 Komponen Utama Kota 15 Menit Sumber : Moreno et al., 2021 1. Kepadatan mengacu pada pengoptimalan jumlah penduduk per kilometer persegi untuk memastikan keberlanjutan layanan kota dan konsumsi sumber daya. Pendekatan terhadap kepadatan ini menekankan pada pentingnya menemukan jumlah optimal penduduk yang memungkinkan kota menyediakan layanan dan infrastruktur yang memadai tanpa melebihi kapasitas atau merusak lingkungan. Konsep kepadatan ini sangat berbeda dari pendekatan perencanaan tradisional yang sering kali berfokus pada pengembangan vertikal dengan bangunan tinggi sebagai solusi terhadap keterbatasan lahan. Sebaliknya, dalam kerangka "Kota 15 Menit", kepadatan dikaitkan dengan ide menciptakan solusi lokal terhadap masalah seperti generasi energi, pasokan makanan, dan penggunaan ganda dari ruang yang tersedia. 2. Kedekatan menekankan pada aksesibilitas layanan dasar dalam radius berjalan kaki atau bersepeda 15 menit, mendukung pengurangan waktu dan dampak lingkungan dari perjalanan. Kedekatan ini tidak hanya diukur dalam jarak fisik tetapi juga dalam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai layanan tersebut, idealnya dalam waktu 15 menit berjalan kaki atau bersepeda. Konsep kedekatan ini sangat penting untuk mengurangi 23 waktu yang hilang dalam berkomuter dan untuk mengurangi dampak lingkungan serta ekonomi dari aktivitas tersebut. Selain itu, kedekatan membantu menentukan indikator sosial yang mempengaruhi penduduk perkotaan, terutama dalam mendorong interaksi sosial yang lebih baik. Kedekatan layanan ini memungkinkan warga untuk dengan mudah beralih dari area tempat tinggal ke tempat kerja, area komersial, pusat pendidikan, fasilitas kesehatan, dan institusi dasar lainnya dalam rentang waktu yang singkat. 3. Keberagaman mendukung pengembangan lingkungan campuran penggunaan yang menawarkan berbagai layanan dan kegiatan, mempromosikan inklusivitas dan interaksi sosial. Keberagaman diinterpretasikan dalam dua aspek utama: pertama, kebutuhan akan lingkungan permukiman campuran yang menyediakan kombinasi antara komponen residensial, komersial, dan hiburan; kedua, keberagaman dalam konteks budaya dan populasi. Kedua aspek keberagaman ini dianggap faktor penting dalam mendukung kehidupan kota yang dinamis dan inklusif. Lingkungan permukiman campuran diutamakan karena dapat mendukung keberlanjutan ekonomi perkotaan yang dinamis, memastikan penyediaan perumahan yang cukup untuk semua penduduk kota, mendorong inklusivitas, dan mendukung praktik-praktik berkelanjutan. 4. Digitalisasi memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pengalaman penduduk kota dan mendukung pengiriman layanan yang efisien dan berkelanjutan. Digitalisasi dalam konteks ini merujuk pada pemanfaatan teknologi digital untuk meningkatkan pengalaman hidup urban, memfasilitasi penyampaian layanan yang lebih efisien, dan mendukung praktik berkelanjutan. Ini berhubungan erat dengan konsep Kota Cerdas (Smart City), di mana penerapan berbagai teknologi seperti Internet of Things (IoT), AI, Big Data, dan lainnya, digunakan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi kota dan meningkatkan kualitas hidup warga kota Dalam kerangka "Kota 15 Menit", digitalisasi memainkan beberapa peran kunci (Moreno ,2020), termasuk : 24 a. Meningkatkan Mobilitas: Melalui solusi digital seperti sistem berbagi sepeda dan aplikasi navigasi yang memberikan informasi real-time tentang rute terbaik, kondisi lalu lintas, dan ketersediaan transportasi umum, sehingga mendukung mobilitas berkelanjutan dan penggunaan transportasi alternatif selain mobil pribadi. b. Memudahkan Akses ke Layanan: Digitalisasi memungkinkan akses mudah ke berbagai layanan publik dan komersial melalui platform online, seperti belanja online, pembayaran digital, dan layanan kesehatan virtual, yang mengurangi kebutuhan untuk perjalanan fisik dan mendukung konsep kedekatan. c. Mendukung Keberagaman dan Inklusivitas: Teknologi digital dapat digunakan untuk mempromosikan dan memfasilitasi kegiatan budaya dan sosial yang memperkaya keberagaman kota. Platform digital dan media sosial memungkinkan warga untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas, berbagi pengalaman, dan berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial. d. Optimalisasi Penggunaan Sumber Daya: Sistem cerdas berbasis IoT dapat digunakan untuk monitoring dan manajemen energi, air, dan sumber daya lainnya secara lebih efisien, mendukung upaya keberlanjutan dan pengurangan emisi karbon. II.1.3 Fasilitas Perkotaan menurut Konsep Kota 15 Menit Fasilitas perkotaan meliputi berbagai infrastruktur dan layanan yang penting untuk mendukung kehidupan sehari-hari di area perkotaan. Menurut Salaj dan Lindkvist (2020), fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, taman, sistem transportasi, dan infrastruktur publik lainnya berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup warga kota dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Salaj & Lindkvist, 2020). Nijkamp dan Mobach (2020) menekankan pentingnya manajemen fasilitas perkotaan dalam mendukung desain yang berorientasi kesehatan, baik di perkotaan maupun di fasilitasnya, yang menunjukkan bagaimana intervensi desain 25 yang sehat dapat saling menguatkan antara perencanaan kota dan manajemen fasilitas (Nijkamp & Mobach, 2020). Konsep "kota 15 menit" sangat terkait dengan penyediaan fasilitas perkotaan yang memungkinkan warga kota untuk mengakses layanan penting dalam waktu singkat tanpa bergantung pada transportasi bermotor. Tujuan utama dari konsep ini adalah untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih berkelanjutan, efisien, dan ramah pengguna. Menurut Yang (2023), konsep kota 15 menit menekankan pada penempatan strategis fasilitas-fasilitas seperti sekolah, pusat kesehatan, toko, dan taman dalam jarak berjalan kaki atau bersepeda dari tempat tinggal warga. Ini dirancang untuk mengurangi kebutuhan perjalanan jarak jauh dan, sebagai akibatnya, mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas hidup perkotaan (Yang, 2023). Allam et al. (2022) menjelaskan bahwa kota 15 menit juga memanfaatkan teknologi pintar untuk mengoptimalkan distribusi dan aksesibilitas fasilitas-fasilitas ini, mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Adapun variabel fasilitas perkotaan yang digunakan dalam penelitian terdahulu mengenai konsep kota 15 menit adalah sebagai berikut : Tabel 2. 1 Studi Literatur Fasilitas Perkotaan Sumber Kategori Fasilitas Fasilitas Staricco, 2022 Education Nurseries, Kindergartens, Elementary schools, Middle schools, Secondary schools Health and social services Neighbourhood health centres, Counselling centres, Social care services, Registry offices, Post Offices, Police stations, Churches, Open air markets Entertaiment Green areas, Playgrounds, Playrooms, Sports Fachilities, Libraries, Theatres, Cinemas Tao et al., 2023 Markets Supermarkets, Street Markets Restaurant Restaurant Parks Urban and street parks, Playgrounds, Sport-grounds Gorrini et al., 2023 Education Public kindergarten, Nursery school, Primary school, Secondary schools 26 Sumber Kategori Fasilitas Fasilitas Health Services Hospital, Local health service, Clinic, Consulting service, Pharmacy Local Shops Grocery, Local market, Non- food local shop, Tobacconist, Newstand Neighborhood Sevices Bank, Atm, Post Office, Hairdresser, Bar, Local Public Administration office Green Areas Green Areas Community service Community centers, Association centres, Civic and multipurpose centers, Neighborhood centers, Place of worship Sport Services Gym, Sport Facilities de Leániz & Lobo, 2023 Health Hospitals, Health centers, Pharmacy, Social centers Education Public centers, Private centers, Universities, Senior high schools, Campus Environment Park, Theme Parks, Air Stations Culture Libraries, Bookstores, Cinemmas, Museums, Theatres, Sport institutions Commerce Markets, Shopping malls, Bank offices, Accommodations Olivari et al., 2023 Education College, Kindergartens, School, University Entertaiment Arts centre, Community centers, Conference centre, Events venue, Fountain, Public bookcase, Social centre, Studio Grocery Bakery, Beverages, Butcher, Coffee, Forzen food, Health food, Pastry, Seafood, Supermarkets, Department store, Kiosk, Mall Health Clinic, Dentist, Hospital, Nurshing Home, Pharmacy, Social facility Post and banks Atm, Bank, Bureau de change, Post Office Parks Park, Pet Park 27 Sumber Kategori Fasilitas Fasilitas