Hasil Ringkasan
BAB 1 Jenny Oktoviana Usior

Jumlah halaman: 14 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

1 Bab I Pendahuluan Pada bab ini akan memuat latar belakang, persoalan penelitian, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, manfaat penelitian, sistematika pembahasan, dan kerangka berpikir penelitian. Berikut ini merupakan penjelasan secara detail sesuai dengan isi bab pendahuluan. I. 1 Latar Belakang Praktik inovasi saat ini memanfaatkan teknologi yang berkembang dengan cepat. Hal tersebut membuka peluang bagi masyarakat di perdesaan untuk terus meningkatkan perekonomian di sektor pertanian maupun non – pertanian. Namun, infrastruktur dan layanan publik juga menjadi bagian dari aspek penting dalam pembangunan masyarakat perdesaan (Hilmawan dkk., 2023). Keberhasilan dan kegagalan pembangunan perdesaan sering kali dipengaruhi oleh beberapa indikator. Hal ini terdiri dari pemenuhan infrastruktur seperti transportasi (Chanieabate dkk., 2023), fasilitas dan strategi pengelolaan perdesaan (Priatmoko dkk., 2021) dan adaptasi digital oleh aktor-aktor utama perdesaan (Ilham dkk., 2022). Program pemerintah yang termuat di dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah terwujudnya agenda Nawacita, yakni Nawacita ketiga yang berbunyi membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa. Melalui agenda ini, kemudian dilakukan implementasi di dalam Undang – Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang dapat memperkuat pembangunan desa secara efektif, efisien dan berkualitas dalam pemanfaatan pendanaan yang diberikan dengan tujuan agar masyarakat dapat bersaing secara mandiri dalam perekonomian yang dimiliki (Monica & Lanin, 2020). Jadi setiap desa yang ada diberikan kewenangan penuh untuk bisa mengatur dan mengurus setiap kewenangan yang dimiliki atas dasar kebutuhan dan prioritas yang ada. Dengan adanya peraturan tersebut, implementasi strategi pembangunan desa secara nyata mengalami perbaikan ke arah yang lebih baik, 2 khususnya pada aspek fisik dan sosial masyarakat desa. Maka, penguatan desa membangun dengan inovasi dan partisipasi hingga transformasi sosial yang dikendalikan dari luar desa (exogenous) adalah kunci dari tidak berhasilnya suatu pembangunan desa yang sedang bertumbuh dari bawah (endogenous). Namun pada kenyataannya pembangunan yang bertumbuh dari dalam desa itu sendiri menjadi pilar yang paling penting dalam pembangunan nasional dari suatu negara (Kurniawan, 2015). Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan perdesaan neo – endogen bergantung pada gabungan inisiatif dari bawah ke atas, tindakan kolektif, dan hubungan aktor lokal dengan koneksi eksternal (Christopher dkk., 2006). Sebagai wujud pembangunan di perdesaan maka pemerintah memberikan kebijakan berupa bantuan dana desa yang digunakan sebagai dukungan kepada masyarakat dalam mengembangkan kebutuhan desanya, pendanaan seperti ini cenderung berada di negara – negara berkembang (Hilmawan dkk., 2023). Melalui dana desa ini, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi membuat Program Inovasi Desa (PID) yang mana desa dijadikan sebagai subjek bukan lagi objek (Kementerian PPN/Bappenas, 2015). Dalam pengembangan potensi yang dimiliki oleh masing – masing desa, dilakukan juga peningkatan melalui Pendapatan Asli Desa (PADes) yang mana semuanya merujuk pada instruksi Kementerian Desa melalui Indeks Desa Membangun (Sukarno, 2020). Maka dalam pengelompokannya desa dibagi atas 3 (tiga) tipologi berdasarkan tingkatannya yaitu desa tertinggal, berkembang, dan mandiri (Badan Pusat Statistik, 2024). Jika suatu desa memenuhi aspek Standar Pelayanan Minimum (SPM) seperti kebutuhan sosial, infrastruktur dan sarana dasar (pendidikan dan kesehatan, ekonomi, aksesibilitas serta penyelenggaraan pemerintah) serta dapat menunjukkan keberlanjutan yang signifikan maka desa tersebut adalah desa mandiri. Sedangkan desa yang berkembang memiliki ciri sudah terpenuhi SPMnya tetapi belum dapat memperlihatkan keberlanjutan, kemudian desa tertinggal yaitu desa yang masih belum terpenuhi aspek SPMnya (Irawati dkk., 2020). 