Hasil Ringkasan
BAB 4 ADITYA PUTRA PRATAMA SANTOSA

Jumlah halaman: 7 · Jumlah kalimat ringkasan: 35

30 BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN KONSERVASI CA GAR BUDAYA KAWASAN TUNJUNGAN KOTA SURABAYA IV.1 Kawasan Cagar Budaya di Surabaya Berlandaskan (Perda) Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005, kawasan cagar budaya diartikan sebagai area yang berada di sekitar bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk menjaga kelestarian bangunan tersebut. Kawasan ini mencakup wilayah yang berusia minimal 50 tahun dan memiliki nilai signifikan bagi sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kawasan cagar budaya di Kota Surabaya, akan dijelaskan dalam sub bab berikut. IV.1.1 Sejarah Kawasan Cagar Budaya di Surabaya Pembahasan mengenai bangunan berstatus cagar budaya di Kota Surabaya sangat terkait dengan sejarah kota tersebut. Sejarah Surabaya dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial Hindia Belanda, ketika kota ini diakui sebagai gemeente pada tahun 1906. Pengakuan ini tercatat dalam Staatsblad nomor 149 yang diterbitkan pada 1 April 1906. Perubahan status ini membawa dampak besar terhadap ekonomi dan infrastruktur kota, yang ditandai dengan pembangunan kantor dagang, instansi pemerintahan, dan berbagai fasilitas lainnya yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa. Selain itu, perubahan status Gemeente ini memberikan hak otonom kota Surabaya dalam pembangunan fisik kota seperti pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan jalan umum, pembangunan gedung pemerintahan hingga fasilitas umum lainnya. Pada awalnya kawasan Surabaya Utara merupakan pusat regional yang menjadi tonggak awal mula sejarah perkembangan Kota Surabaya dan kawasan ini disebut juga kota bawah (Benedenstad) (Handinoto, 1996). Namun pada awal tahun 1900-an hingga status Kota Surabaya berubah menjadi Gemeente, perkembangan kota mulai bergeser mengarah ke Selatan dan Timur. Hal ini membuat kawasan elit yang baru bermunculan seperti kawasan Tunjungan, Gubeng, Ketabang, Darmo, dan Tegalsari. Selain itu, 31 khususnya pada kawasan Tunjungan tumbuh menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan untuk kalangan elit Belanda seperti gedung Whiteaway Laidlaw & Co (sekarang menjadi Gedung Siola), Java Store, Toko Lalwani, Toko Gading Murni, Apotek Simpang dan lain sebagainya. Pada mulanya, arsitektur di Hindia Belanda, termasuk di Kota Surabaya, berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan dan gaya hidup Eropa yang diterapkan secara paksa di daerah tropis Hindia Belanda. Perbedaan iklim, cuaca, dan kondisi lingkungan setempat menyebabkan terciptanya lingkungan yang kurang sehat dan tidak nyaman akibat penerapan arsitektur Eropa. Situasi ini mendorong para arsitek di Hindia Belanda untuk mulai mempelajari dan mengadopsi tata ruang baru serta metode arsitektur vernakular, dengan memanfaatkan bahan bangunan lokal demi menciptakan kenyamanan dalam ruang dan lingkungan (J.M, 2007). Secara umum, bangunan- bangunan ini berfungsi sebagai kantor militer, instansi pemerintah, kantor pos dan telegraf, perusahaan dagang, serta berbagai fasilitas publik lainnya. Salah satu ciri khas arsitektur Eropa, terutama di Surabaya, adalah keterkaitannya yang kuat dengan proses penaklukan militer dan penguasaan ekonomi secara paksa, serta sentralisasi administrasi publik dan pembangunan infrastruktur pelayanan publik yang besar. Hal ini mengakibatkan perancangan gedung yang bervariasi dalam jenis konstruksi dan bentuk untuk keperluan pemerintah, swasta, dan masyarakat umum. Dalam proses desain ini, para arsitek Belanda banyak terpengaruh oleh arsitektur lokal, seperti arsitektur klasik Hindu-Buddha, yang kemudian berpadu dengan arsitektur Eropa dan melahirkan gaya arsitektur Tropisch Indisch atau juga dikenal sebagai arsitektur Indis. Kota Surabaya banyak ditemukan bangunan berarsitektur Eropa modern karya arsitek ternama seperti Charles Prosper Wolff Schoemaker, Cosman Citroen maupun Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels. Sehingga, antara tahun 1927 hingga 1935, Kota Surabaya banyak bermunculan gaya arsitektur Eropa modern seperti Art Deco (Santosa, 2020). Namun, pada masa kini bangunan-bangunan tersebut mengalami permasalahan dalam menjaga dan mempertahankan eksistensinya. Khususnya pada kawasan Tunjungan, pada 10 tahun terakhir semakin ditinggalkan dan aktivitas