9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Stakeholder Perlu diketahui bahwa Stakeholder merupakan sekelompok orang atau individu yang diidentifikasikan dapat mempengaruhi kegiatan perusahaan ataupun dapat dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan (Freeman et al., 2010). Teori stakeholder menjelaskan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (meliputi pemegang saham, kreditor, supplier, konsumen, pemerintah, masyarakat dan pihak lainnya). Adapun tujuan dari teori stakeholder adalah membantu manajemen korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan di lingkungan perusahaan mereka. Namun, tujuan yang lebih luas dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer korporasi dalam meningkatkan nilai dari dampak aktifitas mereka dan meniminalkan kerugian bagi stakeholder. Terkait dengan cagar budaya, stakeholder memiliki definisi yang esensial. Hal ini mempengaruhi 'siapa' dan 'apa' yang penting dalam rangka menciptakan dan mempertahankan pengelolaan cagar budaya yang efektif (Lou et al., 2021). Konflik yang terjadi dalam pengelolaan cagar budaya disebabkan karena beberapa hal, yaitu kekuasaan versus ketidakberdayaan , konservasi versus pembangunan atau eksploitasi, keuntungan ekonomi atau sosial, dan degradasi budaya atau lingkungan (Lou et al., 2021). Semua stakeholder harus dilibatkan dalam konservasi cagar budaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan mengurangi kemungkinan konflik, untuk memastikan bahwa strategi tetap utuh dari waktu ke waktu, untuk meningkatkan kepemilikan masyarakat atas cagar budaya melalui pendidikan, dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan cagar budaya. Selain itu, analisis peran stakeholder dimulai dengan menyusun stakeholder pada matriks dua kali dua menurut minat stakeholder terhadap suatu masalah dan kekuasaan stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut (Bryson, 2004). Matriks ini didalamnya terdapat 4 kategori yaitu context setter merupakan kelompok yang 10 memiliki power besar, namun memiliki interest yang rendah sehingga perlu dipantau karena dapat menjadi risiko; Players merupakan kelompok yang memiliki power besar dan interest yang besar terhadap suatu kegiatan atau program; Crowd merupakan kelompok yang memiliki power yang kecil dan interest yang rendah sehingga kepentingannya lemah dalam mendukung suatu program atau kegiatan. Akan tetapi, interest dan power akan berubah dari waktu ke waktu sehinga perlu dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam sebuah pengambilan keputusan; Subject merupakan kelompok yang memiliki interest yang besar, tetapi mempunyai power kecil. Maka dari itu tujuan penggunaan analisis stakeholder dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi sekelompok orang atau individu yang dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi dalam upaya konservasi bangunan berstatus cagar budaya khususnya di Kota Surabaya. II.1.1 Stakeholder Konservasi Cagar Budaya Bangunan cagar budaya mempunyai peran sangat penting dalam mempertahankan identitas sejarah dan budaya suatu masyarakat. Proses konservasi bangunan cagar budaya tidak hanya melibatkan ahli arsitektur dan sejarah, tetapi juga berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap warisan ini. Hal ini disebut sebagai stakeholder konservasi bangunan cagar budaya, dan kolaborasi mereka menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan dan keberhasilan upaya pelestarian. Penelitian terdahulu terkait stakeholder konservasi cagar budaya ini dilakukan oleh Putri Mardiawati di Bandung pada tahun 2019 dengan metode penelitian kualitatif dan pendekatan etnografi serta studi kasus. Selain itu juga menggunakan teori aktor untuk mengidentifikasi keterlibatan stakeholder dalam konservasi cagar budaya di kawasan Braga, Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep dan metode partisipasi komunitas dalam masyarakat terhadap upaya konservasi cagar budaya. Selain itu, untuk mengetahui peran dan relasi antar stakeholder pada upaya konservasi bangunan cagar budaya khususnya di kawasan Braga, Kota Bandung serta merekomendasikan skenario konservasi cagar budaya agar kedepannya dapat melibatkan banyak pihak (Mardiawati, 2019). 