Hasil Ringkasan
BAB 5 Iqbal Eras Putra

Jumlah halaman: 31 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

59 BAB V HASIL DAN ANALISIS Hasil analisis dari metode yang digunakan tertuang dalam bab ini, yang meliputi hasil pengambilan data, pengolahan, hingga analisisnya. Foto saat survey, peta-peta dan tabel digunakan untuk membantu visualisasi analisis serta menunjukkan alur pengolahan hingga menghasilkan output yang menjawab pertanyaan penelitian pada bab awal tesis ini. Pembahasan sesuai dengan urutan sasaran yang diawali dengan analisis perubahan tata guna lahan, kemudian dikaitkan dengan kejadian bencana gerakan tanah dan tingkat kerentanan bencananya. Kemudian, proyeksi tata guna lahan sebagai masukan dalam untuk proyeksi kerentanan. Hasil analisis menjadi bahan untuk memberikan rekomendasi terhadap RTRW Kab. Sumedang khususnya pada daerah yang rawan bencana gerakan tanah. VI.1 Analisis Tata Guna Lahan Klasifikasi tata guna lahan pada Gambar 5.1 dihasilkan dari pemodelan MLC berdasarkan citra satelit yang digunakan sebagai input-nya. Model klasifikasi tata guna lahan yang dihasilkan memiliki akurasi 87% dan Kappa indeks 0,83 yang berarti model dapat digunakan untuk analisis. Klasifikasi dilakukan berdasarkan reflektansi yang diidentifikasi sebagai tata guna lahan maupun tutupan lahan sesuai dengan yang ditentukan oleh pengguna. Salah satu kendala dalam klasifikasi ini adalah tutupan awan, terutama di daerah tropis dimana awan relatif lebih tebal sehingga kendala ini tidak dapat dihindari (Shrestha dkk., 2019). Perbedaan kondisi awan pada setiap citra akan berpengaruh terhadap analisis perubahan tata guna lahan. Pada penelitian ini, kendala awan diatasi dengan validasi melalui citra Google Earth untuk mengetahui tata guna lahan apa yang berada dibalik awan tersebut. Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa citra tahun 2013 memiliki tutupan awan yang paling tinggi sedangkan citra tahun 2018 dan 2024 relatif lebih bersih dari awan. Tutupan awan pada citra tahun 2013 sebesar 2,65%, tahun 2018 sebesar 0,14% dan tahun 2024 sebesar 0,23%. Citra tahun 2018 paling bersih dari awan namun yang digunakan sebagai acuan dalam pengambilan sampel pixel masing- masing kelas tata guna lahan adalah citra tahun 2024 karena paling memungkinkan untuk dilakukan validasi lapangan. 60 Sampel untuk training set kelas tata guna lahan berjumlah total 100 poligon dengan ukuran bervariasi tergantung obyek sampelnya. Pada citra tahun 2024 yang menjadi acuan, dipilih 20 sampel untuk masing-masing kelas. Jumlah sampel untuk citra tahun 2013 dan 2018 disesuaikan dengan tata guna lahan di tahun tersebut. Dengan cara ini, sampel untuk ketiga tahun analisis memiliki ukuran dan jumlah yang sama sehingga hasil klasifikasi lebih konsisten. Hal ini penting agar perubahan tata guna lahan yang terjadi memang disebabkan oleh dinamika tata guna lahan, bukan karena perbedaan spektrum citra. Sumber: Hasil analisis, 2024 Gambar 5.1. Citra Landsat dan klasifikasi tata guna lahan daerah penelitian pada tahun 2013, 2018, dan 2024. Klasifikasi menggunakan metode MLC dengan membagi tata guna lahan menjadi 5 kelas. 61 V.1.1 Klasifikasi Tata Guna Lahan Tata guna lahan di Sumedang bagian barat dibagi menjadi 5 kelas sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab IV, yaitu hutan, lahan terbuka, pertanian, permukiman, dan terbangun lain. Pada citra satelit Gambar 5.1, perbedaan masing- masing kelas tata guna lahan terlihat jelas. Kelas hutan memiliki rona gelap yang kontras akibat vegetasi rapat terutama di daerah pegunungan. Lahan terbuka paling jelas terlihat di jalur Tol Cisumdawu saat masih pembangunan seperti terlihat pada citra tahun 2018. Di bagian lain, tekstur lahan terbuka mirip dengan pertanian tetapi memiliki rona yang sedikit lebih gelap. Rona pada kelas pertanian lebih terang kecuali sawah yang masih terendam air (belum ditanami). Permukiman memiliki rona terang dengan tekstur kasar terutama di kawasan perkotaan yang rata-rata memiliki atap penutup berwarna cerah. Rona yang paling terang dan jelas terlihat adalah kelas lahan terbangun lain di kawasan industri Cimanggung. Atap pabrik yang luas dan berwarna terang membuat rona kelas ini terlihat kontras dengan tata guna lahan di