1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar belakang Kesehatan merupakan salah satu dimensi dasar pembangunan manusia. Pembangunan sumber daya manusia hingga saat ini masih menjadi tantangan bagi negara berkembang. Salah satu isu penting mengenai pembangunan sumber daya manusia yang sehat adalah pembangunan kesehatan anak. Status Kesehatan pada anak berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu masalah kesehatan anak yang umum terjadi adalah malnutrisi. Hingga saat ini malnutrisi masih menjadi salah satu tantangan kesehatan global terbesar yang harus diselesaikan. Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menjadikan peningkatan nutrisi sebagai salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Hal ini tercermin dalam rencana aksi globalnya, yaitu “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan kualitas nutrisi, dan mendukung pertanian berkelanjutan.” Menurut WHO (1995) malnutrisi mengacu pada kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan asupan energi dan/atau nutrisi seseorang. Malnutrisi dikelompokkan ke dalam tiga kondisi, yaitu kondisi undernutrition atau kurang gizi (stunting/kerdil, wasting/kurus, dan underweight/berat badan rendah), kondisi kurang vitamin atau mineral, dan kondisi overweight atau berat badan berlebih, obesitas, dan penyakit tidak menular yang diakibatkan oleh makanan. Di negara dengan pendapatan rendah dan menengah kasus kurang gizi masih menjadi isu penting terutama bagi anak- anak di bawah umur lima tahun. Hampir setengah dari kasus kematian anak di bawah lima tahun di dunia disebabkan oleh kurang gizi. Di antara tiga kasus yang diakibatkan oleh kurang gizi tersebut, stunting menjadi masalah kesehatan yang dialami anak-anak seluruh dunia dengan prevalensi terbesar. Stunting merupakan masalah kesehatan yang serius pada tumbuh kembang anak yang ditandai oleh tinggi badan terhadap usia atau low height-for-age dibawah -2 standar 2 deviasi. Hal ini disebabkan oleh kurang atau buruknya nutrisi yang diperoleh, dalam tahap yang lebih parah terjadi dalam waktu yang lama dan kronis. Selama 2 tahun pertama kehidupannya, anak-anak lebih mungkin mengalami stunting. Pada anak usia dini, stunting kemungkinan besar akan mempengaruhi perkembangan anak seperti kognitif, sensorik motorik, dan perkembangan sosial emosional. Pada usia lanjut, tingkat kognisi dan pendidikan anak stunting akan relatif lebih rendah dibandingkan anak tidak stunting (Horton, 2008). Tingkat kognisi dan pendidikan yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat sumber daya manusia yang lebih rendah. Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki kualitas kesehatan dan kemampuan kognitif yang buruk sehingga berdampak pada rendahnya produktifitas dan upah yang akan diterima ketika dewasa (De Onis & Branca, 2016; Rizkiani, 2018). Sehingga, stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesenjangan dan kemiskinan di suatu wilayah (TNP2K, 2017). Lebih lanjut terjadinya stunting juga dapat menyebabkan kerugian psikososial dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak. Selain itu, kondisi ini diperkirakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2%- 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya. Dengan PDB Indonesia tahun 2017 mencapai Rp 13.000 triliun, potensi kerugian ekonomi akibat stunting bisa mencapai sekitar Rp 300 triliun per tahun. (Bappenas, 2018). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 6,4% dalam kurun waktu lima tahun, yaitu dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Merujuk pada hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting pada balita tahun 2019 (27,7%), tahun 2021 (24,4) dan tahun 2022 turun menjadi 21,6%. Meskipun prevalensi stunting sudah mengalami penurunan dari tahun 2013, tetapi prevalensinya masih jauh dari target program percepatan penurunan stunting yakni 14% pada tahun 2024. Dalam mengukur kejadian stunting pada suatu wilayah atau negara ditentukan menurut ambang batas prevalensi yang ditetapkan WHO (1995) yang dikategorikan menjadi 4 3 kategori meliputi prevalensi rendah (< 20 persen), prevalensi sedang (20-29 persen), prevalensi tinggi(30-39 persen), dan prevalensi sangat tinggi (>= 40 persen). Jika diamati menurut ambang batas prevalensi status gizi menurut WHO (1995), stunting masih berada pada kategori prevalensi sedang dan serius (Gambar 1.1). Gambar I. 1 Prevalensi Malnutrisi di Indonesia tahun 2018-2022 (Kemenkes) Meskipun telah terjadi kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, tingkat malnutrisi anak di Indonesia tetap tinggi, menjadikannya salah satu yang tertinggi di dunia. Satu dari sepuluh balita mengalami wasting, dan tiga dari sepuluh anak mengalami stunting. Masalah malnutrisi pada ibu dan anak, khususnya pencegahan stunting, tetap menjadi fokus utama pada tahun 2022. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk menghidupkan kembali layanan gizi esensial perlu ditingkatkan (Unicef, 2022). Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menangani permasalahan stunting dengan secara aktif bergabung di dalam gerakan global Scaling Up Nutrition (SUN) di bawah Sekretaris Jenderal PBB dan mengeluarkan kebijakan yang sejalan dalam percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kebijakan dimaksud yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2021 Tentang Percepatan Penurun Tunting. