109 BAB 6 PENUTUP Pada bab ini akan dijelaskan beberapa hal yang berfungsi sebagai penutup dari keseluruhan penelitian, mencakup temuan studi, kesimpulan, refleksi teoretis, kelemahan studi, dan saran untuk studi lanjutan 6.1. Temuan Studi Berdasarkan proses analisis beserta pembahasan terhadap hasil analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa temuan yang menjawab tiga sasaran penelitian ini, dan dapat dianggap sebagai serangkaian kesimpulan parsial yang merangkum dan menyimpulkan berbagai diskusi dan pembahasan pada bab sebelumnya. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Mengidentifikasi motivasi dan tindakan yang berkembang dalam konteks pengembangan komunitas melalui pariwisata berbasis heritage. Proses analisis terhadap sasaran pertama penelitian menghasilkan temuan berupa elaborasi komponen-komponen kerangka konseptual penelitian—yakni nilai, agensi, dan kapabilitas—yang berkembang pada komunitas di Kampung Batik Laweyan. Penelitian mengidentifikasi dua bentuk nilai, dua bentuk ekspresi agensi yang merefleksikan kedua bentuk nilai yang sebelumnya disebutkan, serta fokus atau prioritas kapabilitas yang unik dan merefleksikan baik nilai maupun ekspresi agensi komunitas. Dua bentuk nilai yang diidentifikasi dikategorikan sebagai nilai ekonomi dan nilai kultural. Nilai ekonomi merepresentasikan dimensi praktis komunitas yang diasosiasikan dengan nilai-nilai kewirausahaan (entrepreneurship). Adapun nilai kultural merepresentasikan dimensi filosofis yang diasosiasikan dengan beberapa fungsi heritage dari delapan fungsi yang dikemukakan oleh Lowenthal (2015), yang mencakup fungsi identity—diidentifikasi sebagai fungsi yang pertama berkembang, diikuti dengan fungsi possession dan enhancement yang berkembang setelahnya. 110 Dua nilai tersebut diekspresikan dalam agensi komunitas, yang juga dikategorikan ke dalam aspek ekonomi dan kultural. Agensi ekonomi berkembang sebagai suatu motivasi praktis untuk merespons krisis yang dialami komunitas di Kampung Batik Laweyan dengan tujuan revitalisasi aktivitas ekonomi, khususnya melalui pengembangan aktivitas pariwisata berbasis heritage lokal. Di sisi lain, agensi kultural berkembang sebagai suatu motivasi filosofis yang bersifat komplementer dan tidak terlepaskan dengan agensi ekonomi, yang hadir dalam bentuk upaya preservasi dan promosi heritage setempat. Pemanfaatan heritage untuk tujuan ekonomi ini menunjukkan dependensi antara kedua bentuk agensi, sebab tujuan ekonomi komunitas untuk merevitalisasi aktivitas ekonomi Laweyan tidak dapat diwujudkan tanpa adanya kontekstualisasi tujuan tersebut dengan heritage yang dimiliki. Adapun terkait kapabilitas, diketahui bahwa berdasarkan empat kategori yang menjadi batasan pendefinisian komponen tersebut dalam penelitian ini, dua di antaranya diidentifikasi sebagai prioritas komunitas, satu sebagai prekondisi tindakan komunitas secara umum, dan satu sebagai pendukung. Dua kategori kapabilitas yang diprioritaskan adalah kapabilitas ekonomi—terutama dalam konteks upaya pencapaian aktivitas ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan—serta kapabilitas sosial—terutama dalam konteks interaksi kolaboratif elemen penyusun komunitas untuk mencapai suatu tujuan kolektif, serta untuk meningkatkan keterampilan elemen-elemen tersebut. Prioritas komunitas pada kedua kategori tersebut tercermin dari aktivitas-aktivitas komunitas berkaitan dengan praktik kepariwisataan, praktik bisnis batik, preservasi warisan budaya, dan kegiatan sosial lainnya. Hal ini menunjukkan upaya komunitas untuk