122 Bab V Analisis Data dan Pembahasan V.1. Perbedaan Pandangan Aktor di Sektor Lingkungan dengan Sektor Pendidikan Aktor di sektor lingkungan dan sektor pendidikan memiliki pandangan masing- masing terkait bagaimana seharusnya fokus di dalam pelaksanaan pendidikan lingkungan di sekolah, sehingga membentuk asosiasi yang berbeda. Pandangan aktor di pihak lingkungan menunjukkan matters of concern bahwa pendidikan adalah urusan mengubah karakter siswa agar berperilaku ramah lingkungan hidup, meskipun urusan ini masih berada dalam proses perdebatan. Sementara itu, pandangan pihak pendidikan menunujukkan matters of fact bahwa pendidikan lingkungan adalah upaya peningkatan kompetensi siswa dalam memahami pengetahuan tentang isu lingkungan dan kemampuan berpikir dan bernalar kritis untuk mengatasi dan menghadapi isu lingkungan. Latour (2005) menjelaskan bahwa matters of fact merujuk pada pengetahuan atau fakta yang telah distabilkan dan diterima sebagai fakta, sementara matters of concern berkaitan dengan urusan yang masih diperdebatkan, dinamis, dan berada dalam tahap negosiasi. Informan Asri, Djoko, dan Eka dari sektor lingkungan berperan sebagai juru bicara grup yang membahas tentang pentingnya keterlibatan sektor pendidikan dalam menyelesaikan isu lingkungan. Namun, pembentukan grup yang berusaha dibangun oleh para pelaku di pihak lingkungan memperlihatkan ketidakpastian ketika pihak pendidikan membentuk asosisasi yang berbeda untuk mempertahankan tujuan pengembangan kompetensi siswa di dalam implementasi pendidikan lingkungan melalui program Adiwiyata. Selain itu, ketidakpastian juga terlihat ketika Penghargaan Adiwiyata dapat berfungsi sebagai mediator yang mampu mengarahkan ulang tindakan dan orientasi aktor di dalam melaksanakan pendidikan lingkungan. Dalam perspektif ANT, mediator adalah sesuatu yang dapat mengubah, menerjemahkan, mendistorsi, dan memodifikasi makna atau elemen yang seharusnya dibawa (Latour, 2005). Meskipun penghargaan ini dirancang oleh KLHK sebagai motivasi sekolah untuk membentuk karakter peduli lingkungan, banyak pihak sekolah justru menganggap program Adiwiyata sebagai "lomba”. ��� Pergeseran orientasi ini mengindikasikan bahwa objek, yaitu penghargaan Adiwiyata, memiliki agencyyangmampu memengaruhi dan bahkan mendominasi interaksi aktor di dalam jaringan pelaksanaan pendidikan lingkungan. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran aktor di KLHK karena banyak sekolah yang memaknai penghargaan tingkat mandiri sebagai titik akhir dari pelaksanaan program Adiwiyata, sehingga orientasi pada pembentukan karakter perilaku ramah lingkungan hidup terabaikan. Oleh karena itu, KLHK menetapkankebijakan pada tahun 2019yang memisahkan antaraaturan tentangProgram Adiwiyata/Gerakan PBLHS (Permen LH No. 52) denganaturan tentangPenghargaan Adiwiyata (Permen LH No. 53). Langkah ini merupakanupaya untuk mengembalikan orientasi pelaksanaan program sebagai implementasi pendidikan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Meskipun KLHK telah berupaya memisahkan konsep penghargaan dari gerakan PBLHS, tantangan tetap munculkarenamasih ada sekolah yang tetap menjadikan penghargaan sebagai indikator utama keberhasilan. Gambar V.1.1 Asosiasi Aktor di Sektor Lingkungan Sumber: Hasil Analisis, 2024 Salah satu faktor yang memperkuat kecenderungan ini adalah fokus evaluasi program yang lebih menitikberatkan pada aspek fisik, seperti kebersihan sekolah atau kelengkapan dokumen administratif, daripada mengukur perubahan perilaku yang menjadi tujuan utama program. Informan berpendapat bahwa pendekatan evaluasi semacam ini kurang mampu mencerminkan dampak nyata dari pendidikan lingkungan terhadap warga sekolah. Oleh karena itu, KLHK berencana menyusun indikator yang lebih efektif untuk menilai perubahan perilaku siswa secara terukur. 124 Salah satu langkah yang sedang dikembangkan adalah optimalisasi Sistem Informasi Adiwiyata (SIDIA), yang akan difokuskan pada pemantauan perubahan perilaku warga sekolah, sehingga evaluasi program tidak lagi hanya bergantung pada aspek administratif atau kondisi fisik lingkungan sekolah. Informan dari KLHK membicarakan bahwa pendidikan lingkungan adalah urusan lintas sektor. Penentuan batasan kelompok melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diinisiasi oleh KLHK mengatur bahwa pendidikan formal harus menerapkan program Adiwiyata sebagai bentuk kontribusi terhadap penyelesaian perubahan iklim. Ketika informan di KLHK dan DLH menegaskan pentingnya integrasi pendidikan lingkungan di sekolah, mereka menciptakan batasan dengan institusi yang kurang mendukung program ini dengan mendefinisikan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengubah perilaku siswa, tidak hanya mentransfer pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan. Selain itu, informan dari DLH juga terus membicarakan bahwa program Adiwiyata di Kota Tangerang harus dilakukan oleh sekolah sebagai