11 Perlu diketahui, Kota Bandung memiliki banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai arsitektur dan nilai historis yang berharga. Namun, kondisi bangunan tersebut pada masa kini tidak lagi semegah pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat. Adanya kegelisahan ini membuat sekelompok orang dengan berbagai kepentingan yang berbeda untuk berkumpul dan menyuarakan ide serta pendapat dalam menghadapi kondisi objektif bangunan tersebut. Kepentingan beberapa orang itu berkembang menjadi perhatian dari sekelompok orang yang nantinya membuat kesepakatan bersama untuk membentuk suatu komunitas dan mengeneralisasikan tujuan sehingga menghasilkan keuntungan bagi semua pihak didalamnya. Komunitas tersebut memiliki goals sama yaitu mempertahankan eksistensi bangunan bersejarah sebagai cagar budaya di kota Bandung. Komunitas ini merupakan wujud dari representasi masyarakat yang berfungsi sebagai wadah aspirasi dari anggota komunitas dan berbagai elemen masyarakat terkait upaya konservasi cagar budaya di Bandung. Adanya keterlibatan komunitas dan keterlibatan masyarakat yang lebih kompleks akan menjadi kekuatan bagi upaya konservasi bangunan berstatus cagar budaya di Kota Bandung. Konservasi merupakan salah satu bagian integral dari pengelolaan kawasan dan bangunan cagar budaya. Proses konservasi di Bandung, khususnya di kawasan Braga mengalami konflik kepentingan antara bangunan cagar budaya sebagai aset dan sebagai heritage. Adapun jaringan aktor yang berperan didalamnya yaitu pihak pemerintah dan masyarakat. Pemerintah merupakan stakeholder yang memiliki kontrol dan kekuasaan dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya. Namun, pemerintah lebih mengatur dan mengendalikan bangunan cagar budaya sebagai aset ekonomi daripada mengembangkan sebagai warisan budaya. Dalam sisi masyarakat, adanya komunitas Bandung Heritage memiliki peran penting dalam membentuk suatu kebijakan, mengarahkan pengelolaan yang baik dan meningkatkan kesadaran akan menjaga kelestarian heritage. Selanjutnya, penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan adalah artikel ditulis pada tahun 2020 oleh Putu Ayu Vindytha Amanda Putri dan Eko Budi Santoso yang berjudul Analisis Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan Kawasan Cagar Budaya 12 sebagai Destinasi Wisata Kota Pontianak. Metode digunakan dalam penelitian tersebut yaitu metode penelitian kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif kualitatif serta analisis pemangku kepentingan. Analisis ini digunakan untuk memetakan relasi antara stakeholder, memetakan koalisi, mengidentifikasi power dan interest setiap stakeholder. Bangunan cagar budaya` yang dijadikan studi kasus adalah bangunan yang berada di kawasan Kampung Dalam, Tanjung Hilir, PontianakTimur, yaitu Masjid Jami dan Istana Kadariah. Setiap stakeholder mempunyai pengaruh dan eksistensinya sendiri. Kelompok kategori stakeholder berfungsi sebagai pengontrol dan regulator sehingga bisa berfungsi juga sebagai pemimpin pelaksanaan, perencanaan, dan monitoring kegiatan (Putri & Santoso, 2020). Adapun aktor atau pemangku kepentingan yang ada pada penelitian ini adalah anggota keluarga Kesultanan Kadariah atau pengelola serta sejarawab atau tokoh masyarakat berperan sebagai akselerator, akademisi memiliki peran sebagai konseptor dengan memberikan konsep dan ide pengembangan melalui penelitian. Selain itu, pelaku usaha dan agen perjalanan wisata berfungsi sebagai enabler untuk mempromosikan kawasan serta media memiliki peran sebagai expander melalui promosi dan publikasi pada masyarakat luas. Peran-peran tidak hanya teridentifikasikan, namun juga membentuk suatu hubungan kerja sama dalam bentuk pentahelix antar stakeholder di kawasan cagar budaya Kota Pontianak. Dengan adanya relasi kerjasama berupa networking, coordinating, dan collaboration yang baik di antara stakeholder dapat menghindari adanya konflik kepentingan dan lebih mudah menentukan siapa aktor yang harus terlibat dalam pengembangan kawasan cagar budaya di Kota Pontianak. Selain itu, terdapat penelitian terdahulu terkait peran masyarakat terkait upaya konservasi bangunan berstatus cagar budaya khususnya di Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan oleh Dimas Okky Fareza dan Agus Subianto dengan judul Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Cagar Budaya di Kawasan Ampel Surabaya. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu penelitian kualitatif serta menggunakan pendekatan case study. Lokasi penelitian tersebut dilakukan di area Wisata Religi Ampel, Kota Surabaya. 