Hasil Ringkasan
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan konsep kerentanan dalam penanggulangan bencana gerakan tanah serta merangkum kajian serupa yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Pembahasan ini akan penting untuk menegaskan hubungan antara kerentanan dengan penataan ruang khususnya perubahan tata guna lahan secara spasial. Dari hubungan keduanya kemudian diuraikan peran dari penelitian ini dalam perencanaan wilayah dan penanggulangan bencana di Indonesia. II.1 Klasifikasi Tata Guna Lahan Beberapa penelitian kerap menyandingkan tata guna lahan dengan tutupan lahan menjadi satu istilah, yaitu land use-land cover (LULC). Terlihat mirip namun kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yaitu pada deskripsinya. Tutupan lahan hanya menggambarkan fisik dari permukaan tanah sedangkan tata guna lahan menambahkan unsur fungsi dari lahan tersebut (Briassoulis, 2020). Tabel 2.2 menunjukkan perbedaan antara tutupan lahan dengan tata guna lahan yang dimodifikasi dari Briassoulis (2020). Dari tabel tersebut, tutupan lahan lebih bersifat umum dan regional sedangkan tata guna lahan lebih merinci lahan tersebut sesuai fungsi atau peruntukkannya. Tabel 2.1. Perbedaan pengelompokkan tutupan lahan dengan tata guna lahan. Tutupan Lahan Tata Guna Lahan Hutan Hutan Alami Hutan Produksi Hutan Wisata Padang Rumput Padang Rumput Alami/Savana Tanah Lapang/Tanah Kosong Tempat Rekreasi (Alun-Alun, Lapangan Olahraga, dan lain-lain) Area Pertanian Lahan Garapan (Sawah, Tegalan) Kebun/Ladang Agrowisata Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian 14 Tutupan Lahan Tata Guna Lahan Lahan Terbangun Perkotaan Pedesaan Kawasan Industri Situs Bersejarah Area Komersil Transportasi Obyek Pariwisata Sumber: Hasil kajian literatur, 2024 Dalam analisis spasial berbasis satelit, beberapa tata guna lahan pada Tabel 2.2 sulit dikelompokkan sesuai kelasnya karena kemiripan reflektansi pada citra satelit. Reflektansi yaitu pantulan cahaya atau gelombang elektromagnet, yang bergantung pada magnitudo cahaya, kekasaran permukaan, dan tipe material yang menerima gelombang tersebut (Mather & Tso, 2009). Misalnya tata guna lahan hutan alami dan hutan industri yang terdiri dari jenis vegetasi yang berbeda sehingga kekasaran citranya berbeda namun tidak ada kontras warna di antara kedua tata guna lahan tersebut karena materialnya yang sama. Oleh karena itu, dalam analisis dinamika lahan secara spasial, peneliti-peneliti sebelumnya menggunakan istilah gabungan tata guna lahan-tutupan lahan (land use-land cover/LULC). Selain faktor reflektansi tersebut, pembagian tata guna lahan yang lebih detil secara spasial terkendala jumlah sampel pixel yang tidak memadai. Dandridge dkk (2023) melakukan klasifikasi ulang terhadap kelas tata guna lahan yang sudah ada menjadi pembagian yang lebih sederhana karena jumlah sampel setiap kelas tata guna lahan tersebut kurang memadai untuk dianalisis. Jumlah sampel ini menjadi dasar dalam pengelompokkan tata guna lahan secara spasial sehingga ketika jumlahnya tidak memadai maka akurasi model yang dihasilkan menjadi rendah. Sampel tersebut berupa training set setiap tata guna lahan yang akan dikelompokkan dalam bentuk titik maupun klaster sampel (poligon). Jumlah dan teknik pengambilan sampel ditentukan oleh jumlah kelas tata guna lahan, luas area, dan metode klasifikasi yang digunakan (Mather & Tso, 2009). Akan tetapi, penggunaan training set ini hanya untuk metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) sedangkan untuk Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian 15 metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification), tata guna lahan dikelompokkan secara otomatis sesuai jumlah kelas yang diinginkan analis.