Hasil Ringkasan
68 Bab VI Kesimpulan VI.1 Kesimpulan Setelah pembahasan hasil penelitian dimanifestasikan dalam bagian sebelumnya dari penelitian ini, maka pada bagian kesimpulan, peneliti menyampaikan kesimpulan hasil penelitian yang berfokus pada uraian dan jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan pada bagian awal penulisan tesis ini. VI.1.1 Aktor-Aktor yang Berkepentingan Dengan Konservasi Bangunan Cagar Budaya di Kawasan Tunjungan Dalam membahas bangunan cagar budaya yang ada di Surabaya tidak lepas dari history Kota Surabaya itu sendiri. Kota ini memiliki beragam bangunan heritage yang memiliki value arsitektur dan historis yang berharga. Pada masa kejayaannya, bangunan-bangunan ini membentuk suatu karakter perkotaan yang dirancang serupa dengan kota-kota di Eropa. Kawasan di Kota Surabaya yang memilki karakter tersebut adalah Kawasan Tunjungan. Pada masa kolonial Belanda, kawasan Tunjungan dikembangkan untuk menjadi kawasan bisnis bagi warga Kolonial Belanda dan pribumi kelas atas. Dalam menjaga kelestarian kawasan dam bangunan di Kawasan Tunjungan perlu adanya strategi konservasi yang tepat. Menjaga kelestarian dimaksud dapat diupayakan dengan cara menjaga wujud keaslian bangunan, mempertahankan nilai-nilai historis untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya sejarah, terutama sejarah Kota Surabaya. Adapun aktor- aktor yang berkepentingan dengan konservasi ini terdiri dari 3 lapisan yaitu lembaga pemerintah diwakili oleh Disbudparpora, DPRKPP, dan Dishub; lembaga non pemerintah diwakili TACB dan TABG dan akademisi; Masyarakat tersusun dari komunitas (Begandring Soerabaia), pemilik bangunan, masyarakat umum dan seniman musisi. 69 VI.1.2 Peran dan Relasi Antar Stakeholder Dalam Strategi Konservasi Bangunan Cagar Budaya di Kawasan Tunjungan Kawasan Tunjungan merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang dikenal oleh masyarakat Surabaya maupun luar Surabaya sebagai ikon sejarah Kota Surabaya. Kawasan yang meliputi Kecamatan Tegalsari dan koridor Jalan Tunjungan ini memiliki keistimewaan non fisik yaitu simbolisme dan makna Jalan Tunjungan sebagai kawasan elit penghubung kota atas atau disebut juga bovenstad (Surabaya Utara) dengan kota bawah atau disebut juga dengan benedenstad (Surabaya Selatan) serta masa kolonial Belanda pemanfaatan dan peran lingkungan sebagai etalase khususnya bagi orang Belanda di Surabaya. Kawasan ini juga memiliki konsentrasi bangunan cagar budaya dan struktur kota tua yang masih utuh. Konservasi merupakan bagian konkrit dari pengelolaan bangunan cagar budaya. Dalam menjalankan konservasi kawasan dan bangunan cagar budaya khususnya di Kota Surabaya telah dituangkan dalam Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan atau Lingkungan Cagar Budaya. Selain itu. Terkait penetapan kawasan konservasi dan cagar budaya tertuang pada RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034. Adapun kawasan tersebut yaitu Makam Sunan Ampel; Kota Lama; Darmo dan Diponegoro; area Komersial dan Kampung Lama Tunjungan. Hasil penelitian menyatakan bahwa upaya konservasi kawasan dan cagar budaya di Kota Surabaya khususnya di Kawasan Tunjungan masih belum maksimal. Kawasan ini pada 10 tahun terakhir mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan pertokoan yang mayoritas tutup permanen dan nilai pajak semakin meningkat.