13 Partisipasi masyarakat dalam konservasi bangunan berstatus cagar budaya di kawasan tersebut dapat dideskripsikan menjadi empat tahapan yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan (participation in decision making), partisipasi dalam pelaksanaan (participation in implementation), partisipasi dalam pengambilan manfaat (participation in benefits), dan partisipasi dalam evaluasi (participation in evaluation) (Fareza & Subianto, 2022). Terdapat 2 tahapan partisipasi masyarakat yang telah berjalan yaitu partisipasi dalam pelaksanaan (participation in implementation) dan partisipasi dalam pengambilan manfaat (participation in benefits). Hal ini didukung adanya peran aktif masyarakat lokal yang membantu dalam perawatan dan kebersihan masjid dan makam di Kawasan Wisata Religi Ampel serta menggunakan bangunan fisik masjid dan makam sebagai aktifitas keagamaan (ziarah). Sedangkan, terdapat 2 tahapan partisipasi masyarakat yang belum berjalan adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan (participation in decision making) dan partisipasi dalam evaluasi (participation in evaluation). Adapun faktor penghambat dari belum berjalannya partisipasi tersebut yaitu terkait pengambilan keputusan dan proses evaluasi pada pelestarian cagar budaya di Kawasan Ampel Surabaya hanya dilakukan secara individual oleh pihak Yayasan Takmir Masjid Agung Sunan Ampel tanpa adanya keterlibatan dari partisipasi warga sekitar, pemerintah maupun stakeholder yang lain. Dengan adanya partisipasi masyarakat dan partisipasi pemerintah akan mewujudkan terjaganya eksistensi cagar budaya dan meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal. Dalam konservasi bangunan cagar budaya, diperlukan adanya kolaborasi efektif antar stakeholder untuk menghindari konflik kepentingan yang berbeda-beda dari kelompok yang terlibat dalam konservasi. Kolaborasi tersebut didefinisikan sebagai sebuah proses yang menyatukan kelompok-kelompok orang yang melihat aspek-aspek berbeda dari sebuah masalah dapat secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan- perbedaan mereka dan mencari solusi yang melampaui visi mereka yang terbatas mengenai apa yang mungkin dilakukan (Gray, 1989). Selain itu, kolaborasi perlu melibatkan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk mencapai pemahaman bersama, sementara pada saat yang sama setiap stakeholder tetap mempertahankan 14 identitasnya masing-masing di dalam organisasi. Selain itu, keterkaitan yang luas antara para stakeholder mendorong aliran informasi yang dapat menghasilkan keputusan jangka panjang yang positif mengenai kinerja dan pengembangan konservasi cagar budaya (Amar, 2017). Dalam hal ini, tahap pertama dalam mengidentifikasi stakeholder adalah mengidentifikasi adanya stakeholder yang terlibat upaya konservasi bangunan cagar budaya, karena mereka memiliki berbagai kepentingan dan tujuan yang terkadang saling bertentangan. Selain itu, dalam menggunakan teori stakeholder, teori ini dapat dilihat berdasarkan posisi kekuasaan, legitimasi, dan urgensi mereka (Jamal & Stronza, 2009). Hal ini disebabkan karena terdapat banyak stakeholder yang berpartisipasi pada upaya konservasi bangunan cagar budaya, maka menggunakan analisis holistik untuk mengidentifikasi posisi masing- masing pemangku kepentingan dalam jaringan stakeholder lainnya menjadi penting untuk menciptakan pengambilan keputusan yang efektif. Menurut Putri Mardiawati, stakeholder dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya yaitu sebagai: 1. Pemerintah dan Lembaga Non Pemerintah Sebagai regulator utama, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi dan melestarikan bangunan cagar budaya. Keterlibatan pemerintah melibatkan penyusunan kebijakan, peraturan, dan pengawasan terhadap proses konservasi. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif atau bantuan finansial untuk mendukung proyek-proyek konservasi. Serta, lembaga non pemetintah dapat memberikan berbagai pertimbangan, saran dan gagasan kepada pemerintah terkait upaya konservasi bangunan cagar budaya. 2. Pemilik Properti Pemilik properti tempat bangunan cagar budaya berdiri memiliki kepentingan finansial dan fungsional. Melibatkan pemilik properti dalam proses konservasi dapat menciptakan keseimbangan antara pelestarian nilai historis dan keberlanjutan ekonomi. Insentif pajak atau pembiayaan khusus dapat menjadi faktor penting dalam mendorong partisipasi mereka. 