meningkatkan kapabilitas mereka—terutama dalam konteks kedua kategori tersebut—secara aktif. Di sisi lain, kapabilitas psikologis tidak diidentifikasi sebagai prioritas meskipun memiliki peranan yang signifikan. Hal ini dikarenakan tidak adanya aktivitas yang diasosiasikan secara langsung dengan kapabilitas psikologis, mengindikasikan bahwa tidak terdapat upaya aktif untuk meningkatkan kapabilitas komunitas dalam konteks ini. Akan tetapi, sebagaimana 111 disebutkan sebelumnya, kapabilitas psikologis tetap memiliki peranan penting, sebab persepsi eksisting komunitas terhadap heritage yang bersifat positif merepresentasikan terpenuhinya fungsi kapabilitas psikologis, yakni untuk meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan komunitas. Melalui persepsi positif tersebut, upaya aktif untuk meningkatkan kapabilitas dalam dua kategori prioritas yang sebelumnya dijelaskan dapat dilakukan, sehingga kapabilitas psikologis diidentifikasi sebagai sebuah prekondisi. Kategori terakhir dari kapabilitas, yakni kapabilitas politis, juga tidak diidentifikasi sebagai kapabilitas prioritas dikarenakan tidak adanya aktivitas yang dapat diasosiasikan secara langsung dengannya. Perkembangan Kampung Batik Laweyan yang digerakkan secara signifikan oleh elemen internalnya secara mandiri, beserta aktivitas yang berkembang mengindikasikan signifikansi kapabilitas sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapabilitas politis. Meskipun demikian, aspek-aspek dalam kapabilitas ini dapat dikatakan memiliki peranan penting dalam mendukung interaksi—merepresentasikan fungsi dari kapabilitas sosial— antara berbagai elemen penyusun komunitas. 2) Menjelaskan hubungan antara motivasi dan tindakan yang berkembang, khususnya bagaimana motivasi tersebut mendorong komunitas untuk memilih dan melaksanakan tindakan tertentu dalam konteks pengembangan komunitas melalui pariwisata berbasis heritage. Analisis terhadap sasaran kedua mengungkap temuan yang memvalidasi dan memperjelas kerangka konseptual penelitian yang memosisikan nilai sebagai komponen abstrak yang kemudian—melalui suatu mekanisme tertentu—diejawantahkan ke dalam agensi ataupun tindakan. Hubungan antara komponen-komponen tersebut utamanya memiliki hierarki yang jelas, sebagaimana telah diindikasikan dalam poin temuan sebelumnya. Nilai sebagai komponen abstrak berperan sebagai motivasi atau penggerak utama atas suatu tindakan komunitas. Akan tetapi, terdapat hambatan serius dalam menerjemahkan nilai menjadi tindakan, mengingat sifat keduanya yang jauh berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat 112 komponen yang berperan sebagai jembatan antara keduanya, yang dalam kerangka konseptual penelitian ini diasosiasikan dengan agensi. Agensi merepresentasikan ekspresi tujuan yang merefleksikan nilai kolektif yang berkembang di dalam komunitas. Dengan demikian, agensi mengartikulasikan konteks suatu tindakan dan dalam proses tersebut juga memberi makna bagi tindakan relatif terhadap nilai. Adapun tindakan sendiri secara langsung berinteraksi dengan agensi, merealisasikan ekspresi tujuan tersebut melalui serangkaian tindakan yang dalam konteks penelitian ini dikategorikan ke dalam batasan tertentu. Temuan lain berkaitan dengan sasaran penelitian ini adalah bahwa bagaimana nilai memotivasi tindakan komunitas dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi kepada komunitas yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi memicu pengejawantahan agensi yang spesifik, dan oleh karenanya nilai yang sama dapat memotivasi tindakan yang berbeda-beda, sesuai dengan agensi apa yang terbentuk. Dengan demikian, agensi merupakan komponen krusial yang menentukan hubungan dan interaksi antara nilai dengan tindakan komunitas. 