Hasil Ringkasan
BAB 5 YUDHAPRATAMA NUGRAHA

Jumlah halaman: 18 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

62 Bab V Pembahasan Penelitian mengestimasi dampak kebijakan pengendalian pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU). Metode yang digunakan adalah Difference-in- Differences (DiD), yang kemudian dikombinasikan dengan Propensity Score Matching (PSM) dan Propensity Score Weighting (PSW). Dalam mencapai masing- masing sasaran penelitian, dilakukan analisis perubahan tutupan lahan dengan memanfaatkan citra satelit melalui platform Google Earth Engine. Data yang dihimpun digunakan untuk menghitung cadangan karbon (carbon stock) dari berbagai jenis tutupan lahan. Kemudian, data tahunan tersebut dikorelasikan dengan karakteristik desa yang diperoleh dari berbagai sumber BPS. Serangkaian proses ini dilakukan untuk menggambarkan dampak kebijakan yang sudah dilakukan. V.1 Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Untuk mencapai sasaran pertama, dilakukan klasifikasi tutupan lahan kemudian ditelaah dinamikanya dari waktu ke waktu. Data dilatih menggunakan 80% dari sampel untuk pelatihan dan 20% untuk pengujian, dengan jarak antar sampel diatur menggunakan metode within-distance untuk mengurangi overfitting. Setelah proses filtrasi, jumlah sampel pelatihan adalah 2.931, dengan akurasi pelatihan 0.94. V.1.2 Pengisian Celah Data (Gap Filling) Dalam proses pengumpulan data citra satelit, terdapat kendala berupa celah data (gaps) pada citra Landsat 7 yang disebabkan oleh kegagalan fungsi Scan Line Corrector (SLC) pada 31 Mei 2003, yang mengakibatkan hilangnya sekitar 22% data pada setiap citra. Untuk mengatasi masalah ini, Peneliti menggunakan metode pengisian celah dari United States Geological Survey yang didokumentasikan laman resmi USGS. Algoritma pengisian celah ini diimplementasikan di Google Earth Engine, dengan kode asli dikembangkan oleh Noel Gorelick dan dimodifikasi oleh Gennadii Donchyts. 63 Gambar V.1 Citra Landsat 7 sebelum dilakukan pengisian celah data Langkah ini merupakan pengembangan dari langkah yang dilakukan oleh Scaramuzza, et al (2004) dalam melakukan pengisian celah dengan menggunakan citra dari scene landsat yang lain. Dalam literatur lain, Moreno-Martinez et al. (2020) mengusulkan pendekatan dengan menggunakan Google Earth Engine (GEE) untuk menerapkan Highly Scalable Temporal Adaptive Reflectance Fusion Model (HISTARFM), yang memungkinkan pengisian celah secara efisien pada citra satelit. Model ini digunakan untuk memperbaiki citra dengan menggabungkan data dari periode waktu yang berdekatan dan memperbaiki celah yang disebabkan oleh kegagalan SLC. Gambar V.2 Citra Landsat 7 setelah pengisian celah data V.1.3 Analisis Perubahan Fungsi Lahan 64 Raw image Classifie d 1989 2023 Gambar V.3 Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Tahun 1989 & 2023 Setelah berhasil melakukan pengisian celah data, peneliti melakukan klasifikasi lahan. Peneliti melakukan spatial filtering dan imbasnya adalah berkurangnya titik sampel pada fase training yang kondisinya berdekatan. Lokasi titik sampel spatial filtering bisa dilihat pada gambar. Hal ini dilakukan untuk meingkatkan akurasi dari model. Kemudian hasilnya dilakukan dari tahun 1989 sampai 2004. Pembagaian klasisfikasi lahan dilakukan menjad kelas yang sesuai sengan ESA world cover dengan mempertibangkan definisi dari KLHK. Pada kawasan penelitian, teridentifikasi ada 7 jenis tutupan lahan yaitu tutupan