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif serta mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, percepatan penurunan stunting 4 dilakukan dengan pendekatan yang holistik, terintegrasi, dan berkualitas. Upaya ini melibatkan koordinasi, sinergi, dan keselarasan antara berbagai pihak, termasuk kementerian/lembaga, pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah desa, serta para pemangku kepentingan. Beberapa penelitian terdahulu mengasosiasikan status gizi anak dengan faktor sosial ekonomi (Fotso & Kuate-Defo, 2005; Logarajan dkk., 2023). Pendidikan ibu dan status ekonomi yang diukur berdasarkan pengeluaran perkapita rumah tangga terus menjadi predictor yang sangat kuat dari status gizi anak-anak (Waters dkk, 2004). Kekurangan gizi adalah implikasi dari masalah lemahnya pelayanan kesehatan, pola asuh yang kurang memperhatikan tumbuh kembang anak, serta ketersediaan pangan di keluarga. Hal ini adalah masalah klasik dari kemiskinan, tingkat pendidikan masyarakat, dan keterampilan dalam menjalani kehidupan (life skill) (Saputra & Nurrizka,2012). Sebagian kecil penelitian menghubungkan status gizi anak dengan migrasi orang tua yang dianggap mempunyai peranan besar dalam membangun tumbuh kembang anak. Dalam hal ini migran diasumsikan sebagai individu rasional yang memaksimalkan utilitas hidup mereka dalam pasar kerja sempurna (Sjaastad, 1962). Migrasi untuk tujuan ekonomi (economic migration) dapat dilakukan secara internal maupun internasional. Economic migration secara tidak langsung dapat memengaruhi perkembangan anak yang ditinggalkan orang tua bermigrasi, yaitu ketidakhadiran orang tua yang berdampak pada pengasuhan anak. Misalnya dalam kasus orang tua yang meninggalkan anak karena migrasi dari Meksiko ke Amerika Serikat yang menjadikan rumah tangga memiliki pola pengasuhan anak yang berbeda (Powers, 2011). Sejalan dengan Powers (2011), penelitian Hugo (2002) di Indonesia juga menemukan bahwa migrasi dapat merubah pengasuhan bagi anak yang ditinggalkan dan pada umumnya laki-laki akan mengambil peran pengasuhan anak selama ketidakhadiran istri karena bermigrasi. 5 Penelitian dari Fellmeth dkk (2018) menyatakan migrasi orang tua memiliki pengaruh negatif terhadap gizi anak, dimana anak yang ditinggalkan oleh orang tua migran beresiko lebih tinggi mengalami wasting dan stunting dibanding anak dari orang tua non-migran). Migrasi di Indonesia memiliki dampak yang kompleks terhadap stunting, anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang melakukan migrasi internal cenderung mengalami pertumbuhan yang lebih baik daripada anak dengan orang tua non-migran dan anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang melakukan migrasi internasional (Lu, 2018). Dalam studi tentang kesejahteraan anak yang ditinggal ibunya bekerja sebagai pekerja migran yang dilakukan oleh SMERU Research Institute dan UNICEF tahun 2013, Lubis, dkk. (2013) menyebutkan tingkat pencapaian pendidikan, kondisi kesehatan, dan aspek psikologis anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka karena migrasi cenderung berbeda dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal bersama orang tua mereka. Dikaitkan dengan kualitas anak (kognitif, psikologi, dan kesehatan), maka migrasi orang tua berdampak negatif karena akibat ketidakhadiran orang tua dalam mendampingi anak (Berbée, dkk., 2017; Nguyen, 2016; Kholida, 2018). Migrasi yang dilakukan oleh ayah/ibu/keduanya memberikan hasil yang bervariatif. Migrasi yang dilakukan oleh ibu akan berdampak lebih buruk pada kualitas pendidikan dan kesehatan anaknya jika dibanding dengan migrasi ayah (Berbée, dkk., 2017; Nguyen, 2016; Lubis, dkk., 2013). Dalam penelitian ini terfokus pada hubungan migrasi orang tua terhadap kejadian stunting pada anak. Terkait dengan investasi modal manusia (human capital) yang dilakukan saat anak berusia dini, pada umumnya penelitian sebelumnya hanya menghubungkan dampak migrasi orang tua terhadap kesejahteraan anak (pendidikan, psikologi dan kesehatan anak secara umum) tidak berfokus pada status gizi anak. Selain itu tidak memasukkan faktor pendidikan orang tua dan beberapa faktor sosial ekonomi lainnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengisi kekurangan penelitian sebelumnya. Oleh 6 karenanya, digunakan data longitudinal dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) dengan unit analisis anak yang sama (usia 0 s.d 59 bulan) pada IFLS 2014. Migrasi orang tua dalam hal ini adalah migrasi keluar negeri yang dilakukan oleh salah satu dari orang tua baik ayah maupun ibu. Metode yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner (Logit). Alasan penggunaan metode ini karena ingin menganalisis data IFLS mengenai hubungan migrasi orang tua terhadap kejadian stunting pada balita secara jelas. I.2 Rumusan Persoalan Kondisi kesehatan anak yang ditandai oleh status gizinya terutama dalam awal kehidupan khususnya dalam 1000 hari pertama menjadi pondasi bagi kesejahteraan di masa yang akan datang. Ada banyak hal yang dapat