10 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang terdiri dari tinjauan Stunting, migrasi orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting dan studi terdahulu terkait stunting. II. 1 Stunting Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang yang ditentukan oleh asupan makanan dan penggunaan zat gizi dalam tubuh (Almatsier, 2005). Status gizi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori utama, yaitu status gizi normal, gizi kurang (undernutrition), dan gizi lebih (overnutrition). Menurut WHO (2010), stunting merupakan gambaran status gizi kurang yang bersifat kronis pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak di awal kehidupan. Stunting merupakan akumulasi dari faktor-faktor seperti asupan gizi yang buruk dan kondisi kesehatan kronis yang dinilai berdasarkan tinggi atau panjang badan anak di bawah standar yang seharusnya sesuai umur (WHO, 2010). Dalam mengidentifikasi stunting dilakukan dengan mengukur panjang badan bagi anak dibawah dua tahun, ataupun tinggi badan bagi anak lebih dari dua tahun. Kemudian hasil di interpretasikan dengan cara membandingkan dengan nilai standar populasi (de Onis & Branca, 2016). Pengukuran yang dilakukan mengacu pada WHO Growth Chart Standard yang merupakan kurva pertumbuhan yang digunakan dalam menggambarkan status gizi seorang anak. Pengukuran ini menggunakan indeks antropometri yang dilakukan saat anak usia 0 – 59 bulan (balita) berdasarkan standar pertumbuhan dan dikategorikan stunting jika hasil nilai z-score tinggi badan dengan didasarkan umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) (WHO, 2010). 11 Tabel II. 1 Kategori Status Gizi Anak Umur 0-59 Bulan Berdasarkan Indeks Antropometri TB/U Kategori Status Gizi Ambang Batas Sangat Pendek (severely stunting) < -3 SD Pendek (stunted) -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD Tinggi > 2 SD Sumber: Kemenkes RI, 2011 (telah diolah kembali) WHO Growth Chart Standard merupakan kurva pertumbuhan yang digunakan dalam menggambarkan status gizi seorang anak. Alasan WHO Growth Chart Standard sebagai acuan kondisi anak karena kurva pertumbuhan merupakan komponen penting sebagai alat bantu dalam mengetahui kondisi anak. Nilainya dapat membantu menentukan apakah kebutuhan fisiologis anak sudah mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal atau tidak. Growth chart WHO ini dibuat selama tahun 1997-2003 di 6 negara (India, USA, Oman, Norwegia, Brazil, Ghana) yang diikuti sejak lahir dan dilakukan home visit sebanyak 21 kali. Sampel telah diseleksi ketat dengan ketentuan ibu sehat, tidak bermasalah selama hamil dan tidak merokok serta bayi cukup bulan, ASI, MPASI sesuai rekomendasi WHO, serta lingkungan yang bersih. Hasilnya bayi yang dibesarkan di lingkungan optimal grafik pertumbuhannya serupa dan hampir identik tidak tergantung etnis, sosial ekonomi, dan jenis makanan. Hal ini menunjukkan bahwa 2 tahun pertama peran genetik tidak banyak berasosiasi terhadap pertumbuhan (World Health Organization, 2006). Konsensus internasional yang berlaku menyebutkan bahwa rata-rata anak-anak dari berbagai latar belakang etnis memiliki potensi pertumbuhan yang sama sehingga berbeda dengan Growth reference yang merupakan gambaran pertumbuhan anak di suatu negara, penggunaan growth standard sebagai target pertumbuhan anak yang seharusnya terpenuhi lebih tepat (Cole, 2012; De Onis & Branca, 2016). 12 Kerangka konseptual UNICEF tentang malnutrisi menunjukkan bahwa stunting dapat terjadi karena dua faktor utama yang berpengaruh secara langsung, yaitu asupan makanan bergizi dan penyakit/infeksi. Selain itu, faktor tidak langsung yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi antara lain ketahanan pangan, pola asuh dan praktik pemberian makan pada anak, tingkat sanitasi yang buruk dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Namun akar masalah yang membawa pemicu dari faktor-faktor tersbut diantaranya kondisi sosial ekonomi seperti kemiskinan, pendidikan sebagai implikasi dari krisis ekonomi, sosial dan politk. Gambar II. 1 Kerangka Konseptual tentang Malnutrisi Sumber: UNICEF, 2013 Malnutrisi pada anak tidak hanya terjadi akibat kekurangan asupan makanan bergizi, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi penyakit yang dialami, praktik pengasuhan dan perawatan yang kurang memadai, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan sosial (UNICEF, 2013). Stunting pada anak mencerminkan akumulasi kekurangan 13 gizi dalam jangka panjang yang dapat memberikan efek buruk di masa depan. Dampaknya dimulai sejak 1000 hari pertama kehidupan sehingga menghasilkan gagal tumbuh pada anak. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak biasanya ditentukan oleh ukuran fisik. Pertumbuhan tinggi badan yang tidak optimal sejak lahir hingga usia lima tahun akibat kekurangan gizi pada masa anak-anak dapat meningkatkan risiko anak mengalami morbiditas dan mortalitas akibat penyakit menular, gangguan perkembangan mental, kemampuan belajar yang menurun saat di sekolah, serta potensi penghasilan yang lebih rendah di masa dewasa (WHO, 2010; Wild, dkk., 2015). Stunting pada anak merupakan masalah gizi kronis yang berkelanjutan. Selain dampak langsung pada anak, stunting dapat berasosiasi dengan kondisi kesehatan, sosial, dan ekonomi generasi berikutnya (De Onis & Branca, 2016). Siklus masalah gizi antar generasi menggambarkan bagaimana kekurangan gizi pada satu fase kehidupan berdampak pada fase berikutnya, menciptakan lingkaran yang sulit diputus. Wanita usia subur (WUS) dengan kekurangan energi kronis (KEK) cenderung melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang berisiko mengalami pertumbuhan lambat, gangguan perkembangan, dan penyakit kronis. Bayi BBLR sering tumbuh menjadi balita dengan kekurangan energi protein (KEP), yang jika tidak ditangani, akan menjadi remaja dan dewasa dengan produktivitas rendah dan risiko gangguan kesehatan jangka panjang. Kondisi ini juga memengaruhi kemampuan generasi berikutnya untuk merawat anak secara optimal, memperkuat siklus tersebut. Faktor utama seperti konsumsi gizi yang tidak memadai, pola asuh yang buruk, dan akses layanan kesehatan yang terbatas menjadi pemicu utama siklus ini, sehingga diperlukan intervensi menyeluruh untuk memutus rantai gizi buruk antar generasi. 14 Gambar II. 2 Siklus Masalah Gizi Antargenerasi Sumber: ACC/SCN, Fourth Report on the World Nutrition Situation,Geneva,2000 II. 2 Teori Modal Manusia Dalam konsep human capital atau modal manusia, manusia dinilai berdasarkan pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan atribut lainnya yang melekat pada diri mereka yang mempengaruhi produktivitas. Modal manusia dilihat sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang terus berubah agar tetap bertahan di lingkungan yang dinamis (Shultz,1961). Todaro (2011) menyatakan bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan dua faktor vital dalam human capital. Pendidikan berperan penting bagi negara dalam mengembangkan kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Sementara itu, kesehatan memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas individu maupun negara. Selain menjadi faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, keduanya juga saling terkait. Pendidikan yang baik dipengaruhi oleh kondisi kesehatan yang baik, begitu pula sebaliknya. 15 Individu dengan kondisi kesehatan yang baik diharapkan memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi, sehingga dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan dibandingkan dengan individu yang kesehatannya kurang optimal. Kesehatan individu menjadi elemen utama dalam modal manusia. Individu yang sehat memiliki energi dan daya tahan lebih baik untuk bekerja maupun belajar, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas. Kesehatan yang optimal juga berkorelasi dengan rendahnya tingkat absensi serta berkurangnya biaya perawatan kesehatan. Oleh karena itu, investasi dalam kesehatan tidak hanya memberikan manfaat bagi individu, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (Raghupati & Wullianallur, 2020; Bloom DE dkk, 2019). Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah dan sektor swasta dapat berkolaborasi dalam memperluas akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, mendorong penerapan gaya hidup sehat, serta mencegah penyakit kronis. Kesehatan dalam konteks human capital dapat diukur dengan beberapa indikator. Dalam pengukuran indeks human capital oleh Bank Dunia (2018), umumnya berfokus pada anak-anak dan dewasa. Pada anak-anak, indikator yang umum digunakan adalah asupan nutrisi karena berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik dan kognitif di masa depan, seperti stunting dan wasting saat usia balita. Pada kelompok dewasa, indikator yang digunakan adalah selisih angka harapan hidup dengan harapan umur yang dihabiskan dengan kondisi kesehatan optimal, tanpa penyakit, obesitas, serta penyakit menular dan tidak menular. Investasi dalam gizi ibu dan anak akan memberikan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan terhadap sosial dan ekonomi termasuk mengurangi biaya perawatan kesehatan, peningkatan pendidikan dan kapasitas intelektual dan meningkatkan produktivitas orang dewasa (ACC/SCN and IFPRI, 2000). Peningkatan gizi anak merupakan prioritas nasional dan strategi penting untuk pembangunan ekonomi jangka panjang. Ketika negara menghadapi pilihan sulit pada masa-masa sulit 16 krisis ekonomi, menjadi penting untuk melakukan advokasi sangat kuat untuk investasi sektor sosial, termasuk program nutrisi untuk ibu dan anak kecil (Martorell, 1999). Gambar II. 3 Human Capital Diagram Sumber: Martorell, 1999 Human capital memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka panjang. Investasi pada human capital, seperti kesehatan dan pendidikan, akan mendorong terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. SDM tersebut kemudian melahirkan ide-ide baru yang berkelanjutan yang kemudian membentuk inovasi dan mendorong produktivitas (Hanushek dan Woessman, 2015). Hal ini memungkinkan kontribusi human capital dalam pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu yang lama. Inovasi yang ditemukan individu berdampak terhadap pendapatan dan produktivitas yang dihasilkan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kondisi ini kemudian berdampak terhadap PDB per kapita yang meningkat. Oleh karena itu, peran human capital dalam pertumbuhan ekonomi salah satunya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 17 II. 3 Hubungan Migrasi Orang tua dan Stunting Sjaastad (1962) menganggap migran sebagai agen rasional yang berusaha memaksimalkan kepuasan hidup mereka di pasar yang sempurna. Terkait migrasi, diasumsikan jika upah orang tua tinggi, maka waktu yang diinvestasikan untuk anak akan rendah. Salah satu orang tua akan melakukan migrasi jika mendapatkan upah yang lebih tinggi atau jika investasi waktu dari orang tua lain dalam rumah tangga dapat menggantikan investasi waktunya sendiri untuk anak. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik anak dan orang tua menentukan siapa yang akan bermigrasi dalam rumah tangga itu agar menghasilkan keuntungan optimal bagi rumah tangga tersebut (migrasi ekonomi). Dalam hal ini, ibu dapat melakukan migrasi jika upah yang diharapkan cukup tinggi dan investasi waktunya untuk anak dapat digantikan oleh orang dewasa lain di rumah tangga yang sama. Gambar II. 4 Kerangka Konseptual Pengaruh Migrasi Orang Tua terhadap Anak (Unicef, 2011) 18 UNICEF (2011) juga telah mengembangkan kerangka konseptual yang menjelaskan pengaruh migrasi orang tua terhadap keluaran (outcomes) anak yang ditinggalkan. Migrasi memengaruhi keluaran anak, yaitu kesehatan, pendidikan, aktivitas ekonomi, dan efek psiko-sosial. Namun pengaruh migrasi ini bersifat tidak langsung karena terdapat faktor mediasi, yaitu anak tersebut, rumah tangga, dan sosial. II. 4 Penelitian terdahulu Gagal tumbuh seringkali dimulai sejak janin dan berlanjut hingga anak berusia 2 tahun yang kemudian berdampak pada morbiditas dan mortalitas serta menurunkan potensi pertumbuhan, gangguan perkembangan syaraf, gangguan kognitif serta meningkatkan resiko penyakit kronis ketika dewasa. Stunting meningkatkan resiko infeksi yang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak (De Onis & Branca, 