85 Bab V Pembahasan V.1 Ketidakpastian Kebijakan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia Pembentukan LKPP oleh Presiden SBY tidak terlepas dari berbagai pihak maupun peristiwa yang mendahuluinya. Tindakan-tindakan yang tidak diharapkan seperti perilaku korupsi dan tindakan sekelompok orang yang berusaha menghalangi masuknya perusahaan lain dalam persaingan, dianggap sebagai pengganggu atas upaya instansi pemerintah dalam memperoleh barang/jasa secara efisien, menjadi salah satu faktor yang mendorong ketentuan tentang tata cara pengadaan terus diperbaharui. Harapan akan terwujudnya ‘satu pasar’ dan hadirnya entitas TEP sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 turut memberikan cara pandang berbeda tentang bagaimana pengadaan barang/jasa pemerintah perlu dilakukan. Hal ini diperoleh melalui pengalaman dalam mengevaluasi paket pengadaan, mengidentifikasi permasalahan pengadaan, yang memberikan pembelajaran bagi para pihak di unit kerja Bappenas ketika itu bahwa pengadaan barang/jasa perlu diatur secara terpisah, bukan lagi menjadi bagian dari pengaturan tentang pedoman pelaksanaan APBN. Oleh karenanya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 sebagai regulasi yang secara spesifik mengatur tentang pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah kemudian disusun. Pembentukan LKPP juga tidak terlepas dari berbagai peristiwa seperti adanya krisis moneter akhir pemerintahan Orde Baru yang mendorong pemerintah Indonesia untuk memperoleh pendanaan dari lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF sebagai upaya untuk mengatasi dampak krisis tersebut. Pendanaan yang diberikan ditentukan berdasarkan ‘penerimaan’ pemerintah Indonesia atas rekomendasi yang diberikan kelompok Bank Dunia sebagai tindak lanjut asesmen penyelenggaraan pengadaan publik, turut mempengaruhi bagaimana arah pandang pemerintah terhadap pengadaan barang/jasanya. ‘Studi banding’ yang dilakukan para pihak di Bappenas untuk mencari referensi tentang sistem penyelenggaraan dan lembaga pengadaan publik pada beberapa negara seperti Amerika, Filipina, Polandia, dan Korea Selatan, merupakan hal lain yang turut mewarnai bagaimana proses pembentukan LKPP terjadi. ‘Amanat’ Pasal 50 Keputusan Presiden Nomor 86 80 Tahun 2003 yang ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati merupakan upaya dari pemerintahan Presiden Megawati untuk menanamkan ‘pesan’ tentang pentingnya pembentukan LKPP. Hal ini membuat ‘kehendak’ itu tetap mengemuka meskipun dirinya sudah tidak lagi menjadi penguasa. Peraturan sebagai objek teknis dalam hal ini menjalankan peran untuk ‘mewakili’ kehendak manusia. Dengan kata lain, penetapan pembentukan LKPP melalui Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 oleh Presiden SBY bukanlah merupakan tindakan yang diambil hanya atas dasar kehendak bebasnya, tetapi dipengaruhi oleh berbagai hal di luar dirinya. ANT menyebut hal ini sebagai “action is other taken”. Kelompok Bank Dunia dalam hal ini juga bukan kelompok lembaga internasional yang hanya ‘memberikan pendanaan’ bagi Indonesia sebagai negara penerima ‘bantuan’. Kehadirannya terhubung dengan cara pandang tentang bagaimana sistem ekonomi suatu negara perlu diterapkan. Sebagaimana dikemukakan Larbi (1999) dan Kunzlik (2013), Bank Dunia dan IMF merupakan ‘kendaraan’ yang digunakan untuk mempromosikan gagasan “good governance’ yang berbasis cara pandang neoliberalisme melalui konsep NPM, yang menekankan mekanisme pasar dan menganggap bahwa praktik swasta lebih baik dan perlu diadopsi sektor publik untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien. Bank Dunia dalam hal ini adalah sebuah jejaring. Oleh karenanya, dalam menilai baik atau buruk penyelenggaraan sistem pengadaan di Indonesia pada awal era reformasi, Bank Dunia menjadikan ‘best practice’ internasional sebagai tolok ukur dan kemudian memberikan rekomendasi agar pemerintah Indonesia menyelenggarakan pengadaan publiknya berdasarkan kerangka yang dikembangkan oleh UNCITRAL. Hal ini bertujuan agar pengadaan publik dilakukan berdasarkan sistem pasar atau market-driven yang dianggap