15 3. Komunitas Komunitas menjadi bagian integral dari upaya konservasi. Mereka tidak hanya memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sejarah dan nilai-nilai kebudayaan, tetapi juga memiliki keterlibatan emosiomal yang kuat terhadap bangunan cagar budaya. Mereka juga dapat memberikan sumber daya, dukungan finansial, dan keterampilan khusus untuk memperkuat upaya pelestarian. Selain itu, melibatkan komunitas dalam proses pengambilan keputusan dapat meningkatkan dukungan dan pemahaman terkait pentingnya konservasi bangunan cagar budaya. 4. Perguruan Tinggi dan Akademisi Institusi pendidikan dan akademisi memiliki peran dalam menghasilkan pengetahuan baru, teknologi, dan metode terbaik dalam bidang konservasi bangunan cagar budaya. Kolaborasi antara perguruan tinggi dan pihak terkait dapat memperkaya wawasan dan meningkatkan efektivitas upaya pelestarian. 5. Media Media memiliki peran penting dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya. Media dapat berperan sebagai penyebar informasi: media dapat menyebarkan informasi tentang pentingnya konservasi bangunan cagar budaya, sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk melestarikannya. Hal ini penting untuk memotivasi kesadaran masyarakat terkait utamanya pelestarian cagar budaya; Mediator: media dapat menjadi mediator antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya. Media dapat berperan untuk menjembatani perbedaan kepentingan dan pandangan, serta mendorong terciptanya kesepakatan bersama dalam upaya pelestarian; Penggerak aksi: media dapat menggerakkan aksi masyarakat untuk mendukung upaya konservasi bangunan cagar budaya. Media dapat melakukan kampanye publik, mengorganisir kegiatan-kegiatan, dan mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi bangunan berstatus cagar budaya. 16 II.2 Konservasi Cagar Budaya Menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, definisi cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa situs cagar budaya, benda cagar budaya, struktur cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi pendidikan, sejarah, agama, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan melalui proses penetapan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, 2010). Selain itu, pelestarian atau konservasi merupakan upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Konservasi dapat didefinisikan juga sebagai upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003). Konservasi juga memiliki makna yang berarti semua proses untuk menjaga sebuah tempat agar tetap memiliki nilai budaya (Charter, 2000). Selain itu, konservasi mencakup kegiatan yang ditujukan untuk melindungi sumber daya budaya agar dapat memperpanjang usia fisiknya dan mempertahankan nilai historisnya. Ada beberapa disiplin ilmu konservasi yang menangani berbagai jenis sumber daya budaya. Semuanya memiliki masing-masing konsep konservasi yang luas dan mencakup satu atau lebih strategi yang dapat ditempatkan pada sebuah rangkaian berjalan dari intervensi yang paling kecil hingga yang paling besar, yaitu dari maintenance hingga modifikasi sumber daya budaya. Semua operasi dirancang untuk memahami properti, mengetahui sejarah dan maknanya, memastikan perlindungan materialnya, dan jika diperlukan perlu adanya restorasi dan penyempurnaan (Shinbira, 2012). Selain itu, istilah cagar budaya digunakan secara luas dalam berbagai konteks. Secara tradisional, kata cagar budaya umumnya berhubungan dengan bangunan, monumen, lingkungan alam, adat istiadat, seni, dan tradisi sosial. Kontribusi manusia terhadap lingkungan alam juga telah menghasilkan bangunan dan monumen yang memiliki nilai 17 sejarah yang signifikan dan nantinya dapat secara luas disebut dengan cagar budaya. Menurut UNESCO pada konferensi tahun 1972, cagar budaya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu kategori pertama yaitu cagar budaya yang melibatkan monumen, kategori kedua yaitu kelompok bangunan, dan kategori ketiga yaitu situs yang memiliki nilai historis, estetika, arkeologi, ilmiah, etnologi, atau antropologi (UNSECO, 1972). Konservasi bangunan cagar budaya umumnya ditujukan untuk renovasi bangunan tua yang nantinya dapat mengembalikan ke fungsi aslinya sesuai standar kontemporer atau mengadaptasinya untuk penggunaan baru. Terkadang sebuah bangunan cagar budaya dapat dirombak hingga ke fasad yang bersejarahnya untuk bertindak sebagai bagian depan dari sebuah ruang dengan fungsi baru. Adanya budaya urban ini menunjukkan adanya warisan manusia. Hal ini memberikan alasan di seluruh dunia untuk bermukim di kota yang cenderung padat. Estetika pada dasarnya adalah untuk kesenangan manusia, sementara kualitas historis perlu ditentukan melalui analisis yang cermat.