147 Bab VI Penutup Bab ini berisi ringkasan dari hasil identifikasi dan analisis pada bab pembahasan, yang mengangkat pembahasan pada bagaimana kinerja pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang, yang merujuk pada berbagai macam dokumen perencanaan. Ringkasan temuan dan kesimpulan yang diperoleh akan menjadi informasi baik bagi Pemerintah Kota Semarang, ataupun Pemerintah Kota lainnya di level lokal kabupaten kota, dalam melakukan pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim hingga pada proses implementasi kebijakannya. Bab ini juga akan menyampaikan kelemahan studi yang dapat dijadikan sebagai dasar penyempurnaan pada penelitian selanjutnya. VI.1 Temuan Studi Hasil dari identifikasi dan analisis pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim oleh Pemerintah Kota Semarang diantaranya adalah: a. Temuan upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim Penilaian tingkat pengarusutamaan adaptasi yang dilakukan melalui perhitungan depth score dan breadth score terhadap tujuh dokumen perencanaan menunjukkan nilai depth score rata-rata dari 32 indikator mencapai nilai 43.48% dan nilai breadth score mencapai 55.04%. Nilai breadth score mencapai 50% berarti hanya separuh dokumen membahas indikator-indikator pengarusutamaan adaptasi, namun nilai depth score yang lebih rendah menggambarkan meskipun telah diakomodir di beberapa dokumen, namun pembahasannya masih belum eksplisit atau masih di tatar permukaan saja. Indikator-indikator pembangunan fisik prasarana kota mendapatkan nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan indikator-indikator lainnya, terutama bila dibandingkan dengan indikator non fisik seperti pengaturan penataan ruang, instrumen kebijakan iklim, serta pengelolaan dan perlindungan kawasan pesisir. Isu perubahan iklim masih belum banyak diangkat dalam dokumen perencanaan spasial, baik di dalam RTRW ataupun di dalam RDTR. Hal yang sama juga terjadi 148 pada pengelolaan dan perlindungan kawasan pesisir yang karena berdasarkan pengaturan kewenangan baru pengelolaan kawasan pesisir berada di Pemerintah Provinsi, maka dalam dokumen perencanaan di tingkat lokal Kota Semarang tidak banyak diangkat atau tidak banyak menjadi fokus pembahasan. Namun, pada saat dilakukan identifikasi dokumen perencanaan di tingkat Provinsi, hutan mangrove di pesisir utara Semarang sudah dikeluarkan dari zona lindung, dan menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan kawasan mangrove. Di samping arah perkembangan kota yang merencanakan pembangunan reklamasi di kawasan pesisir yang juga akan mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove di Semarang. b. Temuan efektivitas pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim Perangkat daerah yang terkait dengan aksi pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang diantaranya adalah Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Penataan Ruang, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Penanggulangan Bencana Daerah. Sama dengan hasil identifikasi tingkat pengarusutamaan adaptasi, pada penganggaran program juga ditemukan bahwa sebagian besar anggaran dialokasikan untuk kegiatan bidang urusan pekerjaan umum atau pekerjaan fisik. Rata-rata total anggaran yang dialokasikan untuk upaya aksi yang berkaitan dengan pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang adalah sebesar 327 miliar rupiah atau sekitar 6.14% dari total belanja daerah. Tingkat ketercapaian kegiatan besar dokumen RPJMD, RKPD dan LKjIP tahunan adalah 41% kegiatan telah mencapai target di periode tahun 2019- 2021, dan di periode tahun 2022-2023 yang telah mencapai target sebesar 74%. c. Temuan alokasi dan proporsi anggaran aksi adaptasi iklim Alokasi dan proporsi anggaran aksi adaptasi di Kota Semarang apabila dibandingkan dengan empat kota lainnya di pesisir utara jawa (Surabaya, Tegal, Pekalongan dan Cirebon) nilainya berada di bawah Kota Surabaya yang alokasi anggaran rata-rata tahunannya mencapai 1.01 Triliun. Proporsi anggaran aksi adaptasi juga berusaha melihat anggaran total terhadap PDRB, Total Belanja Daerah, dan anggaran per kapita. Berdasarkan rasio anggaran per anggaran total 149 belanja daerah, Kota Semarang memiliki nilai rata-rata 5.92% berada di bawah Kota Tegal (6.42%), Kota Pekalongan (6.02%) dan Kota Surabaya (10.09%). Sedangkan berdasarkan rasio terhadap PDRB, Kota Semarang memiliki nilai rata- rata 0.15% sama dengan nilai rata-rata proporsi anggaran di Kota Surabaya. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan Kota Tegal dan Kota Pekalongan. Berdasarkan rasio anggaran per kapita nilai alokasi anggaran di Kota Semarang juga rendah dibanding kota lainnya, yakni 191ribu rupiah, jauh di bawah kota Surabaya yang mencapai 346ribu rupiah. Nilai alokasi anggaran Kota Semarang juga terbilang rendah apabila dibandingkan dengan standar yang dikeluarkan oleh UN-EP dimana proporsi terhadap PDRB adalah sekitar 0.7% dan alokasi anggaran per kapita dengan rata-rata sekitar 534.600 Rupiah untuk kawasan Asia-Pasifik. VI.2 Kesimpulan Berdasarkan hasil identifikasi, analisis, dan temuan yang didapat dalam penulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Semarang telah melakukan upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang sebagian besar lebih banyak berfokus pada upaya peningkatan kualitas prasarana layanan dasar perkotaan dan sistem pengendalian bencana banjir. Beberapa program non fisik seperti pengelolaan dan perlindungan kawasan pesisir dan penetapan penataan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang adaptif terhadap bencana masih belum terintegrasi dengan fakta adanya risiko dampak dari perubahan iklim. Upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim selain dilihat dari ada dan tidaknya kebijakan dan program terkait perubahan iklim dalam dokumen perencanaan pembangun, juga dapat ditinjau dari segi pendanaannya. Secara alokasi anggarannya, upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang masih tetap terkonsentrasi pada program-program pembangunan struktural dibandingkan program non struktural. Sedikitnya 68.36% dari total rata- rata anggaran (327 Miliar rupiah) yang dialokasikan oleh Pemerintah Kota Semarang terserap pada kegiatan pembangunan fisik dibawah kewenangan Dinas 150 Pekerjaan Umum dan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman. Apabila dilakukan perbandingan besaran alokasi anggaran dengan kota lainnya, anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Kota Semarang berada di urutan kedua setelah Kota Surabaya. Meskipun secara nilai nominal anggaran di Kota Semarang menduduki peringkat kedua setelah Kota Surabaya, namun apabila dibandingkan dari sudut pandang proporsi anggaran terhadap PDRB, Total Belanja Daerah, dan anggaran per kapita, nilai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya masih sangat kecil, yakni rata-rata berada di peringkat ke tiga dan ke empat dari lima kota sebelum Kota Cirebon. Proporsi anggaran aksi iklim terhadap PDRB, Total Belanja Daerah, dan Anggaran per kapita juga terbilang rendah, karena berada dibawah standar penganggaran untuk kawasan Asia-Pasifik sebagaimana ditentukan oleh UN-EP. VI.3 Rekomendasi Upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak pemangku kebijakan, serta dalam periode waktu yang tidak singkat (multi years) (Betts & Schroeder, 2015; Lebel et al., 2012). Melihat upaya pengarusutamaan adaptasi di Kota Semarang yang merupakan salah satu kota di Indonesia yang secara nyata menghadapi permasalahan bencana yang dipicu oleh perubahan iklim, namun tidak menunjukkan kinerja pengarusutamaan adaptasi yang cukup baik, maka diperlukan usaha yang lebih intensif dan berkelanjutan dari Pemerintah di tingkat lokal untuk meningkatkan kemampuan aksi adaptasi perubahan iklim. Beberapa rekomendasi yang dapat ditawarkan dalam studi ini diantaranya adalah: Pemerintah Daerah (Level Kabupaten/Kota dan Provinsi) 1. Akselerasi upaya adaptasi iklim Praktik aksi adaptasi merupakan upaya yang tidak mudah dan tidak sederhana, dan perubahan iklim bukan menjadi masalah yang dapat dipecahkan, tetapi harus dihadapi, dipelajari, untuk kemudian dihasilkan solusi kebijakan yang dapat mengurangi tingkat risiko pada wilayah- wilayah yang dianggap rentan. Diperlukan upaya yang segera dan transparan dalam pengambilan keputusan kebijakan terkait aksi adaptasi 151 oleh pemerintah (Dilling, 2015). Nilai-nilai breadth dan depth score terutamanya pada bagian yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan spasial dan pengelolaan kawasan pesisir yang sangat rendah memerlukan tindakan yang lebih optimal di sektor-sektor ini. Implikasi dari hasil analisis pengarusutamaan seharusnya dapat menjadi masukan bagi pemerintah khususnya pada urusan penataan ruang, agar upaya adaptasi perubahan iklim dapat dijadikan sebagai input dalam melakukan analisis kebutuhan dan peruntukan ruang. Tidak hanya pada tataran perencanaan spasial, pengarusutamaan perubahan iklim juga dilakukan pada tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana peningkatan intensitas ruang terbangun utamanya di kawasan pesisir Kota Semarang akan sangat mengancam keberlanjutan upaya adaptasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang. 2. Peningkatan kepedulian dan kewaspadaan pemerintah terhadap ancaman risiko bencana perubahan iklim. Kurangnya keahlian dan kapasitas pemerintah terkait isu iklim yang ditunjukkan dengan rendahnya depth score dan breadth score pada variabel awareness, pemangku kepentingan di luar unsur pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan sistem Multi-stakeholder governance. Individu, kelompok dan organisasi internasional dapat terlibat dalam proses perencanaan pengarusutamaan adaptasi iklim, sementara pemerintah dapat memainkan peran sebagai koordinator (Betts & Schroeder, 2015; Jones et al., 2014). 