vegetasi, padang rumput, schrub, lahan terbuka, lahan perkebunan, lahan terbangun dan badan air. Gambar V.4 Spatial filtering di Wilayah Studi Bandung Selatan 65 Pengendalian Pembangunan Kawasan Bandung Utara memuat ketentuan pembagian kategori wilayah menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Terdapat arahan zonasi yang terdiri dari Zona L1, L2 dan B1 sampai B5. Zona Lindung pemanfaatan ruangannya diarahkan untuk mempertahankan fungsi kawasan lindung dan/atau memperluas kawasan lindung yang ada. Sedangkan Zona Budidaya cakupan pemanfaatan ruangnya lebih luas namun tetap mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam penelitian ini, model yang dikembangkan digunakan juga untuk menganalisis dinamika perubahan tutupan lahan di Zona L1 dan L2. Gambar V. 5 Ketentuan Zonasi Kawasan Bandung Utara (Sumber : DBMTR Prov. Jawa Barat, diolah 2024) Zona L1, dalam pasal 22, pemanfaatan ruangnya diarahkan untuk mendukung fungsi konservasi air, tanah, keanekaragaman hayati, tipe ekosistem, dan menjaga makroklimat, serta mencegah dan/atau mengurangi dampak akibat bencana alam. Terdapat larangan larangan mendirikan bangunan atau menambah kawasan terbangun. Tentu, karena kawasan ini statusnya adalah sebagai Zona Lindung Utama, maka idealnya kawasan ini steril. Pada saat peraturan ini disahkan, berdasarkan hasil identifikasi model, memang sudah terdapat lahan terbangun. Gambar V. mengonfirmasi bahwa kawasan terbangun di Zona L1 tidak tersebar merata, melainkan cenderung terkonsentrasi di titik-titik tertentu, diantaranya Suntenjaya dan di sepanjang Sesar Lembang. 66 Gambar V. Kawasan Terbangun di Zona L-1 pada tahun 2016 Gambar V. 1 Pertambahan Lahan Terbangun di Kawasan L-1 dan Koridor Sesar Lembang 2022 Namun, setelah kebijakan ini diberlakukan, terdapat indikasi peningkatan kawasan terbangun yang cukup luas di Zona L1, setidaknya yang teridentifikasi oleh model. Pertumbuhan ini salah satunya terkonsentrasi di koridor alur Sesar Lembang— sebuah wilayah dengan radius 250 meter di kedua sisi sesar— yang secara regulasi seharusnya tidak mengalami peningkatan lahan terbangun. Fenomena ini terjadi di Langensari memanjang menyusur sesar ke Kertawangi dan Pagerwangi sampai Jambudipa. Padahal, secara eksplisit daerah ini dikategorikan sebagai area dengan pembatasan ketat. Pada pasal 22 poin (e), untuk meminimalisasi risiko bencana, permohonan perizinan baru ditolak bagi bangunan hunian di daerah rawan longsor dan koridor alur Sesar Lembang. Meskipun secara peraturan, pembangunan di sekitar koridor Sesar Lembang masih dimungkinkan, namun hal tersebut hanya diperbolehkan di Zona L2, dan itupun harus melalui kajian risiko serta mitigasi bencana yang ketat. 67 Gambar V. 2 Ekspansi Kawasan Terbangun di Antara Hutan Lindung yang Teridenfikasi (kuning = 2016, merah = 2022) Hasil identifikasi model menunjukkan adanya perluasan permukiman di Zona L1, salah satunya ada di daerah yang terhimpit oleh tiga gunung: Gunung Kasur, Gunung Pacet, dan Pasir Luhur. Perluasan kawasan terbangun di lokasi ini cenderung cepat mengingat aksesibilitas yang relatif terbatas. Wilayah ini termasuk dalam kawasan Cipanjalu, Cilengkrang. Gambar V. menggambarkan ekspansi kawasan terbangun yang teridentifikasi oleh model dengan melibatkan Esri Basemap. Muncul objek wisata baru, homestay dan fasilitas wisata lainnya di daerah tersebut belakangan ini. Dikarenakan secara regulasi dikategorikan sebagai Zona L1, maka daerah ini harus