akan memberikan manfaat finansial seperti efisiensi bukan hanya kesesuaian barang/jasa yang dihasilkan. Dengan kata lain, Bank Dunia sedang melakukan upaya untuk menarik Indonesia ke dalam grupnya untuk mengelola pengadaan publik sesuai cara-cara yang diatur dalam pandangan neoliberalisme. Melalui pembentukan LKPP, ditanamkan ‘pesan-pesan’ yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Berbagai unit 87 kerja dan tugas serta fungsi dirancang yang menurut Informan FA disusun berdasarkan empat pilar MAPS yang merupakan hasil kolaborasi antara Bank Dunia dan OECD melalui Development Assistance Committee sejak tahun 2003 (PEFA, 2022), yang diinterpretasikan menjadi empat kedeputian di LKPP. Upaya merancang sistem dan kelembagaan pengadaan ini menghubungkan sistem pengadaan publik di Indonesia, dengan negara lain melalui konsep pengadaan publiknya. Prinsip-prinsip pengadaan seperti transparansi dan akuntabilitas serta bersaing kemudian dirumuskan untuk mendukung terwujudnya pengadaan barang/jasa yang ‘value for money’. Hal ini menghubungkan pengadaan publik di Indonesia dengan ‘best practice’ internasional yang ‘dihubungkan’ oleh kelompok Bank Dunia melalui melalui serangkaian asesmen dan pendampingan sebagaimana tertuang dalam dokumen CPAR (2001). Sebagai upaya untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang sesuai dengan ‘best practice’ internasional, Indonesia juga mengembangkan sistem informasi pengadaan yang telah diinisiasi sejak tahun 2006. Hal ini berdasarkan proses ‘studi banding’ yang memberikan pengalaman salah satunya terhadap sistem pengadaan yang dimiliki oleh Korea Selatan yakni KONEPS, yang dianggap sebagai sebuah ‘best practice’ dan memperoleh beberapa penghargaan seperti dari PBB dan OECD (Lim dkk., 2008). Pemberian penghargaan tersebut juga merupakan upaya grouping dari pihak-pihak tersebut agar mekanisme pengadaan publik yang sesuai dengan narasinya dapat diterima dan digunakan oleh banyak negara. Pengalaman juga diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemerintah Kota Surabaya. Hal-hal tersebut menjadi faktor eksternal yang memberikan pengetahuan kepada para pihak tersebut melalui interaksi dengan sistem informasi pengadaan yang menjadi rujukan. Pengalaman ini kemudian mendorong motivasi tentang bagaimana konsep sistem informasi pengadaan yang akan dirancang. Salah satu harapan yang ingin diwujudkan adalah meminimalisir interaksi antara pembeli dengan penyedia yang menjadi pemicu kehendak untuk merubah kondisi yang sebelumnya dianggap bermasalah menuju kondisi seperti yang diharapkan. Hal ini telah diinisiasi oleh PPKPBJ sejak tahun 2006 dan terus 88 dikembangkan baik untuk pelaksanaan e-tenderingmaupun untuk pelaksanaan e- purchasing. Mekanisme Pemilihan Penyedia Katalog Elektronik Pada Paradigma Pemerintahan yang Mendorong Persaingan Pasar Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tendersebagaimana dikemukakan Ari, terdapat kondisi dimana barang/jasa yang dihasilkan sesuai secara spesifikasi, tetapi tidak memuaskan pengguna secara kualitas,menjadi salah satu pendorong mengapa Katalog Elektronikdikembangkan pada tahun 2012. ‘Karakteristik’ tender pada SPSE yang melarang penyebutan merek menjadi penghalang bagi pengguna barang/jasa pada instansi pemerintah untuk mendapatkan barang dengan kualitas seperti yang dikehendakinya. Pengetahuan atas informasi merek yang sudah dianggap ‘berkualitas’menjadi pembanding atas kepuasan pengguna terhadap barang/jasa yang dihasilkan. Pendapat lain yang disampaikan Informan FA tentang tujuan Katalog Elektronik sebagai sarana penyediaan produk strategis yang dibutuhkan instansi pemerintah menunjukan bahwa setiap aktor memiliki pandangan dan argumen tentang gambaran ideal Katalog Elektronik. Dalam ANT hal ini dikatakan bahwa setiap aktor memiliki theory of actionatas tindakan- tindakan yang dilakukannya. Kondisi-kondisi sebagaimana disampaikan para pihak tersebutmenjadi pendorong bagi LKPP untuk mengembangkan sistem informasi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Adanya Sistem Penunjukan Langsung Kendaraan Bermotor Pemerintah (SPLKP) yang telah lebih dulu ada memberikan pengetahuan bahwa permasalahan tersebut dianggap dapat teratasimelalui sistem informasitersebut. Pengetahuan dan pengalaman interaksi dengan SPLKP mendorong para pihak untuk mengembangkan Katalog Elektronik sebagai pengembangan lebih lanjut dari sistem informasi tersebut. Dengan semangat yang sama pada pelaksanaan tender yakni untuk menghasilkan barang/jasa yang ‘value for money’, mekanisme tender dalam pemilihan penyedia diterapkan pada Katalog Elektronik.Mekanisme seperti pemasukan dokumen 89 penawaran baik menyangkut administrasi pelaku usaha maupun spesifikasi teknis produk yang hendak dijual menjadi tahapan yang harus dilalui oleh pelaku usaha dan diseleksi oleh pihak pengelola Katalog. Verifikasi dilakukan oleh pengelola Katalog untuk kemudian dilanjutkan pada penandatanganan kontrak antara pengelola Katalog dengan pelaku usaha sebagai ‘langkah kunci’ melalui suatu perikatan yang kemudian memungkinkan pelaku usaha menayangkan produknya pada Katalog Elektronik. Penerapan proses-proses yang mengacu pada praktik terbaik menjadi sesuatu yang mendapatkan penekanan pada proses pemilihan penyedia Katalog Elektronik pada periode ini. Proses tersebut mempengaruhi grouping dalam Katalog Elektronik tentang pelaku usaha seperti apa yang dapat menjadi bagian di dalamnya. Hal ini juga menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak hanya didasarkan atas kehendaknya, tetapi kehendak tersebut dipengaruhi serangkaian persyaratan yang ditetapkan yang ingin dilalui oleh pelaku usaha tersebut. Kontrak dalam hal ini juga membatasi tindakan penyedia dalam memuat informasi produk yang ditayangkan dalam Katalog Elektronik. Keterikatan tersebut terjadi antara lain karena adanya kepentingan dari pelaku usaha untuk tetap dapat memasarkan produknya pada pengadaan barang/jasa pemerintah melalui Katalog Elektronik. Mekanisme pemasukan dan verifikasi penawaran hingga kontrak yang berlangsung selama tahun 2012 hingga tahun 2021 tidak hanya melibatkan pihak pengelola, pelaku usaha, dan sistem informasi Katalog Elektronik. Proses ini juga melibatkan sistem informasi lain dalam hal ini SIKaP, sistem informasi yang juga dikembangkan oleh LKPP. Melalui serangkaian proses yang oleh Fakhri disebut integrasi, data-data kualifikasi pelaku usaha yang telah ada pada aplikasi SIKaP dapat ‘ditarik’ dan tersedia pada Katalog Elektronik. Keputusan Deputi II Nomor 61 Tahun 2022 sebagai sebuah petunjuk teknis mempengaruhi tindakan-tindakan para pihak melalui serangkaian proses sosialisasi yang dilakukan agar penyelenggaraan Katalog Elektronik yang dilakukan sesuai oleh para pihak yang menanamkan pesan pada regulasi tersebut. 90 Aktivitas yang dilakukan oleh verifikator berujung pada dibuatnya dokumen rekomendasi yang menjadi faktor penentu apakah pejabat yang berwenang harus menandatangani kontrak dengan pelaku usaha ataukah tidak. Dokumen kontrak dalam hal ini menjadi sebuah pembeda apakah pelaku usaha tertentu dapat menayangkan produknya pada Katalog Elektronik ataukah tidak. Proses-proses tersebut menekankan agar prinsip-prinsip pengadaan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dalam mekanisme pemilihan penyedia Katalog Elektronik. Gambar V.1Persyaratan penayangan produk pada Katalog Elektronik v.5 proses bisnis sembilan tahap Perubahan MekanismePemilihan Penyedia Katalog Elektronik Pada Paradigma Pemerintah yang Mendorong Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Pandangan dari Presiden Jokowi berdasarkan pengalamannya terhadap Katalog Elektronik ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta menunjukan bagaimana interaksi antara dirinya dan Katalog Elektronik mentransformasi pengalamannya dan memicu motivasi baru menjadikan artefak teknis sebagai ‘pengemban tugas’ 91 manusia (Yuliar, 2009). Dalam hal ini untuk mewujudkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk UMKK pada sektor publik melalui target minimal satu juta produk pada Katalog Elektronik. Motivasi tersebut kemudian memunculkan pihak baru yang turut berperan antara lain Abdullah Azwar Anas selaku kepala LKPP yang