Hasil Ringkasan
15 Bab II Studi Literatur Pada bab ini, membahas berbagai literatur dan teori yang menjadi dasar pemahaman untuk menjadi pijakan dasar dalam melaksanakan penelitian. Bab ini berisi pemahaman mengenai tata kelola pembangunan yang berkelanjutan, tipe-tipe dalam tata kelola pembangunan dan sistem energi regional yang berkelanjutan sebagai pilar dalam pembangunan regional berkelanjutan serta implikasinya dalam rencana energi daerah yang berkelanjutan. II.1 Manajemen Tata Kelola Pembangunan yang Berkelanjutan Dalam agenda-agenda besar berskala global seperti Sustainable Development Goals (SDGs) dan New Urban Agenda (NUA), prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi perspektif utama dalam pembangunan. Agenda-agenda ini mencakup serangkaian target yang harus dicapai melalui kerjasama sebagai masyarakat global. Misalnya, SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 target yang merupakan rencana aksi global untuk periode 15 tahun (dari 2016 hingga 2030) dengan fokus Memutus kemiskinan, mengurangi kesenjangan sosial, dan melindungi lingkungan (BAPPENAS, 2021). Berdasarkan kesepakatan saat pengesahan SDGs yang dihadiri oleh sekitar 193 kepala negara, SDGs berlaku secara universal, sehingga setiap negara memiliki kewajiban untuk meratifikasi, membuat rencana aksi, mengimplementasikan, dan secara rutin melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian target. Dalam memahami pembangunan yang berkelanjutan ini melalui berbagai paradigma pendapat ahli yang pada akhirnya disetujui secara global sebagai suatu kesepakatan, teori pembangunan berkelanjutan ini tentunya telah melewati fase pengembangan teori yang panjang. Sebagai suatu kata kerja, sejarah kata “berkelanjutan” diyakini telah ada dalam bahasa inggris “sustainable” sejak tahun 1290 atau bahkan sebelumnya. Dan diyakini berasal dari bahasa latin “sub” dan “tenere”, yang berarti untuk “menegakkan” atau untuk “menjaga”. Namun demikian, konsep dari makna “bekelanjutan” seperti yang kita pahami sekarang G 16 mulai terbentuk melalui sejumlah arus pemikiran selama sekitar setidaknya seratus tahun terakhir, sejak akhir abad 19. Pengembangan awal konsep keberlanjutan seringkali dikaitkan dengan munculnya ide mengenai konservasi lingkungan, misalnya konsep konservasi hutan yang dikemukakan oleh Theodore (Roosevelt, 1957). Hal ini menjadi pencetus konsep keberlanjutan dengan aspek ekologis. Selanjutnya, kondisi pasca-Perang Dunia II, memunculkan banyak pemikiran dari aktivis-aktivis lingkungan seperti (Vogt, 1948), (Osborn, 1948), (Carson, 1962), dan (Commoner, 1971) yang menyampaikan padangan atas kegentingan situasi ekologis global, dan memancing diskusi terbuka mengenai keberlanjutan. atas kegentingan situasi ekologis global, dan memancing diskusi terbuka mengenai keberlanjutan. Pada kalangan Politisi di Tahun 1963 senator Gaylord Nelson menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup akan terus-menerus bertambah parah, jika tidak didorong menjadi masalah sosial dan politik, oleh karenanya persoalan lingkungan perlu menjadi agenda politik nasional, regional dan internasional. Berawal dari keprihatinan sang senator akan kerusakan lingkungan serta penurunan kualitas lingkungan, sejak tahun 1969 muncul ide untuk menggagas Gerakan lingkungan terbesar, bahwa kenapa tidak semua orang berusaha untuk mengatasi persoalan tersebut (Gaylord Nelson, 1980). Para aktivis lingkungan ini berpendapat bahwa pertambahan populasi, tingkat polusi, penggunaan sumber daya yang boros, dan akumulasi racun di lingkungan membahayakan masa depan banyak spesies, termasuk manusia itu sendiri, hal ini menimbulkan gerakan kepedulian lingkungan yang semakin menguat di AS. Persaingan senjata nuklir selama tahun-tahun perang dingin juga semakin memperkeruh pandangan tentang keberlanjutan masa depan peradaban dunia. Momok lingkungan semakin memuncak dengan merebaknya kasus minamata sebagai excess radiasi bom nuklir di Jepang. Berbagai keresahan yang terakumulasi ini akhirnya mendorong diadakannya konferensi lingkungan pertama PBB pada tahun 1972 di Stockholm.