3) Menjelaskan posisi dan fungsi heritage dalam komunitas beserta pengaruhnya terhadap motivasi dan tindakan komunitas. Berdassarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, penelitian ini mengidentifikasi kedudukan heritage yang unik pada komunitas di Kampung Batik Laweyan, yakni utamanya sebagai sumber dari nilai yang memotivasi tindakan komunitas. Dalam konteks nilai ekonomi, heritage berperan dalam membangun nilai-nilai kewirausahaan melalui aktivitas produksi dan perdagangan batik yang menjadi aktivitas ekonomi dan mata pencaharian utama masyarakat yang bermukim di Laweyan. Proses pembelajaran dan transmisi keterampilan dari generasi ke generasi menanamkan nilai-nilai kewirausahaan sebagai nilai yang krusial baik dalam konteks praktis— sebagai mata pencaharian—maupun dalam konteks filosofis—sebagai identitas kolektif masyarakat. 113 Hal tersebut berkaitan erat dengan peran heritage dalam konteks nilai kultural. Sebagaimana juga disinggung dalam poin temuan pertama penelitian, heritage diasosiasikan dengan fungsi identity komunitas. Aktivitas produksi batik dan artefak-artefak lain yang diasosiasikan dengan aktivitas tersebut merupakan perwujudan identitas Laweyan yang telah dibangun sejak awal perkembangannya di abad ke-16. Fungsi identity ini merupakan fungsi yang utama dan pertama berkembang di dalam persepsi komunitas terhadap heritage yang mereka miliki. Selanjutnya, heritage juga diasosiasikan dengan fungsi possession, di mana pemanfaatan berbagai elemen heritage sebagai daya tarik pariwisata menandakan bahwa komunitas juga menganggapnya sebagai aset yang memiliki nilai tertentu. Heritage juga diasosiasikan dengan fungsi enhancement, di mana heritage dianggap memiliki nilai tambah bagi masa kini melalui sense of grandeur yang diasosiasikan dengannya. Temuan di atas juga mengindikasikan heritage memiliki asosiasi yang kuat dengan agensi dan berperan sebagai enabler komponen tersebut. Heritage sebagai sumber nilai-nilai kewirausahaan dan aset melalui fungsi possession dapat diasosiasikan sebagai nilai yang berkontribusi terhadap ekspresi agensi ekonomi, sedangkan heritage sebagai identitas kolektif dapat diasosiasikan dengan agensi kultural. Adapun persepsi heritage melalui fungsi enhancement dapat diasosiasikan dengan kedua agensi tersebut, di mana persepsi positif atas masa lalu memberikan dorongan untuk menyelaraskan dua komponen agensi yang muncul dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan masing-masing agensi tersebut. 6.2. Kesimpulan Sebelum membahas kesimpulan lebih lanjut, penting untuk mengingat kembali pemosisian penelitian ini secara teoretis, beserta tujuan besar penelitian yang berkaitan dengan pemosisian tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian pendahuluan, penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi domain etika dalam diskursus pembangunan dengan membahas pariwisata berbasis heritage sebagai sarana pembangunan. Dalam konteks tersebut, pendekatan kapabilitas digunakan sebagai kerangka teoretis dan analisis utama yang kemudian dikembangkan lebih 114 lanjut untuk mengidentifikasi dan memahami motivasi dan tindakan komunitas serta hubungan antara keduanya dengan meninjau aspek-aspek nilai, tindakan itu sendiri, dan heritage komunitas. Pembahasan yang dirangkum dalam temuan studi menggarisbawahi posisi krusial nilai sebagai komponen yang memotivasi