Sustenance Restaurant, Café, Fastfood Shops Deparment Store, Kiosk, Mall Dalam berbagai studi literatur terkait konsep kota 15 menit, terdapat sejumlah kategori fasilitas yang sering dibahas dan dapat diurutkan berdasarkan tingkat kemunculannya. Pendidikan menjadi kategori yang paling sering disebutkan, dengan fasilitas seperti taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga menengah, serta universitas dianggap sebagai elemen esensial. Hal ini menunjukkan bahwa akses mudah terhadap pendidikan adalah prioritas utama dalam mendukung pengembangan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan. Layanan kesehatan juga menempati posisi penting, dengan fokus pada keberadaan rumah sakit, klinik, apotek, dan pusat layanan kesehatan masyarakat yang memastikan kesejahteraan fisik dan mental penduduk. Kategori lain yang banyak mendapat perhatian adalah ruang hijau dan rekreasi, seperti taman kota, area hijau, dan fasilitas olahraga. Fasilitas ini dianggap krusial untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, sekaligus menyediakan ruang untuk interaksi sosial. Layanan komunitas, termasuk pusat komunitas, tempat ibadah, dan fasilitas multifungsi, juga sering dibahas sebagai elemen penting dalam memperkuat koneksi sosial dan memberikan ruang untuk aktivitas kolektif. Di sisi lain, fasilitas komersial dan ekonomi, seperti pasar, toko kelontong, pusat perbelanjaan, serta layanan keuangan seperti bank dan ATM, menjadi prioritas karena mendukung keberlanjutan ekonomi lokal dan kemudahan akses kebutuhan sehari-hari. Kategori terakhir yang tidak kalah penting adalah hiburan dan budaya, yang meliputi fasilitas seperti perpustakaan, bioskop, museum, dan pusat seni. Fasilitas ini tidak hanya berfungsi untuk pengayaan budaya tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan emosional masyarakat. Secara keseluruhan, hasil studi menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan fondasi utama dalam perencanaan kota 15 menit, yang kemudian dilengkapi oleh elemen-elemen lain 28 yang mendukung keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam menciptakan kehidupan kota yang holistik. II.1.4 Preseden Kota 15 Menit Setelah mengeksplorasi secara menyeluruh penerapan konsep kota 15 menit di beberapa kota dan mensintesis temuan dari penelitian terbaru, terbukti bahwa model pembangunan perkotaan ini diadopsi dan diadaptasi secara global dengan berbagai tingkat keberhasilan dan tantangan. Berikut adalah kota-kota yang sudah menerapkan kebijakan dalam upaya mendukung kota 15 menit : 1. Paris, Prancis Paris telah menerapkan kebijakan proaktif untuk mendukung konsep kota 15 menit, termasuk perluasan jaringan jalur sepeda dan penghijauan kota. Wali Kota Anne Hidalgo berfokus pada mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, meningkatkan aksesibilitas pejalan kaki dan pengendara sepeda, dan mengintegrasikan ruang hijau lebih banyak ke dalam lingkungan urban. Tantangan yang dihadapi termasuk resistensi dari pengguna kendaraan pribadi dan kebutuhan investasi besar untuk infrastruktur (Barbieri et al., 2023). Penerapan konsep kota 15 menit di tingkat kota memerlukan semacam dekonstruksi kota, meningkatkan keragaman dan mengurangi distribusi fasilitas yang tidak seimbang antar distrik. Menurut penasihat Hidalgo, ada enam hal yang membuat warga kota bahagia: tempat tinggal yang layak, bekerja dalam kondisi yang tepat, memperoleh kebutuhan, kesejahteraan, pendidikan, dan rekreasi. Untuk meningkatkan kualitas hidup, diperlukan pengurangan radius akses untuk fungsi-fungsi ini, yang berarti menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih terintegrasi, di mana toko-toko bercampur dengan rumah, bar bercampur dengan pusat kesehatan, dan sekolah dengan gedung perkantoran. Lebih banyak ruang jalan akan didedikasikan untuk pejalan kaki dan sepeda, memberikan banyak fungsi pada ruang publik dan semi-publik, seperti halaman sekolah siang hari yang bisa menjadi fasilitas olahraga malam hari, dan mendorong beberapa fungsi keluar, seperti toko-toko kecil, toko buku, dan toko kelontong. Setiap warga 29 diharapkan bisa mencapai dokter mereka (dan idealnya pusat medis) dan fasilitas olahraga dalam waktu 15 menit (Pisano, 2020). Gambar 2.