sekitarnya. Jalan Tol Cisumdawu yang dominan masih berlapis beton tanpa aspal menghasilkan rona cerah sehingga dimasukkan dalam kelas terbangun lain. Contoh kelas tata guna lahan di lapangan pada Gambar 5.2 diambil dari daerah Cimanggung, Jatinangor, Rancakalong, dan Sumedang Utara. Sumber: Hasil survey 2023-2024 a. b. c. d. Gambar 5.2. Contoh setiap tata guna lahan di daerah penelitian. Pegunungan Kec. Cimanggung (a); kawasan industri dan lereng selatan Gunung Geulis, Jatinangor (b); Tubuh air Rancakalong di antara tata guna lahan lain (c); dan pemandangan dari sempadan Tol Cisumdawu KM 177 (d) 62 Di Cimanggung, lahan hutan berada di lereng Gunung Geulis berbatasan dengan lahan pertanian yang mulai merambah ke atas bukit (Gambar 5.2a). Lahan terbuka di wilayah ini bersifat temporer yaitu di pembangunan kawasan permukiman yang marak dilakukan di kecamatan ini. Permukiman ini berkembang ke arah bukit sedangkan di sekitar jalan nasional maupun jalan provinsi yang lebih landai, dikembangkan sebagai lahan terbangun lain, yaitu kawasan industri. Kondisi serupa untuk kelas hutan dan pertanian ditemui di Jatinangor (Gambar 5.2b), tetapi kelas lahan terbuka di sini lebih permanen, meliputi area Jatinangor National Golf and Resort (JNG), lapangan rumput kampus, serta sempadan jalan tol. Permukiman juga berkembang pesat di kecamatan ini, dengan pengembangan di sekitar kampus dan Pabrik Kahatex. Sementara kelas terbangun lain di kecamatan ini tidak hanya kawasan industri, tetapi juga badan jalan Tol Cisumdawu dan bangunan besar selain pabrik seperti tempat pembibitan (nursery), Mall Jatos, dan gedung kampus. Kelas hutan mendominasi wilayah Rancakalong yang tersebar hingga di sekitar permukiman pedesaan sedangkan lahan terbuka hanya berada di sekitar jalan tol. Artinya, lahan terbuka tidak ada di kecamatan ini sebelum tol dibangun. Selain hutan, kelas pertanian juga tersebar luas di kecamatan ini meliputi setiap lembah dan daerah datar yang tidak dibangun permukiman. Lahan pertanian di dekat twin tunnel Tol Cisumdawu berubah menjadi tubuh air, tepatnya di Desa Sukasirnarasa, (Gambar 5.2c). Tubuh air berupa danau ini baru terlihat pada citra tahun 2024 yang terbentuk akibat anak sungai yang terbendung material buangan dari pembangunan jalan Tol Cisumdawu. Saat ini tengah masyarakat dan pihak pengelola jalan tol tengah berupaya untuk mengeringkan danau ini. Selain tidak permanen, luas danau ini juga tidak cukup luas sehingga tidak dimasukkan dalam kelas tersendiri. Jalan Tol Cisumdawu merupakan satu-satunya lahan terbangun lain di kecamatan ini sementara permukiman tersebar memanjang di sekitar jalan. Kondisi di Rancakalong tersebut kontras dengan Sumedang Utara yang berada tepat di sisi timurnya. Sebagai ibukota kabupaten, permukiman di Kec. Sumedang Utara terkonsentrasi di sekitar pusat pemerintahan dengan lahan pertanian tersebar di sekelilingnya. Bukit-bukit kecil di sekitarnya masih berupa hutan yang berfungsi 63 sebagai Taman Hutan Raya. Lahan terbuka berada di sepanjang jalan tol, alun-alun, dan lapangan sepak bola sehingga relatif permanen sedangkan lahan terbangun lain di kecamatan ini meliputi jalan tol, pusat perbelanjaan, terminal terpadu, serta bangunan lain yang memiliki atap luas. Terdapat gerbang tol di kecamatan ini sehingga sempadan jalan tol lebih luas dibanding tempat lain. V.1.2 Perubahan Tata Guna Lahan Klasifikasi tata guna lahan pada citra tahun 2013, 2018, dan 2024 (Gambar 5.1) menunjukkan adanya perubahan alih fungsi lahan di setiap kelas. Luas tiap kelas lahan pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa luas area kelas tersebut memiliki urutan yang tetap. Kelas yang paling luas adalah hutan, lalu secara berurutan diikuti kelas pertanian, permukiman, lahan terbuka, dan terbangun lain. Urutan ini terjaga di ketiga tahun analisis yang dapat diinterpretasikan bahwa alih fungsi lahan terjadi di semua kelas tata guna lahan. Temuan ini terlihat pada grafik perubahan tata guna lahan Gambar 5.3 yang dibuat berdasarkan selisih dari luas masing-masing kelas lahan pada tahun analisis. Tabel 5.1. Luas tata guna lahan tahun 2013, 2018, 2024 berdasarkan klasifikasi MLC dari citra Landsat 8. Tata Guna Lahan Luas (Ha) 2013 % 2018 % 2024 % Hutan 19229,839 49,2% 17558,725 