tindakan kolektif dalam konteks pembangunan. Nilai merupakan fondasi yang menjelaskan mengapa komunitas memilih untuk melakukan suatu tindakan, juga apa tujuan ataupun tindakan yang diupayakan tersebut. Akan tetapi, sifatnya yang abstrak membuat nilai—sebagai sebuah komponen mandiri—tidak mencukupi untuk dapat mendorong suatu tindakan nyata. Dalam konteks tersebut, agensi berkembang sebagai perantara utama yang mengejawantahkan nilai—sebuah motivasi abstrak—ke dalam suatu ekspresi tujuan yang kemudian dapat direalisasikan melalui tindakan konkret. Terkait dengan agensi, penelitian ini menyimpulkan dua hal penting dalam proses artikulasi komponen tersebut. Hal pertama, yaitu bahwa pemicu yang mendorong proses translasi nilai ke dalam agensi memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan ekspresi tujuan apa saja yang tertuang dalam agensi serta bagaimana mereka berinteraksi—baik dalam konteks agensi itu sendiri maupun dalam kaitan antara agensi dan nilai. Di kasus Kampung Batik Laweyan, pembentukan agensi dipicu oleh penurunan kondisi ekonomi terkait dengan produksi dan perdagangan batik, yang menjelaskan mengapa komunitas mengartikulasikan agensi ekonomi yang bersumber dari nilai-nilai kewirausahaan sebagai penggerak utama tindakan komunitas. Akan tetapi, nilai-nilai kultural yang bersumber dari persepsi komunitas terhadap heritage yang dimiliki memengaruhi pembentukan agensi, memunculkan agensi kultural sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agensi ekonomi. Hal ini menunjukkan adanya suatu negosiasi antara nilai ekonomi dan kultural—melalui pengantaraan agensi—yang menghasilkan dinamika agensi kolektif yang unik. Hal kedua yang juga menjadi catatan penting dalam proses artikulasi agensi adalah peran aktor yang mengarahkan keberlangsungan proses tersebut. Penelitian ini mengidentifikasi FPKBL—yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pengusaha batik setempat—sebagai aktor utama yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan agensi kolektif di Kampung Batik Laweyan, di mana mereka 115 memfasilitasi proses artikulasi agensi yang relatif kohesif serta dapat bertahan dan diterima secara umum, bahkan ketika terdapat aktor-aktor lain yang berkembang dan melaksanakan sebagian fungsi yang pada awalnya hanya dilaksanakan oleh FPKBL. Hal ini dapat terjadi karena FPKBL yang beranggotakan tokoh lokal memiliki keterkaitan yang kuat dengan nilai-nilai ekonomi dan kultural Laweyan dan—secara umum—kesamaan persepsi dengan keseluruhan komunitas yang bermukim di Laweyan, Jika proses artikulasi agensi diarahkan oleh aktor eksternal dengan nilai dan persepsi yang berbeda dengan komunitas di Laweyan, dapat terjadi ketidakselarasan antara nilai-nilai lokal dengan agensi tindakan yang dilaksanakan. Poin ini menegaskan kembali pentingnya peran aktor dan inisiatif lokal untuk memastikan keserasian antara nilai, aspirasi, dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan pembangunan. Adapun terkait dengan tindakan, pembahasan di atas menyimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan yang berkembang dalam konteks aktivitas pariwisata berbasis heritage di Laweyan memperoleh makna atau esensinya melalui keselarasan dengan agensi, sehingga sebagaimana dinyatakan sebelumnya dalam kesimpulan ini, merefleksikan nilai secara konkret. Tindakan juga merepresentasikan upaya untuk mengembangkan dan mencapai kapabilitas melalui realisasi agensi tertentu. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dua kapabilitas yang diprioritaskan komunitas—yakni kapabilitas ekonomi dan sosial—berkaitan secara langsung dengan agensi ekonomi dan secara tidak langsung dengan agensi kultural. Di sisi lain, meskipun dalam mayoritas konteks pengejawantahan nilai menjadi tindakan konkret dimediasi oleh agensi, penelitian ini juga menemukan bahwa hingga taraf tertentu, nilai dapat memengaruhi tindakan tanpa melalui pengantaraan agensi. Hal ini mengindikasikan suatu hubungan yang fluid dan dinamis antara nilai, agensi, dan tindakan komunitas untuk mencapai kapabilitas tertentu dalam upaya komunitas untuk mendefinisikan dan mencapai tujuan pembangunannya secara mandiri. Diagram berikut merangkum dan mengilustrasikan kompleksitas hubungan antara komponen-komponen pendekatan kapabilitas yang telah diidentifikasi dan didiskusikan secara ekstensif pada uraian-uraian sebelumnya. 116 Gambar 6.1. Sintesis interaksi dan dinamika komponen heritage, nilai, agensi, dan kapabilitas komunitas Sumber: Hasil Elaborasi, 2024 117 Satu diskursus lain yang dibahas dalam penelitian ini dan perlu disimpulkan temuan-temuannya adalah terkait dengan fungsi heritage dalam komunitas. Heritage memiliki dua fungsi yakni sebagai sumber nilai dan sebagai enabler agensi. Sebagai sumber nilai, heritage berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan, cara pandang dan pola pikir, serta identitas kolektif yang menumbuhkan nilai kewirausahaan dan kebanggaan terhadap identitas yang menguatkan sense of belonging komunitas itu sendiri. Di saat yanng bersamaan, heritage berperan sebagai enabler agensi dengan memberikan konteks fundamental yang memungkinkan komunitas untuk mengasosiasikan nilai dengan agensi tertentu secara spesifik. Berkembangnya persepsi heritage melalui fungsi possession dan enhancement setelah terbentuknya agensi kolektif menunjukkan interaksi yang resiprokal antara nilai dan agensi, di mana nilai tidak hanya memengaruhi ekspresi agensi tetapi juga dipengaruhi dan dibentuk melalui agensi dan tindakan-tindakan konkret komunitas yang muncul karenanya. Kesimpulan umum yang dapat disintesiskan dari uraian panjang di atas adalah bahwa penelitian ini memperkenalkan dan menegaskan fungsi krusial nilai dalam memotivasi pembangunan, serta fungsi agensi sebagai perantara utama dalam mentranslasikan nilai ke dalam tindakan-tindakan konkret. Teridentifikasinya suatu hubungan iteratif dan dinamis yang kuat antara nilai, agensi, dan tindakan untuk mengembangkan kapabilitas memberikan pemahaman holistik terkait bagaimana komunitas membentuk, menentukan, dan melaksanakan upaya pembangunan yang bermakna bagi diri mereka sendiri. Lebih lanjut, identifikasi fungsi heritage sebagai sumber nilai dan enabler agensi dapat memperkaya diskursus kepariwisataan—khususnya dalam konteks pariwisata berbasis heritage, menunjukkan dan menegaskan kembali potensi praktik pariwisata sebagai salah satu sarana pembangunan yang sarat dengan pertimbangan prinsip-prinsip etika. (bagian ini sengaja dikosongkan) 118 6.3. Refleksi Teoretis Temuan dan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya memunculkan beberapa pembahasan penting yang dapat diposisikan sebagai refleksi kritis terhadap landasan teorertis penelitian ini. Refleksi teoretis tersebut akan distrukturkan ke dalam dua pembahasan utama, yakni terkait dengan pendekatan kapabilitas dan fungsi heritage. 