baru. Pengalaman Abdullah Azwar Anas terkait ‘rumitnya’ proses penyelenggaraan Katalog Elektronik ketika dirinya menjabat sebagai Bupati Banyuwangi turut menjadi faktor yang mempengaruhi tindakannya ketika dirinya menjadi Kepala LKPP. Berbeda dengan Kepala LKPP sebelumnya, Abdullah Azwar Anas menanggap target minimal satu juta produk tayang pada Katalog Elektronik yang diberikan oleh Presiden Jokowi sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan, bukan dinegosiasikan. Dirinya menjadi pihak yang menghubungkan keinginan Presiden Jokowi dengan proses pengelolaan Katalog Elektronik yang dilakukan oleh LKPP. Meski mendapat resistensi dari pihak yang menghendaki mekanisme tender pada proses pemilihan penyedia Katalog, tahapan penayangan akhirnya tetapkan menjadi hanya dua tahap berdasarkan ‘kewenangannya’ untuk menjalankan tugas memimpin LKPP. Serangkaian proses pada mekanisme tender untuk menetapkan penyedia Katalog yang dianggap Abdullah Azwar Anas sebagai penghalang bagi tercapainya peningkatan jumlah produk tayang pada Katalog kemudian dilepaskan, yakni pemasukan dokumen penawaran oleh pelaku usaha dan verifikasi oleh tim verifikator. Termasuk penandatanganan dokumen kontrak oleh pengelola dan pelaku usaha yang sebelumnya ada, dihilangkan dan diganti dengan ‘himbauan’ yang muncul pada halaman awal Katalog Elektronik ketika pelaku usaha akan log in pada aplikasi tersebut. Hal ini mempengaruhi proses ‘grouping’ yang berbeda dari sebelumnya tentang pelaku usaha yang relevan dan dapat menayangkan produknya pada Katalog Elektronik. Penetapan Katalog Elektronik sebagai program prioritas merupakan upaya Abdullah Azwar Anas untuk mengukuhkan target penayangan produk sebagai 92 target yang harus dicapai ‘bersama’ oleh seluruh pegawai LKPP. Unit-unit kerja yang ada di LKPP dilibatkan untuk mencapai target tersebut melalui penetapan Keputusan Kepala LKPP Nomor 167 Tahun 2022. Selain itu, tim percepatan implementasi Katalog Elektronik dibentuk melalui Keputusan Kepala LKPP Nomor 166 Tahun 2022 agar implementasi Katalog Lokal pada pemerintah daerah dapat dipercepat, dan penayangan produk pada Katalog Lokal dapat ditingkatkan yang berkontribusi dengan menambah jumlah produk tayang pada Katalog untuk mencapai target minimal satu juta produk tersebut. Hal ini menunjukan upaya pelibatan para pihak untuk berkolaborasi dan bertindak dalam pencapaian tujuan yang Dia miliki yang hal tersebut juga dipengaruhi oleh pihak lain. Gambar V.2 Persyaratan penayangan produk pada Katalog Elektronik v.5 proses bisnis dua tahap Keputusan Kepala LKPP Nomor 167 Tahun 2022 berisi tugas-tugas tentang apa yang harus dilakukan para pihak yang disebutkan dalam peraturan tersebut. Dengan mengaitkan peraturan terkait struktur organisasi LKPP yang memberikan efek mengikat pegawai untuk melaksanakan tugas, keputusan tersebut ‘mengubah’ pola tindakan LKPP dari yang sebelumnya menindaklanjuti usulan pemerintah daerah dalam upaya penayangan produk, menjadi lebih proaktif melalui pendampingan 93 kepada pemerintah daerah dalam proses penayangan produk pada Katalog Elektronik. Hal ini dilakukan dengan membagi sejumlah tim yang ditugaskan untuk melakukan pendampingan tersebut berdasarkan dua belas wilayah kerja yang meliputi lebih dari 500 pemerintah daerah di Indonesia. Melalui tim tersebut juga diedarkan informasi mekanisme penayangan produk yang baru, selain penayangan pada website yang dimiliki LKPP sebagai beberapa cara untuk melakukan ‘sosialisasi’ dan implementasi proses bisnis yang baru. Dorongan peningkatan produk tayang pada Katalog terhadap pemerintah daerah tidak terlepas dari upaya peningkatan penggunaan PDN yang dicanangkan pemerintah. Dalam hal ini, upaya peningkatan penggunaan PDN pada instansi pemerintah diwujudkan melalui penggunaan anggaran negara yang dibelanjakan untuk PDN. Surat Edaran Bersama Nomor 1 Tahun 2022 ditandatangani Abdullah Azwar Anas selaku Kepala LKPP dan Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri pada Februari 2022. Melalui surat tersebut, diamanatkan agar setiap pemerintah daerah membentuk tim P3DN dan mendorong