3. Pengembangan skema pendanaan iklim Rendahnya alokasi anggaran yang diberikan pada kegiatan yang dikhususkan untuk aksi adaptasi iklim dan kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pendanaan, seharusnya membuat Pemerintah dapat mengembangkan opsi dan skema pendanaan iklim alternatif yang layak secara hukum. Berbagai kota di Eropa telah mengembangkan beberapa 152 skema pendanaan iklim, seperti pajak lingkungan, pajak energi dan listrik yang dikhususkan untuk pendanaan aksi iklim (Barnhusen, 2019). 4. Pengembangan kerangka monitoring dan evaluasi upaya aksi terkait iklim Upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim dan sejenisnya hanya dapat berjalan dengan optimal apabila proses yang dikerjakan dapat terpantau dengan jelas setiap tahapannya dan dapat dievaluasi (IFRC, 2013). 5. Sinkronisasi program adaptasi perubahan iklim dan program pembangunan Pelaksanaan aksi adaptasi perubahan iklim memerlukan aksi spesifik serta integrasi berbagai program adaptasi melalui prosedur yang sistematis (Ministry of Environment and Forestry, 2022). Pemrograman aksi-aksi yang berkaitan dengan upaya adaptasi perubahan iklim seharusnya dapat lebih fokus dalam menentukan lokasi-lokasi dari masing-masing program anggaran. Hal ini agar program-program terkait adaptasi akan lebih sesuai dengan kebutuhan, konteks, dan permasalahan yang dialami oleh masing- masing wilayah. 6. Integrasi muatan pengaturan perencanaan spasial dan aksi iklim Kota Semarang sebagai salah satu kota besar yang berbatasan langsung dengan kawasan pesisir menjadikan ancaman risiko bencana akibat perubahan iklim menjadi semakin meningkat. Dinamika perkembangan kawasan perkotaan yang semakin mengarah ke kawasan pinggiran dan adanya rencana pembangunan di kawasan pesisir menjadikan pengaturan perencanaan tata ruang kota perlu memasukkan isu-isu terkait iklim. Pemetaan zona-zona yang berpotensi terhadap gelombang pasang ataupun kenaikan air laut dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan termasuk di dalamnya perencanaan pengelolaan kawasan pesisir terpadu untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko iklim saat ini dan di masa mendatang (Asian Development Bank, 2024). 153 Pemerintah Pusat (Level Nasional) 1. Pengembangan sistem penganggaran climate tagging Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar upaya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim dapat terlaksana adalah dengan mengintegrasikan aksi-aksi iklim ke dalam rencana pembangunan, mulai di level nasional hingga level lokal. Pemerintah Republik Indonesia telah menjalankan pilot project regional climate budget tagging di 11 pemerintah daerah. Pengembangan climate budget tagging memberikan jalan keluar atas ancaman bencana iklim melalui serangakaian program yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana iklim, disamping pertimbangan efektivitas dan efisiensi (Mutiara et al., 2021; UNDP, 2021). VI.4 Kelemahan Studi Beberapa keterbatasan studi yang dapat menjadi penyempurnaan studi diantaranya adalah: 1. Studi ini tidak melakukan analisis dan permodelan ancaman bahaya bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim, sehingga tidak melakukan penilaian terhadap perkiraan kerugian yang akan diakibatkan oleh bencana yang dipicu oleh perubahan iklim; 2. Studi ini tidak melakukan analisis terhadap hambatan atau tantangan yang dihadapi oleh masing-masing perangkat daerah dalam mengimplementasikan kebijakan dan program terkait isu perubahan iklim. 3. Dikarenakan studi ini difokuskan untuk melihat performa Pemerintah Kota Semarang dalam mengarusutamakan isu-isu perubahan iklim, maka aktor- aktor yang berada di luar pemerintah serta anggaran yang berasal dari luar APBD Kota Semarang tidak masuk ke dalam analisis dan pembobotan aksi adaptasi. VI.5 Saran Studi Lanjutan Beberapa potensi studi lanjut yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pembelajaran aksi adaptasi iklim diantaranya adalah: 154 1. Penelitian mengenai potensi sumber pendanaan lainnya terkait aksi adaptasi perubahan iklim guna meningkatkan alokasi dan proporsi anggaran aksi adaptasi dan mitigasi iklim; 2. Penelitian mengenai analisis pemangku kebijakan dalam melakukan implementasi kebijakan dan program pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim di level sub nasional dan level lokal 3. Penelitian mengenai potensi keterlibatan sektor publik dan swasta dalam meningkatkan investasi aksi adaptasi. 4. Penelitian mengenai model kelembagaan di luar unsur pemerintah dalam mengupayakan aksi adaptasi iklim 5. Mengingat perubahan iklim pada dasarnya tidak terbatas pada suatu wilayah administrasi, penelitian mengenai kerja sama antar Pemerintah Daerah dalam mengarusutamakan perubahan iklim dapat menjadi studi lanjutan..