mendapat cukup perhatian. Ditambah lagi, kawasan ini dikelilingi oleh hutan lindung yang memiliki fungsi ekologis penting. Gambar V. 3 Hasil Klasifikasi di Zona L-1 Kawasan Bandung Utara 2016 (kiri) & 2022 (kanan) Berdasarkan citra yang terklasifikasi, perubahan tutupan lahan di Zona L-1 tidak hanya terbatas pada konversi menjadi kawasan terbangun. Sejumlah area yang sebelumnya didominasi oleh tutupan vegetasi juga mengalami perubahan menjadi 68 lahan pertanian dan area terbuka. Transformasi ini menunjukkan dinamika pemanfaatan lahan yang kompleks, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tekanan ekonomi, kebutuhan ruang, serta perubahan sosial. Implikasinya, terjadi perubahan cadangan karbon di kawasan tersebut. Penurunan tutupan tutupan vegetasi berpotensi mengurangi kapasitas kawasan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Hal ini dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem serta kontribusi kawasan terhadap mitigasi perubahan iklim. Analisis lebih lanjut akan diuraikan pada subbab berikutnya. Gambar V. 4 Dinamika Kawasan Terbangun di Zona L-2 Tahun 2016 & 2022 Pada Gambar V, ditunjukan perluasan kawasan terbangun tidak hanya terjadi di Zona L-1, tetapi juga di zona L-2. Skala perluasannya lebih besar seperti yang telah diperkirakan. Berbeda dengan Zona L-1, pembangunan di wilayah ini masih diperbolehkan, namun dengan ketentuan yang ketat. Pasal 23 menggarisbawahi beberapa aturan, di antaranya: (f) pembangunan baru, terutama untuk hunian rumah tinggal atau perumahan, harus diarahkan ke kawasan permukiman yang telah ditetapkan serta berada di bawah garis kontur ketinggian 1.000 mdpl; (g) pembangunan hunian di luar kawasan permukiman atau di atas 1.000 mdpl masih dimungkinkan, tetapi hanya diperuntukkan bagi masyarakat asli/lokal dengan pembatasan terhadap jumlah dan luas kawasan terbangun; serta (i) terdapat persyaratan teknis yang mengatur bahwa Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal adalah 20%, dengan minimal 80% dari kawasan tetap menjadi ruang terbuka, setelah melalui kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan. 69 meskipun terdapat kelonggaran dalam pembangunan, kebijakan tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan guna menjaga keseimbangan ekosistem dan mitigasi risiko lingkungan. Gambar V. Hasil Klasifikasi Citra di Zona L-2 Kawasan Bandung Utara 2016 (kiri) & 2022 (kanan) Berbeda dengan yang terjadi di L-1, perubahan tutupan lahan di Zona L-2 didominasi oleh konversi menuju kawasan terbangun. Zona L-1 memiliki ketentuan lebih ketat, regulasi di Zona L-2 memungkinkan adanya pembangunan baru dengan batasan tertentu. Hal ini dapat menjelaskan mengapa ekspansi lahan terbangun di zona ini lebih cepat. Peningkatan kawasan terbangun di daerah ini berimplikasi pada berkurangnya tipe tutupan lahan lain yang memiliki kemampuan menyerap karbon yang lebih tinggi. Konversi juga sering kali diikuti oleh perluasan lahan terbuka sebelum pembangunan fisik terjadi. Lahan yang telah dikonversi menjadi kawasan terbangun biasanya sulit untuk kembali ke kondisi awalnya. Konversi ini mengurangi kapasitas kawasan dalam menyerap dan menyimpan karbon lebih cepat. Selain itu, terlihat pola perkembangan kawasan terbangun di Zona L-2 merambat dari arah selatan, dimulai dari Kota Bandung, menuju ke daerah Lembang mengikuti jalur-jalur utama. Hal ini mengindikasikan terjadinya urban sprawl. Secara lebih luas, dalam konteks seluruh Kawasan Bandung