pembentukan, pengelolaan, dan pengembangan Katalog Lokal, serta melakukan belanja pengadaan melalui Katalog Lokal. Upaya pelibatan Tito Karnavian dilakukan karena sebagai Menteri Dalam Negeri dianggap dapat menekan pimpinan pemerintah daerah untuk dapat menjalankan ketentuan SE tersebut, untuk mempercepat implementasi Katalog Elektronik pada proses pengadaan barang/jasa pada pemerintah daerah. Tekanan pemanfaatan Katalog Elektronik dalam metode e-purchasing oleh pemerintah daerah juga datang dari KPK. KPK menerbitkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2022 yang memberikan informasi tingginya korupsi dalam pengadaan barang/jasa dan kemudian merekomendasikan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada pemerintah daerah dilakukan melalui pemanfaatan Katalog Elektronik. Di sisi lain, meskipun mendorong pemerintah daerah pada tindakan yang sama, KPK dalam hal ini menerbitkan SE tersebut karena kepentingannya untuk menindaklanjuti ketentuan dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018. Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018, penggunaan keuangan negara menjadi salah satu dari tiga fokus pencegahan korupsi, oleh karenanya pengadaan 94 barang/jasa pemerintah sebagai aktivitas yang menggunakan uang negara menjadi salah satu proses yang turut dipantau. Upaya pencegahan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan mendorong proses transaksi secara elektronik dalam hal ini melalui Katalog Elektronik. Gambar V.3 Jejaring sosio-teknis dalam upaya mendorong pencapaian satu juta produk pada Katalog Elektronik v.5 proses bisnis dua tahap Peningkatan arus data pada Katalog Elektronik sebagai konsekuensi peningkatan jumlah produk yang tayang menimbulkan permasalahan terhadap keandalan sistem informasi Katalog Elektronik. Hal ini diakibatkan antara lain karena keterbatasan ruang penyimpanan pada server aplikasi dan kurangnya jumlah programmer dalam mengelola sistem informasi Katalog Elektronik. Kondisi ini dalam cara pandang ANT menunjukan peranan objek teknis yang semakin terlihat dan banyak dibicarakan serta menarik atau memunculkan pihak lain yang sebelumnya tidak terlihat ketika terjadi permasalahan terhadap objek teknis itu. 95 Permasalahan tersebut mendorong pimpinan LKPP untuk menyampaikan permintaan kepada Presiden Jokowi dalam suatu rapat terbatas yang digelar di Istana Negara pada tanggal 25 Agustus 2022 (https://setkab.go.id), agar dalam pengembangan sistem pengadaan dapat dilibatkan badan usaha milik negara yang dianggap memiliki sumber daya dan pengalaman dalam mengembangkan teknologi informasi, dalam hal ini PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (PT. Telkom), yang disetujui oleh Presiden Jokowi. Di sini terlihat jelas, bahwa keterbatasan atau permasalahan berkaitan Katalog Elektronik telah menarik pihak lain yang sebelumnya tidak terlibat, server dan penyimpanan yang sebelumnya hanya urusan teknis tentang teknologi apa yang tepat kini berubah menjadi pihak mana yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Latour (2005) menggambarkan hal ini sebagai ketidakpastian atas objek. “The third type of occasion is that offered by accidents, breakdowns, and strikes: all of a sudden, completely silent intermediaries become full blown mediators; even objects, which a minute before appeared fully automatic, autonomous, and devoid of human agents, are now made of crowds of frantically moving humans with heavy equipment.” Keterlibatan PT. Telkom dalam pengembangan sistem pengadaan barang/jasa, mendorong berbagai langkah lain yang harus dilakukan. Abdullah Azwar Anas menetapkan Keputusan Kepala LKPP Nomor 201 Tahun 2022 karena memandang perlunya sebuah tim yang ditugaskan untuk mempersiapkan kerja sama antara LKPP dan PT. Telkom. Melalui tim tersebut, koordinasi dan persiapan didiskusikan antara perwakilan LKPP dengan perwakilan PT. Telkom, termasuk mekanisme pendanaan dan pengembalian investasi yang dilakukan melalui pengenaan tarif PNBP dalam pengadaan barang/jasa pemerintah untuk pengembalian dana investasi yang dikeluarkan oleh PT. Telkom. Strategi yang dilakukan PT.