Hasil Ringkasan
Bab I Pendahuluan Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian, serta manfaat penelitian. I.1Latar Belakang Bencana adalah konstruksi sosial, sebagaimana disebut Menezes (2018). Hal ini selaras dengan Smith (2006), bahwa seluruh fase bencana, juga perbedaan antara siapa yang hidup dan siapa yang mati, kurang lebih adalah kalkulus sosial. Juran dan Trivedi (2015) juga menyatakan, justru variabel yang dibangun secara sosial (gender) adalah penyebab kesenjangan dalam kondisi bencana, bukan variabel biologis seperti jenis kelamin. Hingga saat ini, belum ada negara yang berhasil mewujudkan kesetaraan gender penuh (World Economic Forum, 2024). Di Indonesia, ketidaksetaraan gender tidak lepas dari konsep patriarki yang telah mengakar (Subono, 2003). Dalam budaya patriarki, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dijelaskan oleh Waris (2024), perempuan ditempatkan seolah-olah sebagai “makhluk” kelas dua yang bertempat di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus keluarga. Akibatnya, perempuan lebih banyak melakukan “pekerjaan yang membuat khawatir” (worry work), sebagaimana diungkap Patterson (2022) karena perempuan terbiasa melakukan pekerjaan domestik yang mencakup sangat banyak tugas, melibatkan bahkan menguras emosi, serta sering kali tidak diakui. Begitu pula dengan pengambilan keputusan, baik di rumah maupun di luar rumah, didominasi oleh laki-laki. Bahkan, banyak laki-laki menjadi “raja kecil” yang berkuasa dalam keluarga, termasuk istri, dan menciptakan rumah tangga yang tidak adil (Hamim, 2015). Kabir dkk. (2019) menjelaskan bahwa relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat menjadi faktor yang memungkinkan laki-laki mendominasi perempuan. Akibatnya, hingga pada skala yang lebih besar, perempuan masih kurang terwakili dalam posisi pengambilan keputusan di seluruh dunia (Profeta, 2017). 1 Sayangnya, marginalisasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tidak mudah diubah karena menyangkut perubahan paradigma yang selama ini diyakini kebenarannya oleh masyarakat, termasuk perempuan (Wibowo, 2011). Perempuan juga mungkin “menikmati” saja ketidaksetaraan yang terjadi, terbiasa dengan budaya patriarki yang sudah berlangsung turun-temurun (Pranowo, 2013). Stratifikasi gender yang telah ada ini kemudian diperkuat selama bencana, sebagaimana temuan Acar dan Ege (2001). Akibatnya, perempuan terkena dampak yang tidak proporsional. Banyak kejadian bencana cenderung membunuh atau mencederai perempuan dalam jumlah yang tidak proporsional dibandingkan dengan laki-laki (Masselot, 2022). Dengan kata lain, ketidaksetaraan gender eksisting meningkatkan paparan perempuan terhadap risiko bencana (United Nations Sustainable Development Group, 2022).