3 Pembangunan desa seperti ini berkaitan erat dengan inovasi sosial, yang mana inovasi sosial diidentifikasi sebagai pendorong pembangunan perdesaan(Chen dkk., 2022). Dengan kata lain, agar hasil pembangunan perdesaan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas inovasi sosial maka harus bersifat tanggap terhadap suatu hal, dapat mengatasi permasalahan terkini dan mendesak, proaktif, mencari cara kerja yang baru dan berkelanjutan, serta transformatif (Davoudi dkk., 2012). Maka upaya dalam inovasi sosial bagi kehidupan masyarakat perdesaan dapat berkelanjutan dan memiliki arti penting (Neumeier, 2017). Dengan hadirnya program inovasi desa diharapkan memberi banyak manfaat bagi pembangunan desa, antara lain: potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dapat digali, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta dapat meningkatkan pendapatan asli desa (Frestiana dkk., 2021). Namun realitasnya, baru sebagian kecil saja desa di Indonesia yang mampu melakukan inovasi dan menambah statusnya menjadi Desa Mandiri. Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Karuniyati dkk., 2021), penguatan pada pola pengembangan aparatur dan pemberdayaan masyarakat dapat mendorong percepatan pembangunan desa. Oleh karena hal tersebut maka penelitian ini akan menjelaskan lebih lanjut terkait peran masyarakat lokal dalam mendukung program desa membangun yang diimplementasikan melalui inovasi sosial yang menjadi amanat dari UU No. 6 tahun 2024 tentang Desa. Berkaitan dengan proses pembangunan yang dilakukan, sebagaimana diketahui Indonesia telah mencapai kemajuan ekonomi yang signifikan dalam 20 tahun terakhir, tetapi ketimpangan tetap menjadi tantangan utama, terutama di daerah perdesaan. Tingginya tingkat kemiskinan, dominasi sektor pertanian dengan produktivitas rendah, dan keterbatasan infrastruktur layanan dasar adalah hambatan yang terus menghalangi setiap wilayah untuk bisa memperkecil kesenjangan pendapatan antara kelompok ekonomi menengah ke bawah dan kelompok yang lebih sejahtera (Warda dkk., 2018). Mengingat bahwa kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan daerah perdesaan, maka upaya dalam mengurangi ketimpangan di perdesaan akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan kemiskinan nasional. Saat ini, pemerintah dan 4 mitra pembangunan secara intensif mendorong berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di daerah perdesaan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Dalam UU tersebut jelas mengamanatkan bahwa pembangunan desa sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa, yang pada akhirnya dapat mengurangi ketimpangan dalam pembangunan nasional. Desa pada hakikatnya memiliki keunggulan dibandingkan dengan kelurahan atau daerah lain karena desa memiliki pemerintahan yang otonom dan bersifat asli yang tertuang di dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan demikian, desa mempunyai otonomi dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya. Salah satu bentuk otonomi desa adalah dengan memilih pemerintahan desa melalui pemilihan kepala desa (UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa). Selain itu, desa juga mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri yang dituangkan dalam peraturan desa. Peraturan desa merupakan peraturan hukum yang ditetapkan oleh kepala desa setelah melalui pembahasan dan kesepakatan dengan lembaga pembina desa (Ariadi, 2019). Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terutama dengan menciptakan lingkungan yang mendorong berkembangnya inisiatif dan otonomi masyarakat desa. Pembangunan desa adalah metode dan pendekatan pembangunan yang diinisiasi oleh negara (pemerintah dan masyarakat) dengan memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk memajukan masyarakat perdesaan (Ariadi, 2019). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, perencanaan pembangunan desa adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tahapan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan sektor masyarakat secara partisipatif dalam pemanfaatan dan peruntukan desa, sumber daya yang dimiliki guna mencapai tujuan pembangunan desa (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2015). Adapun tahapan 5 pembangunan desa menurut Kemendes PDTT yaitu yang pertama dilakukan pendataan, perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pada proses perencanaan ada 2 (dua) dokumen yang memiliki arti penting dalam pembangunan desa, dokumen yang pertama yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPM Desa). RPJM Desa adalah dokumen yang memuat visi dan misi kepada desa, arah kebijakan pembangunan desa, serta rencana kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. RPJM Desa dibuat agar menjadi pedoman dan panduan bagi suatu komunitas/organisasi dan supra desa guna mengelola potensi dan masalah lingkup desa. Dokumen yang kedua yaitu perluasan dari RPJM Desa yang termuat di dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa), di dalam dokumen