Utara (KBU), penelitian ini tidak hanya berfokus pada Zona L1 dan L2, mengingat kebijakan yang diterapkan mencakup aspek yang lebih luas. Peneliti membandingkan 2 periode observasi, setelah dan sebelum kebijakan. Untuk periode setelah kebijakan, peneliti menggunakan periode 2013-2016 sebagai acuan saat kebijakan mulai diberlakukan dan kemudian dibandingkan dengan periode 2021-2023 setelah kebijakan 70 diberlakukan. Sedangakan untuk membandingkan perubahan sebelum kebijakan, Peneliti menggunakan periode 2005-2008 seabagai baseline sebelum kebijakan diberlakukan dan kemudian dibandingkan dengan periode 2013-2016, sesaat sebelum kebijakan diberlakukan. Pada Bab ini, peneliti berfokus pada lima desa dengan penurunan terbesar sebelum dan saat kebijakan diberlakukan. Saat kebijakan diberlakukan, penurunan tutupan lahan vegetasi terbesar ada di kecmatan Cikalong wetan yaitu Desa Cipada dan Desa Ganjarsari. penurunan tutupan lahan berkurang sebesar ~215 dan ~206 hektar pada masing masing desa. Pengurangannya hampir sekitar 21 - 25 % artinya hampir satu perempatnya berkurang dari periode awal. Semua desa yang termasuk pada kelima desa dengan pengurangan tutupan lahan vegetasi tertinggi terletak di Kabupaten Bandung Barat dimana wilayah ini memiliki proporsi area terluas di KBU dan semakin dikenal sebagai lokasi wisata. Kedua desa dengan penurunan tutupan vegetasi tertinggi merupakan wilayah yang memiliki akses yang tergolong mudah dan terkenal atas kawasan wisata alam. Tabel V. 1 Desa dengan penurunan luasan tutupan vegetasi tertinggi Untuk membandingkan perubahan dengan sebelum diberlakukannya kebijakan, peneliti menggunakan sampel desa yang sama. Dapat dilihat pada Tabel V.2, pada desa yang sama, didapati bahwa ternyata pengurangan tutupan lahan vegetasinya lebih tinggi setelah diberlakukan kebijakan. Contohnya pada desa cipadam dimana pengurangan yang sebelum kebijakan sekitar 197 hektar, setelah kebijakan menjadi 215 pengurangannya. Tentu hal ini tidak bisa disimpulkan karena imbas dari pemberlakukan kebijakan. Dugaan peneliti adalah bahwa ini merupakan proses Busines As Usual atau keadaan yang berlangsung secara alamiah. Dimana proyek Desa Kecamatan Tutupan Vegetasi (ha) Perubahan Tutupan Lahan (ha) Persentase Perubahan (%) Cipada Cikalong wetan 862.8395294 -215.8662353 -25.01812074 Ganjarsari Cikalong wetan 965.8983529 -206.3784706 -21.36647919 Karyawangi Parongpong 1697.452235 -198.9755294 -11.72201051 Pasirlangu Cisarua 598.3390588 -185.0248235 -30.92307293 Suntenjaya Lembang 1221.583765 -146.082 -11.9584104 71 masa lampau tetap berjalan ditambah dengan pembukaan lahan yang baru dikemudian hari. Terjadi pengurangan laju penurunan tutupan vegetasi, tapi tidak signifikan contohnya pada Desa Suntenjaya. perubahan tutupan lahan berkurang tapi tidak terlalu tajam. Dengan kata lain, penguranan tutupan lahan vegetasi di Kawasan Bandung Utara tetap terus terjadi dan pada beberapa kasus semakin tinggi. Tabel V.2 Desa dengan perubahan luasan tutupan lahan vegetasi tertinggi Sedangkan untuk wilayah dengan perubahan hutan terendah ada pada Cimenyan, Campakamekar, Mekarmanik, Ciburial dan Ciwaruga. hal ini tidak mengindikasikan keberhasilan dari kebijakan pengendalian pembangunan tetapi memang wilayah ini sudah tidak didominasi oleh tutupan vegetasi. Cimenyan dan Padalarang penggunaan lahannya mayoritas adalah pemukiman dan begitu juga Ciwaruga yang merupakan kawasan pemukiman ditambah dengan adanya pusat pendidikan.