pertokoan yang dahulunya 32 ramai menjadi sepi. Selain itu, ada beberapa bangunan berstatus cagar budaya telah dihancurkan di area Tunjungan. IV.1.2 Pembagian Kawasan Cagar Budaya di Surabaya Kota Surabaya merupakan salah satu bekas kota kolonial modern yang masih menjaga kelestarian kawasan dan bangunan cagar budaya. Semua hal yang berkaitan dengan kawasan dan bangunan cagar budaya di Surabaya diatur dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian Bangunan Dan Atau Lingkungan Cagar Budaya. Berdasarkan Peraturan Daerah yang bersangkutan, kawasan cagar budaya didefinisikan sebagai area di sekitar bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk menjaga kelestarian bangunan tersebut. Kawasan ini mencakup lokasi-lokasi tertentu yang berusia minimal 50 tahun dan dianggap memiliki nilai signifikan dalam konteks sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian Bangunan Dan/Atau Lingkungan Cagar Budaya, 2005). Dengan dasar tersebut, RTRW Kota Surabaya tahun 2014-2034 menentukan pembagian Kawasan Cagar Budaya di Kota Surabaya sebagai berikut: 1. Kawasan Makam Sunan Ampel, terdiri dari kawasan Kecamatan Semampir. 2. Kawasan Kota Lama Surabaya , terdiri dari kawasan Kecamatan Krembangan, Kecamatan Pabean Cantian, Kecamatan Semampir dan Kecamatan Bubutan. 3. Kawasan Darmo dan Diponegoro. 4. Kawasan Komersial dan Kampung Lama Tunjungan, terdiri dari kawasan Kecamatan Tegalsari, Kecamatan Genteng, dan koridor Jalan Tunjungan. IV.1.3 Kawasan Komersial Tunjungan Kawasan Komersial Tunjungan merupakan salah satu kawasan berstatus cagar budaya yang dikenal oleh masyarakat Surabaya maupun luar Surabaya sebagai ikon sejarah Kota Surabaya. Kawasan ini meliputi kawasan Kecamatan Tegalsari dan koridor Jalan Tunjungan. 33 Secara umum, koridor jalan ini pada era kolonial Belanda (1870-1940) dirancang sebagai pusat perdagangan dan layanan untuk masyarakat Belanda serta kalangan elit baik dari kolonial maupun pribumi (Ririn Dina Mutfianti, 2013). Aspek non-fisik yang menonjol dari koridor ini mencakup: a. Simbolisme dan makna dari Jalan Tunjungan saat dibangun adalah sebagai kawasan elit yang menghubungkan Bovenstad (kawasan Surabaya Bagian Utara) dengan Benedenstad (kawasan Surabaya Bagian Selatan). b. Aktivitas kawasan sepanjangan koridor Jalan Tunjungan adalah jasa dan perdagangan yang diperuntukkan bagi kalangan elit Belanda. c. Pemanfaatan dan peran lingkungan sebagai etalase khususnya bagi orang Belanda dan Pribumi kelas atas di Kota Surabaya Selain itu, terdapat beberapa keunikan fisik di koridor Jalan Tunjungan, antara lain: 1. Gaya Arsitektur a. Bangunan di kawasan ini umumnya mengusung arsitektur bergaya empire style, indische, dan nieuw bouwen. b. Warna dominan pada bangunan adalah putih dan abu-abu. c. Bangunan-bangunan tersebut menghadap ke jalan tunggal yang terletak di antata dua barisan bangunan. d. Tinggi rata-rata bangunan tidak melebihi 3 lantai. e. Garis sempadan bangunan berada pada 0 meter. 2. Sirkulasi di Jalan Tunjungan bersifat 2 arah. 3. Pedestrian ways di Jalan Tunjungan memiliki karakteristik khusus yang dikenal sebagai disebut Arcade. Arcade merupakan trotoar yang dilindungi oleh bagian dari bangunan yang berfungsi sebagai lantai kedua dan seterusnya. IV.2 Landasan Hukum Kebijakan terkait pelestarian bangunan berstatus cagar budaya di Kota Surabaya telah diatur dalam Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan Dan Atau Lingkungan Cagar Budaya dan RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034 yang dijelaskan sebagai berikut. 34 IV.2.1 Perda Cagar Budaya Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan Dan Atau Lingkungan Cagar Budaya Mengatur mengenai tujuan, target, dan lingkup; tugas, tanggung jawab, serta kewenangan; hak dan kewajiban masyarakat; kriteria, standar, dan klasifikasi; inventarisasi dan penemuan; penetapan serta pemberian tanda pada bangunan dan/atau lingkungan berstatus cagar budaya; pendaftaran; penguasaan, kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan; perlindungan, perawatan, dan restorasi; hak serta kewajiban pemilik, penghuni, dan pengelola; pemulihan; penghargaan; pengawasan; sanksi administratif; ketentuan penyidikan; dan ketentuan pidana (Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian Bangunan Dan/Atau Lingkungan Cagar Budaya, 2005). Adapun pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang cagar budaya memiliki beberapa tujuan, antara lain: a. Menjaga keaslian bangunan dan area cagar budaya memiliki nilai sejarah, ilmiah, dan budaya; b. Melindungi serta merawat bangunan dan area cagar budaya dari kerusakan akibat aktivitas manusai maupun proses alam; c. Menggunakan bangunan dan area cagar budaya sebagai aset budaya yang dikelola secara optimal untuk mendukung pembangunan, citra kota, dan tujuan pariwisata. Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya juga mengatur penentuan area cagar budaya dengan menggunakan kriteria seperti keaslian, usia, nilai sejarah, kontribusi ilmiah, dan kelangkaan. Sementara itu, bangunan yang diakui sebagai cagar budaya dievaluasi berdasarkan kriteria seperti estetika, usia, keragaman, kelangkaan, nilai sejarah, penguatan kawasan, keunikan, keaslian, serta keberadaan sebagai tengeran atau landmark. Berdasarkan kriteria tersebut, bangunan cagar budaya dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori sebagai berikut: 1. Bangunan berstatus cagar budaya Golongan A merupakan struktur bangunan cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan melalui upaya preservasi. 35 2. Bangunan berstatus cagar budaya Golongan B merupakan struktur bangunan cagar budaya yang dapat diperbaiki melalui pemugaran dengan cara restorasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 3. Bangunan berstatus cagar budaya Golongan C merupakan struktur bangunan cagar budaya yang dapat diperbaharui dengan tindakan pemugaran melalui revitalisasi atau adaptasi. 4. Bangunan berstatus cagar budaya Golongan D merupakan struktur bangunan cagar budaya yang dianggap berpotensi membahayakan keselamatan penggunanya maupun lingkungan sekitar, sehingga dapat dibongkar dan dapat dibangun kembali sesuai dengan bentuk aslinya melalui proses demolisi. Saat ini, Perda Cagar Budaya Kota Surabaya sedang proses direvisi. Revisi perda ini nanti akan mengatur lebih jelas terkait hak dan kewajiban bagi pemilik bangunan berstatus cagar budaya. Pemilik bangunan akan mendapatkan penambahan insentif pemeliharaan bangunan berstatus cagar budaya. Selain itu, revisi perda ini juga menjelaskan tentang terbentuknya Badan Pengelolaan Cagar Budaya yang bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan cagar budaya. IV.2.2 RTRW Kota Surabaya Dalam RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, Pemerintah Kota Surabaya menetapkan kawasan pelestarian dan cagar budaya sebagai salah satu Rencana Kawasan Lindung di Kota Surabaya. Kawasan cagar budaya tersebut terbagi dalam beberapa kawasan yang telah ditetapkan pada RTRW tersebut yang terdiri atas: 1. Kawasan Makam Sunan Ampel; 2. Kawasan Kota Lama Surabaya; 3. Kawasan Darmo dan Diponegoro; 4. Kawasan Komersial dan Kampung Lama Tunjungan. Salah satu strategi yang dirumuskan dalam RTRW untuk mewujudkan keseimbangan proporsi kawasan lindung yaitu melakukan upaya mengelola, melindungi dan melestarikan kawasan serta bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan (Walikota 36 Surabaya, 2014). Upaya pengelolaan kawasan dan bangunan cagar budaya dilakukan dengan arahan sebagai berikut: a. Memelihara dan mengatur pembangunan di area yang memiliki lingkungan dan bangunan cagar budaya; b. Menata dan mendorong pengembangan kawasan kota tua Surabaya sesuai dengan karakteristik kawasan; c. Mengembangkan pemanfaatan kawasan untuk kegiatan pariwisata dan penelitian ilmiah. Dalam RTRW ini juga mengatur pembangunan dengan mewujudkan pola ruang kawasan lindung untuk mencapai Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% dari luas seluruh kota dan pelaksanaan upaya konservasi cagar budaya yang dilaksanakan melalui program sebagai berikut: a. Pembangunan hutan kota; b. Revitalisasi area kota lama Surabaya; c. Revitalisasi serta pemeliharaan area dan bangunan yang dilindungu sebagai cagar budaya; d. Perlindungan terhadap perubahan fungsi, terutama untuk ruang terbuka hijau; e. Pelestarian dan upaya pengendalian pembangunan di kawasan yang memiliki lingkungan dan bangunan berstatus cagar budaya; Selain itu, dalam RTRW ini juga diuraikan pengembangan fungsi kawasan cagar budaya yang dapat dilakukan dengan: a. Memelihara bangunan cagar budaya yang berperan sebagai destinasi wisata budaya, serta menyediakan area untuk kegiatan sektor usaha informal dan ruang terbuka hijau; b. Melestarikan, merapikan, dan mendorong pengembangan kawasan kota lama yang berfungsi sebagai objek pariwisata budaya; c.