6.3.1. Refleksi terhadap Pendekatan Kapabilitas Dalam penelitian ini, pendekatan kapabilitas diposisikan sebagai perspektif etika yang digunakan untuk meninjau praktik pembangunan melalui aktivitas pariwisata berbasis heritage. Meskipun demikian, pendekatan ini memiliki keterbatasan terkait dengan sifatnya yang relatif abstrak dan kecenderungannya untuk diposisikan dalam konteks quasi-individualistik—misalnya ditunjukkan oleh poin-poin kapabilitas dasar manusia yang diajukan oleh Nussbaum (2011). Kasus serta temuan penelitian terkait dinamika antara nilai, agensi, dan tindakan komunitas di Kampung Batik Laweyan menunjukkan bahwa pendekatan kapabilitas juga dapat diaplikasikan secara efektif pada konteks nyata (tangible) dan kolektif. Salah satu pengembangan signifikan terhadap pendekatan tersebut yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan memasukkan konsep nilai secara eksplisit sebagai komponen dalam dinamika antara agensi dan kapabilitas. Meskipun Sen (1999) mengindikasikan bahwa nilai merupakan suatu hal yang penting dan dipertimbangkan oleh individu ataupun komunitas dalam dinamika agensi dan kapabilitas, posisi dan peran nilai dalam dinamika tersebut tidak dieksplorasi secara mendalam. Kesimpulan penelitian ini menekankan signifikansi nilai dalam kerangka pendekatan kapabilitas dengan menunjukkan hubungan yang jelas antara komponen tersebut dengan agensi dan kapabilitas, yakni bahwa nilai merupakan komponen yang memotivasi artikulasi agensi dan merepresentasikan sebuah kerangka abstrak yang menjadi ruang lingkup bagi agensi dan kapabilitas untuk memperoleh makna dan relevansinya. 119 Pengembangan signifikan lainnya berkaitan dengan upaya untuk mengoperasionalisasikan pendekatan kapabilitas dalam konteks pariwisata berbasis heritage, yang dicapai melalui integrasi kerangka teoretis yang bersumber dari Scheyvens (1999) dan Lowenthal (2015). Kategori pemberdayaan komunitas yang dikemukakan oleh Scheyvens memberikan landasan untuk mendefinisikan kapabilitas dalam konteks pariwisata, sedangkan peran heritage sebagai sarana untuk memaknai keterkaitan antara masa lalu dan masa kini melalui berbagai fungsi yang dikemukakan oleh Lowenthal menambahkan kedalaman persepsi dan pemahaman sehubungan dengan nilai yang berkaitan dengan heritage. Kedua kerangka teoretis tersebut berperan dalam memberikan batasan dan pendefinisian bagi komponen pendekatan kapabilitas yang relatif abstrak, menjadikannya lebih aplikatif dalam studi empiris. Penting untuk dicatat bahwa pengembangan kerangka teoretis di atas berlaku pada konteks spesifik penelitian ini—yakni pariwisata berbasis heritage— yang merefleksikan kondisi unik komunitas di Kampung Batik Laweyan. Oleh karenanya, penelitian lain dengan konteks yang berbeda berpotensi untuk menggunakan alternatif kerangka teoretis yang berbeda dalam mendefinisikan komponen-komponen pendekatan kapabilitas—terutama kapabilitas itu sendiri, serta nilai yang baru dikonseptualisasikan sebagai komponen tersendiri secara eksplisit dalam penelitian ini. Keputusan Sen yang secara sengaja menghindari pendefinisian komponen-komponen pendekatannya secara definitif karena pertimbangan filosofis yang dimilikinya tetap dihormati—hingga taraf tertentu— dalam penelitian ini. Oleh karenanya, pengembangan pendekatan kapabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai pengembangan yang definitif, melainkan—sebagaimana dinyatakan dalam awal paragraf ini—sebagai pengembangan yang kontekstual terhadap lingkup penelitian. Meskipun demikian, penelitian ini berargumen bahwa setidaknya terdapat satu kategori kapabilitas yang secara umum tetap memiliki relevansi dalam berbagai konteks lainnya—selama tinjauan menggunakan pendekatan kapabilitas tersebut berada dalam konteks kolektif. Kategori tersebut adalah kapabilitas sosial.