2016). Stunting memiliki dampak yang besar bagi masa depan anak jika tidak dicegah sejak akarnya. Anak yang memiliki riwayat stunting dan setelah dilakukan koreksi dengan mengejar gizinya menunjukkan perbaikan di usia 5 tahun, dengan kemampuan kognitif yang dimiliki tetap seperti anak yang stunting. Sedangkan jika dapat dikejar sebelum usia 2 tahun memiliki dua kemungkinan yaitu pertama kemampuan kognitif menjadi normal sesuai usianya dan kemungkinan kedua hanya di bawah normal (Alder et al., 2010; Casale & Desmond, 2015). Berdasarkan data WHO dan World Bank tahun 2006 menemukan bahwa anak yang stunting ketika dewasa memiliki penghasilan 20 persen lebih kecil dan produktivitas lebih rendah jika dibandingkan anak yang tidak stunting. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan produktivitas ekonomi. Penelitian Guo dan Wu (2020) menganalisis status nutrisi anak-anak yang ditinggalkan di pedesaan Cina dan mekanisme dampak kekurangan gizi anak dengan menggunakan data dari China Health and Nutrition Survey (CHNS) sebuah survei panel yang dilakukan di 12 provinsi Cina dari 2004, 2006, 2009, 2011, dan 2015 dengan total sampel 7.459 anak-anak usia 0-15 tahun di wilayah pedesaan. Beberapa temuan utama 19 adalah tingkat stunting dan berat badan kurang pada anak-anak menurun dari tahun ke tahun, menunjukkan perbaikan nutrisi anak secara keseluruhan. Namun, anak-anak yang ditinggalkan, terutama yang ibunya bekerja di luar daerah, memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting dan berat badan kurang dibandingkan anak-anak yang tidak ditinggalkan karena tidak mendapatkan perawatan dan perlindungan yang layak dari orang tua. Ini menunjukkan sisi negatifnya pengaruh migrasi orang tua dan kurangnya pengasuhan yang layak terhadap anak-anak kelangsungan hidup dan perkembangan. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor individu anak (usia, jenis kelamin), faktor genetik orang tua (tinggi, berat badan), dan karakteristik keluarga (pendapatan, fasilitas rumah tangga) mempengaruhi status gizi anak secara langsung dan tidak langsung melalui mediator seperti pendapatan keluarga. Model persamaan struktural lebih lanjut mengungkapkan bahwa pendidikan orang tua mempengaruhi gizi anak secara tidak langsung melalui pendapatan keluarga dan fasilitas rumah tangga. Penelitian ini menyoroti pentingnya peran ibu dalam pengasuhan dan dampak negative migrasi tenaga kerja terhadap gizi anak-anak yang ditinggalkan, serta mekanisme multilevel yang menghubungkan berbagai faktor risiko dengan status gizi anak. rang tua yang berpendidikan lebih tinggi cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih banyak gaya hidup sehat, memiliki akses terhadap informasi yang relevan dan tahu cara mengasuh anak dengan lebih baik. Pendapatan keluarga dan rumah tangga Fasilitas tempat tinggal juga berpengaruh signifikan terhadap gizi anak (Bredenkamp, 2009, Baeten, dkk., 2013; Goode, dkk., 2014). Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Nguyen pada tahun 2016 di empat negara, yaitu Ethiopia, India, Peru, dan Vietnam. Studi ini menggunakan data Young Lives Surveys tahun 2007 dan 2009 dengan unit analisis sebanyak 7.725 anak dari keempat negara tersebut yang berusia 5-8 tahun. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa meskipun migrasi orang tua dapat meningkatkan konsumsi perkapita, tetapi hal itu tidak meningkatkan kemampuan kognitif dan kesehatan anak. Hal ini mengandung arti bahwa pengaruh positif dari orang tua migrasi pada anak-anak melalui jalur pengeluaran mungkin tidak dapat diimbangi dampak negatif yang diakibatkan oleh 20 kurangnya kontak dan kepedulian terhadap anak dari orang tua. Di India dan Vietnam, migrasi orang tua mengurangi kemampuan kognitif anak. Migrasi jangka panjang berpengaruh lebih buruk dibanding migrasi jangka pendek. Tidak ditemukan dampak signifikan migrasi orang tua terhadap anak-anak di Ethiopia,namun di India, Peru dan Vietnam ditemukan dampak negatif migrasi orang tua terhadap kesehatan anak-anak . Dalam penelitian ini migrasi orantua didefinisikan menjadi migrasi jangka pendek dan jangka panjang.