ini juga dianggarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD Desa) (UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa). I. 2 Persoalan Penelitian Dengan adanya pembangunan desa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat desa turut memberikan sejumlah dampak yang positif yang berkenaan dengan sejumlah inovasi yang diciptakan oleh masyarakat desa melalui program – program unggulan. Hal tersebut ditunjang dengan bantuan pemerintah berupa dana desa, sehingga masyarakat dapat menjadi subjek dalam pembangunan saat ini. Jika, dilihat pada akhir abad ke – 20 dan awal abad ke – 21, aspek inovasi teknologi, perubahan konteks sosio-ekonomi dan politik, serta globalisasi telah mengubah cara kerja daerah perdesaan, sehingga mempengaruhi kehidupan penduduk lokal (Steiner & Atterton, 2015). Di banyak negara di seluruh dunia, pembuat kebijakan berupaya mendorong inovasi sosial untuk meningkatkan kemandirian dan keberlanjutan suatu komunitas (Dodgson dkk., 2011), karena pada hakikatnya inovasi sosial adalah sebuah proses inovasi dalam hubungan sosial. Hal ini kemudian berkontribusi terhadap pembangunan perdesaan dengan membentuk pola interaksi baru antar aktor, baik individu maupun organisasi (Vercher, 2022). Kepemimpinan masyarakat cenderung dipahami sebagai sesuatu yang inklusif, berorientasi pada tujuan, dan 6 dilakukan oleh sekelompok orang yang bersedia berbagi kekuasaan dengan orang lain (Stimson dkk., 2009). Di wilayah perdesaan, fakta ini menjadi perhatian khusus, karena wilayah tersebut diakui sebagai tempat di mana kehadiran pelaku inovasi konvensional (universitas, lembaga teknologi, dan perusahaan) lebih rendah, dan di mana faktor aglomerasi (faktor penentu kreativitas) proses digantikan oleh kepadatan penduduk yang rendah juga (Madureira & Torre, 2019). Di daerah perdesaan juga jarang diketahui dampak dari inovasi sosial yang terjadi bahkan timbul pertanyaan bagaimana perdesaan itu dapat mempengaruhi proses dan hasil dari inovasi sosial (Steiner dkk., 2023). Hal ini sebenarnya berkenaan dengan aktivitas ekonomi yang tidak dapat diakses dengan cepat bagi masyarakat yang tinggal di perdesaan, seperti aktivitas perdagangan dan jasa yang cenderung memiliki tantangan yang sama yaitu perpindahan penduduk usia muda/produktif, konsentrasi penduduk lanjut usia, keterbatasan kesempatan bekerja, sehingga mengalami kesulitan dalam menarik pekerja yang memiliki keterampilan khusus tannya dengan kemampuan (Christmann, 2016), serta kondisi geografis dalam kaitannya dengan inovasi sosial (Steiner dkk., 2023). Hal ini kemudian dipahami sebagai ketimpangan wilayah pada daerah – daerah perdesaan yang mayoritas bermata pencarian di sektor pertanian dan perikanan (sesuai tipologi geografi wilayah). Jika berbicara mengenai ketimpangan, perbandingan angka ketimpangan wilayah perdesaan di Papua dan Papua Barat adalah yang paling miskin dan paling timpang di antara semua provinsi di Indonesia (Warda dkk., 2018). Masih dengan data melalui sumber yang sama dapat diketahui bahwa perhitungan perubahan ketimpangan menggunakan Indeks Palma pada kurang lebih 5 – 8 tahun yang lalu menunjukkan desa-desa yang ada di Papua, Papua Barat, dan Gorontalo termasuk ke dalam kelompok desa dengan ketimpangan terburuk. Namun, dengan adanya UU Desa No. 6 Tahun 2014 yang merujuk pada data Indeks Desa Membangun (IDM) yang mana merupakan capaian dari pembangunan desa pada tahun 2019 hingga 2023, dalam data yang disampaikan pada kegiatan webinar online yang dilaksanakan oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jawa Timur pada 29 Juni 2024 lalu dengan pemateri Direktur Perencanaan 7 Teknis Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan adanya kemandirian desa yang terus meningkat. Menurut data tersebut telah terjadi peningkatan signifikan terhadap jumlah desa mandiri dan desa maju, serta penurunan tajam desa tertinggal dan desa sangat tertinggal. Inovasi sosial akan coba dipakai untuk bisa membentuk hubungan sosial dan setiap aktor yang arahnya menjadi temuan baru secara kolektif dan hasilnya bisa menjadi ciptaan nilai sosial (Vercher, 2022). Jika inovasi sosial dapat tercapai, otomatis masyarakat desanya menjadi mandiri dan akan memberikan implikasi yang baik dan bernilai positif dalam peningkatan indeks desa membangun (Sukarno, 2022.). Dalam proses pemberdayaan masyarakat perdesaan yang berketahanan sosial, ekonomi dan ekologi, program desa membangun percaya bahwa inisiatif dan kekuatan masyarakat desa itu sangat penting (Kurniawan, 2015). Maka pengelolaan