44,9% 18978,234 48,5% Lahan Terbuka 4086,825 10,5% 2974,210 7,6% 2551,813 6,5% Pertanian 10142,378 26,0% 10629,571 27,2% 9748,758 24,9% Permukiman 5136,265 13,2% 7236,864 18,5% 7018,535 17,9% Terbangun lain 462,577 1,2% 748,714 1,9% 831,810 2,1% Sumber: Hasil analisis, 2024 Secara keseluruhan, luas hutan mengalami penurunan yang paling kecil sedangkan lahan terbuka telah berkurang jauh selama rentang 2013-2024 (Gambar 5.3). Kelas permukiman dan terbangun lain mengalami pertambahan luas sedangkan kelas lain mengalami pengurangan luas. Perkembangan permukiman di daerah penelitian tergolong pesat dengan pertambahan luas sekitar 36% dalam waktu sebelas tahun. 64 Angka tersebut masih di bawah pertumbuhan terbangun lain yang mencapai 80% yang dikontribusi oleh pembangunan Tol Cisumdawu dan bertambahnya pabrik di dalam Kawasan Industri Dwipapuri Abadi, Cimanggung. Lokasi terjadinya perubahan tata guna lahan pada Gambar 5.4 dibuat berdasarkan dinamika tata guna lahan pada rentang 2013 – 2024. Pada Gambar 5.4 terlihat bahwa sebagian besar daerah penelitian mengalami perubahan tata guna lahan, hanya wilayah konservasi TBMK yang tidak mengalami perubahan berarti. Permukiman dan terbangun lain yang merupakan lahan terbangun banyak berkembang di bagian barat daya dan timur laut sedangkan pertanian lebih ke arah utara mendekati kawasan hutan. Adapun perubahan dari masing-masing kelas tata guna lahan ialah sebagai berikut. 1.) Hutan Luas lahan hutan pada tahun 2013 ialah 19.229,84 Ha atau mencapai 49% dari luas daerah penelitian, tetapi turun menjadi 45% pada tahun 2018 (lihat Tabel 5.1). Penurunan ini terjadi karena adanya pembukaan lahan untuk jalan tol dan konversi kebun menjadi lahan pertanian maupun permukiman. Pada tahun 2024, lahan hutan bertambah luas namun hanya mencapai 48% dari total luas daerah penelitian. Sumber: Hasil analisis, 2024 Gambar 5.3. Grafik perubahan tata guna lahan tahun 2013 – 2024 menunjukkan pertambahan maupun pengurangan luas dari tiap tata guna lahan. 65 Penambahan luas ini terutama disebabkan oleh lahan terbuka yang kembali tertutup pepohonan. Selain itu, komoditas tanaman berdaun lebat pada lahan pertanian memiliki spektrum yang lebih dekat dengan lahan hutan. Perubahan lahan hutan tidak mengubah dominasi lahan ini yang rata-rata mencakup 47% dari luas daerah penelitian. Hutan di bagian barat laut dan tenggara relatif tidak banyak berubah. Hutan di bagian ini merupakan daerah perbukitan yang memiliki kemiringan lereng terjal dan tidak dilalui akses jalan sehingga alih fungsi lahan dari aktivitas manusia masih relatif minim. Selain itu, di daerah tenggara terdapat kawasan konservasi TBMK sehingga hutan di sini relatif lebih terjaga (Gambar 5.4). Perubahan hutan menjadi lahan terbuka disebabkan oleh adanya gerakan tanah yang menumbangkan pepohonan dan menimbun daerah di bawahnya. Tetapi, lahan terbuka tersebut akan menghijau kembali jika gerakan tanah tidak berulang atau tidak meluas. Sumber: hasil pengolahan 2024 Gambar 5.4. Peta perubahan tata guna lahan pada rentang tahun 2013 – 2024 di daerah penelitian. 66 2.) Lahan terbuka Lahan terbuka mengalami perubahan yang paling signifikan di antara kelas lain. Pada tahun 2013, lahan terbuka memiliki luas 4086,825 Ha atau 11% dari luas daerah penelitian namun tahun 2018 turun menjadi hanya 8% dan 7% pada tahun 2024 (Tabel 5.1). Sebagian besar lahan ini berubah menjadi lahan pertanian, tetapi setelah validasi melalui citra yang lebih detil, perubahan ini disebabkan perbedaan masa tanam. Misalnya, lahan sawah di Desa Baginda dan Desa Cipancar, Kec. Sumedang Selatan pada tahun 2013 sedang kering sehingga banyak tertutup tumpukan sisa batang padi kering, tetapi pada tahun 2018 padi masih belum dipanen. Hal inilah yang menyebabkan lahan terbuka bertambah pada Gambar 5.4, selain karena pembukaan lahan untuk jalur jalan tol. Jadi, perubahan lahan terbuka menjadi pertanian tidak mencerminkan perubahan fungsi lahan semata. Selain pertanian, lahan ini juga banyak berubah menjadi hutan dan permukiman. Penyebab perubahan menjadi hutan secara umum sama seperti yang dijelaskan pada kelas hutan sebelumnya, sedangkan perubahan menjadi permukiman dikarenakan pada tahun 2013, lahan ini memang dibuka untuk membangun kompleks hunian.