berasosiasi dengan kondisi status gizi diantaranya faktor sosial, ekonomi dan karakteristik keluarga. merupakan unsur yang penting dalam karakteristik keluarga, yaitu kehadiran dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak. Migrasi memberikan pengaruh bagi keluarga, terutama jika dilakukan oleh orang tua baik ayah maupun ibu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, kehadiran peran orang tua merupakan hal krusial dalam proses tumbuh kembang anaknya. Meskipun penelitian mengenai hubungan antara migrasi orang tua dengan kesejahteraan anak sudah ada beberapa dilakukan di banyak negara, namun penelitian yang mengaitkan dengan stunting masih belum banyak khususnya di Indonesia. Kebanyakan dari studi-studi yang telah ada hanya fokus pada hubungan migrasi orang tua dengan kesehtan mental anak dan kognitif anak, namun tidak berfokus pada kejadian stunting terhadap anak di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini berfokus pada keterkaitan antara migrasi orang tua dengan kejadian stunting pada anak di Indonesia. Dalam penelitian ini status gizi diukur menggunakan capaian antropometri balita sesuai dengan tinggi badan menurut usia (TB/U) kemudian dikategorikan 7 menurut pengkategorian WHO dengan menggunakan data longitudinal hasil Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014. I.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya, pertanyaan umum dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana hubungan antara migrasi orang tua terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia?”. Sementara pertanyaan khusus dari penelitian ini yaitu “apakah terdapat hubungan antara migrasi orang tua terhadap kondisi stunting balita setelah dikontrol oleh faktor sosial ekonomi seperti karakteristik orang tua, karakteristik anak, serta karakteristik rumah tangga pada anak usia balita?”. I.4 Asumsi dan Hipotesis Dalam penelitian diasumsikan bahwa stunting memiliki hubungan yang searah kehadiran orang tua dalam pengasuhan serta tingkat pendidikan pengasuh utama, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan asumsi tersebut dan mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan. Hipotesis pada penelitian ini adalah: 1. Migrasi orang tua (internasional) yang dilakukan ketika anak berusia dini berasosiasi negatif dengan status gizi anak. 2. Pendidikan orang tua berasosiasi positif dengan status gizi anak. I.5 Tujuan dan Sasaran Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan, tujuan umum dari penelitian ini adalah Mengidentifikasi hubungan dari migrasi orang tua terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu mempelajari hubungan migrasi orang tua terhadap kejadian stunting pada balita setelah dikontrol oleh faktor lain seperti karakteristik orang tua, 8 karakteristik anak, serta karakteristik rumah tangga berdasarkan kelompok usia balita. Adapun sasaran dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan stunting dengan variabel bebas utama yaitu migrasi orang tua dan variabel kontrol sosial ekonomi. I.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan melengkapi kajian mengenai dampak migrasi orang tua yang dilakukan saat anaknya berusia dini terhadap status gizi anaknya dan bermanfaat sebagai refrensi pada penelitian selanjutnya serta dijadikan bahan masukan untuk pembangunan kebijakan bagi para pemangku kepentingan terkait dengan solusi permasalahan penelitian ini. I.7 Pendekatan penelitian Pendekatan Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi logistik (logit model). Pengolahan data akan menggunakan aplikasi Stata 14.2. Pengukuran indeks tinggi badan per usia (TB/U) yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada perhitungan indeks TB/U dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah terintegrasi dengan perangkat lunak statistik STATA, yaitu WHO ANTHRO. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Indonesia Family Life Survey gelombang 5 (IFLS5). Ruang lingkup sample yang digunakan adalah anak yang berusia 0-59 bulan atau <5 tahun. I.8 Sistematika Penulisan Secara garis besar sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Pembagian bab tersebut adalah sebagai berikut: 9 Bab I Pendahuluan Pada bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan topik penelitian meliputi latar belakang, permasalahan, pertanyaan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka Pada Bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan teori terkait kejadian stunting dan studi empiris atau penelitian sebelumnya. Bab III Metodologi Penelitian Pada bab ini akan disampaikan mengenai data serta definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian serta metode analisis yang digunakan. Bab IV Gambaran Umum Pada Bab ini akan memaparkan gambaran umum penelitian berupa wilayah penelitian, jumlah unit analisis dan analisis deskriptif . Bab V Hasil dan Pembahasn Pada Bab ini akan memaparkan hasil penelitian berupa pengolahan data statistic, interpretasi nilai estimasi dan analisis inferensial. Bab VI Kesimpulan Penelitian ini akan ditutup pada Bab VI yang berisi kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang dalam hal ini juga mencakup keterbatasan penelitian dan saran penelitian lanjutan..