bentuk kontribusi terhadap pemerintah daerah dalam mengurangi jumlah timbulan sampah dari sumber. Batasan kelompok terlihat ketika informan membicarakan tentang pemberian bantuan teknis pengelolaan sampah bagi sekolah-sekolah adiwiyata. Hal ini menunjukkan batasan kriteria sekolah adiwiyata yang dibentuk oleh informan di sektor lingkungan sebagai sekolah yang tidak hanya mampu membentuk siswa berkarakter peduli dan ramah lingkungan hidup, tetapi juga dapat menyelesaikan urusan pengelolaan sampah di sekolah. Guru dianggap oleh aktor di DLH sebagai intermediary yang dapat meneruskan tujuannya dalam menyelesaikan urusan sampah di sekolah. Namun, ketidakpastian terlihat ketika informan membicarakan kekhawatiran terkait kurangnya antusiasme para guru, karena menganggap bahwa program Adiwiyata menambah beban kerja tanpa memberikan insentif tambahan. Pada sisi lain, informan dari sektor pendidikan bertindak sebagai juru bicara yang mendefinisikan kembali peran pendidikan lingkungan, tidak hanya berfokus pada perubahan perilaku, tetapi juga pada keterampilan siswa dalam berpikir kritis. Informan mengkritik pandangan tentang pendidikan lingkungan yang hanya menekankan pembiasaan rutin siswa di sekolah untuk membentuk perilaku ramah 125 lingkungan hidup. Informan menjelaskan tentang pengembangan keterampilan siswa untuk berpikir kritis terkait isu lingkungan melalui metode pengajaran, media pembelajaran, dan kegiatan praktik nyata di sekolah. Pendidikan lingkungan tidak dilihat sebagai proses linear bahwa siswa dapat "menghasilkan" perilaku tertentu. Sebaliknya, ada kebutuhan untuk menciptakan metode evaluasi yang dapat menangkap kompetensi siswa dalam menghadapi dan memecahkan masalah lingkungan. Salah satu contoh yang dibicarkan oleh informan adalah implementasi evaluasi pendidikan lingkungan yang pernah dilakukan di SMPN 13 Kota Tangerang dengan pembuatan rapor lingkungan. Penilaian ini dilakukan untuk memantau perubahan perilaku siswa berdasarkan kebiasaan sehari-hari, seperti keaktifan dalam piket kelas, konsistensi membawa wadah makan dan minum, serta pemanfaatan barang daur ulang. Meskipun program ini hanya berlangsung selama satu tahun, informan melihat potensi besar dalam metode ini sebagai alat untuk mengevaluasi perkembangan perilaku siswa secara berkala setiap semester. Selain itu, informan menyarankan agar sekolah menerapkan tes diagnostik di awal dan akhir semester untuk mengukur pemahaman siswa terkait perilaku ramah lingkungan. Meskipun ide ini belum terealisasi, metode ini dianggap dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dalam mengevaluasi efektivitas pendidikan lingkungan dalam membentuk karakter dan kompetensi siswa. Informan di sektor pendidikan juga membicarakan tentang implikasi kurikulum pendidikan terhadap implementasi pendidikan lingkungan di sekolah. Kurikulum Merdeka muncul sebagai objek teknikal yang dianggap oleh informan memungkinkan fleksibilitas dan kontekstualisasi pembelajaran terkait isu lingkungan. Para informan menilai bahwa integrasi pendidikan lingkungan ke dalam mata pelajaran melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di dalam kurikulum merdeka, dapat menjadi media bagi siswa untuk mengembangkan perilaku ramah lingkungan sekaligus keterampilan berpikir kritis. Selain itu, buku pelajaran dalam kurikulum merdeka, juga dinilai sudah terintegrasi dengan materi pelajaran yang relevan dengan isu lingkungan dan memiliki desain visual yang menarik dan mudah dipahami oleh siswa. 126 Gambar V.1.2 Asosiasi Aktor di Sektor Pendidikan Sumber: Hasil Analisis, 2024 Dalam Kurikulum Merdeka, guru diberikan fleksibilitas untuk mengajak siswa keluar untuk melakukan kegiatan praktik di luar kelas, seperti mengumpulkan sampah daun dan mengolahnya menjadi prakarya yang bermanfaat. Kegiatan praktik ini tidak dianggap sebagai aktivitas tambahan di luar kelas, tetapi terintegrasi dalam jam mata pelajaran. Berbeda dengan kurikulum 2013, kurikulum merdeka memungkinkan sekolah untuk menambahkan materi atau aktivitas tambahan yang relevan dengan isu-isu lingkungan tanpa harus terikat ketat pada panduan tertentu. Informan memandang bahwa metode pembelajaran ini dapat menghubungkan teori dengan praktik, sehingga siswa dapat memahami pentingnya menjaga lingkungan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, informan di sektor pendidikan juga membicarakan bahwa pembentukan karakter anak dipengaruhi oleh budaya di rumah yang kurang mendukung perilaku ramah lingkungan, sehingga dibutuhkan kebijakan untuk melibatkan semua pihak termasuk orang tua. Kolaborasi antara sekolah dan orang tua dalam menanamkan kesadaran lingkungan sangat penting untuk menciptakan sinergi yang memperkuat konsistensi perubahan karakter siswa dalam berperilaku ramah lingkungan hidup. Perbedaan perspektif antara aktor di sektor lingkungan dan sektor pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan adanya kontestasi kebijakan.