desa, penyelenggaraan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa, dan kewenangan pemberdayaan masyarakat desa harus berdasarkan pada prakarsa, hak atas asal usul, masyarakat dan adat istiadat yang kemudian akan memperkuat otonomi desa (Sukarno, 2020). Setelah UU Desa No. 6 tahun 2014 diberlakukan, yang mana berlaku untuk semua desa di Indonesia, termasuk Kampung Adat Yoboi, kemudian akan diselidiki apakah penerapan inovasi sosial dalam pendekatan desa membangun dapat mengatasi tantangan pembangunan. Secara eksplisit UU Desa No. 6 tahun 2014 tidak mengatur tentang desa adat secara rinci namun memberikan dasar hukum yang cukup menyeluruh tentang desa adat. Adapun ruang yang diberikan bagi desa adat untuk berkembang yakni dalam hal desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memungkinkan masyarakat mendapat pengakuan terhadap desa adatnya, yang dipakai sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum dengan struktur dan sistem pemerintahan sendiri berdasarkan karakteristik adatnya. Selanjutnya ruang yang diberikan adalah masyarakat adat dapat berperan dalam pembangunan desa, dengan menyusun peraturan desa, menghormati, dan melindungi adat budaya lokal, sehingga desa adat tetap bisa mempertahankan kebiasaan dan aturan tradisional dalam kerangka pembangunan yang lebih luas. 8 Dengan demikian melalui Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kampung Adat ini menjadi jaminan konstitusi masyarakat adat Kabupaten Jayapura dalam menjamin eksistensi masyarakat adat, hak – hak tradisional dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan pembangunan. Pada hakikatnya, Kampung dan Kampung Adat memiliki perbedaan dalam struktur pemerintahan kampung (Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 1 Tahun 2022 Tentang Kampung Adat). Selain melalui UU Desa No. 6 Tahun 2014, eksistensi masyarakat adat untuk dilindungi hak adatnya juga didukung dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Maka untuk bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat desa melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat sesuai karakteristik, kondisi dan kemampuan desa, penelitian ini akan menguji apakah inovasi sosial menjadi suatu konsep yang bermanfaat dalam menjelaskan program desa membangun di Kampung Adat Yoboi – Kabupaten Jayapura. Berdasarkan uraian permasalahan penelitian, selanjutnya diturunkan menjadi pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut. Bagaimana Inovasi Sosial dapat terjadi dalam Proses Desa Membangun dalam Amanat Undang – Undang pada Konteks Desa Tertinggal. Penelitian akan dilakukan dengan pendekatan studi kasus pada Kampung Adat Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Adapun pemilihan lokasi studi diambil atas dasar pertimbangan yang dilakukan yaitu berkaitan penetapan Kampung Adat oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Pemilihan Kampung Adat juga agar berkenaan dengan UU No. 6 tahun 2014 yang mana dijelaskan bahwa desa itu memiliki sifat otonomi dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, kemudian diperkuat lagi dengan Perda Kab. Jayapura tentang jaminan masyarakat dan hak dalam penyelenggaraannya. Maka kemudian bagaimana Kampung Adat Yoboi ini bisa menjadi kampung yang bisa memberdayakan masyarakatnya dalam pembangunan kampung. Jika dilihat dalam status pemerintahannya, Kampung Yoboi ini unik karena memiliki 2 (dua) jenis kepemimpinan kampung yaitu Kampung Administratif yang berada di 9 daratan Danau Sentani yang dikenal dengan nama Kampung Kehiran dan Kampung Adat yang berada di perairan Danau Sentani yang dikenal dengan Kampung Adat Yoboi. Kampung Adat Yoboi memiliki keunggulan yang berbeda dengan kampung lainnya yang ada di Papua pada umumnya, dan Kab. Jayapura secara khusus. Hal tersebut sejalan dengan potensi hutan sagu, wisata dan literasi. Dengan potensi tersebut, Kampung Adat Yoboi mengembangkan kampung tersebut menjadi kampung wisata yang dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Adat Yoboi untuk bisa berkembang lebih besar dan dikenal lebih luas oleh wisatawan. Namun, mengingat kampung ini berada di daerah perairan dengan jalur transportasi hanya menggunakan perahu atau masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan motor jonson sehingga berdampak pada pendidikan masyarakat setempat khususnya anak – anak dengan usia sekolah. Akhirnya melalui kelompok belajar mula – mula mulai berkembang dan menjadi aktivitas literasi masyarakat yang pendidikannya hanya sampai SMP paling tinggi yang dikembangkan oleh salah satu Ibu Rumah Tangga.