Hasil Ringkasan
BAB 2 Fikri Abdurrahman Haidar

Jumlah halaman: 16 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gas Rumah Kaca dan Perubahan Iklim Pemahaman mengenai gas rumah kaca perlu didasari oleh pemahaman mengenai “rumah kaca”. Konsep “rumah kaca” merupakan sebuah struktur yang dilapisi oleh kaca ataupun plastik yang memungkinkan pancaran sinar matahari untuk masuk dan menghangatkannya (Lackner dkk., 2022). Konsep tersebut dianalogikan dalam skala Bumi sehingga dikenal sebagai sebuah fenomena yang disebut efek gas rumah kaca. Gas rumah kaca sendiri merupakan gas yang memiliki kemampuan dalam menyerap pancaran sinar matahari (Lackner dkk., 2022). Pancaran sinar matahari yang datang ke Bumi sebagian ditangkap oleh permukaan dan sebagian dipancarkan kembali ke atmosfer (Maji dkk., 2022). Pancaran yang kembali ke atmosfer lalu ditangkap oleh gas aktif, antara lain CO2, CH4, N2O, dan beberapa jenis gas lainnya (Maji dkk., 2022). Efek gas rumah kaca menjaga keseimbangan radiasi matahari antara permukaan Bumi dan atmosfer sehingga menjaga suhu permukaan di sekitar 15ºC (Maji dkk., 2022). Hal tersebut juga membuat Bumi dapat ditempati sebab jika tanpa efek tersebut Bumi akan 33ºC lebih dingin (Lackner dkk., 2022). Namun, gas rumah kaca yang berasal dari berbagai aktivitas manusia telah menjadi topik utama dalam berbagai diskusi mengenai pemanasan global dan perubahan iklim (Lackner dkk., 2022). Tidak terkontrolnya emisi GRK yang terlepas ke atmosfer mendorong terjadinya pemanasan global yang berdampak pada keseimbangan suhu permukaan Bumi (Maji dkk., 2022). Menurut Bush (2020), tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat menjadi 415 ppm di tahun 2019 dari yang semula 278 ppm di tahun 1750. Jika laju peningkatan emisi tetap seperti periode 2000 hingga 2010, IPCC memprediksi bahwa di akhir abad ke-21 peningkatan suhu permukaan Bumi dapat menyentuh 4ºC (Peake dan Everett, 2017). Peningkatan tersebut menimbulkan berbagai dampak, antara lain tutupan es meleleh, perubahan pola hujan, hingga kenaikan permukaan laut (Ugurlu, 2022). Selain itu, peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi juga memicu peningkatan 10 frekuensi bencana terkait iklim yang ekstrem, seperti banjir dan kekeringan (Peake dan Everett, 2017) sehingga menimbulkan distrupsi seperti kelaparan, kerugian ekonomi, serta hilangnya keanekaragaman hayati (Ugurlu, 2022). Saat ini, satu tahun kekeringan dapat diikuti banjir dan kemudian diikuti oleh kekeringan lainnya (Bush, 2020). Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan variabilitas ekstrem pada pola cuaca lokal (Bush, 2020). Menurut Bush (2020), kejadian bencana terkait iklim dan cuaca secara global telah meningkat dua kali lipat pada periode 1996-2015 dibandingkan periode 1976-1995 yaitu dari semula 3.000 kejadian menjadi 6.000 kejadian. Kejadian bencana kekeringan menurun dari semula 186 kejadian di periode 1996-2005 menjadi 164 kejadian di periode 2006-2015 namun korban jiwa meningkat sepuluh kali lipat dari semula 2.118 jiwa menjadi 20.177 jiwa (Bush, 2020). Hal tersebut menjadi indikasi bahwa bencana kekeringan menjadi lebih lama, lebih kuat, atau berdampak pada area yang lebih luas (Bush, 2020). Kekeringan tidak hanya dapat menimbulkan kematian langsung, namun juga kematian akibat permasalahan lanjutan dari kekeringan seperti malnutrisi, penyakit, hingga konflik (Bush, 2020). Sementara itu, pada rentang waktu yang sama kejadian bencana banjir meningkat dari 1.368 kejadian menjadi 1.672 kejadian namun dengan korban jiwa yang menurun dari 93.113 jiwa menjadi 56.948 jiwa (Bush, 2020). Hal tersebut menunjukan jika penanganan risiko banjir telah lebih baik (Bush, 2020). Meskipun demikian, sejak 1995, banjir telah menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi (Bush, 2020). Bencana terkait iklim lain, seperti badai dan gelombang panas, meski tidak terjadi di Indonesia namun terjadi di berbagai wilayah di dunia dan juga menimbulkan korban jiwa. Emisi GRK antropogenik sebagai masalah utama dalam perubahan iklim dihasilkan dari berbagai sektor antara lain energi, pertanian, persampahan, kehutanan, industri, dan lainnya. Bush (2020) menyebutkan bahwa sumber utama dari CO2 adalah pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara dan gas alam, untuk pembangkitan listrik. Emisi dari industri dan pembakaran bahan bakar minyak pada kendaraan juga menghasilkan CO2 dalam jumlah yang besar. Sementara itu, sumber 11 antropogenik emisi CH 4adalah pertanian dan persampahan dan emisi N2O yaitu pertanian, pembakaran bahan bakar fosil, serta proses industri (Majidkk., 2022). Berdasarkan Our World in Data, diketahui bahwa di tahun 2022 jenis gas rumah kaca yang teremisikan ke atmosferdidominasi oleh CO 2sebesar 76% dan diikuti oleh CH 4sebesar 20% serta N 2Osebesar 4%(Jones dkk., 2024a; 2024b; 2024c). Hal tersebut diperkuat oleh Lacknerdkk. (2022) yang menyebutkan bahwa gas CO 2 merupakan GRK antropogenik paling penting sebab konsentrasinya di atmosfer relatif tinggi.(Majidkk., 2022). Sementara itu, jika dilihat berdasarkan sektor dan tidak memperhitungkan sektor kehutanan, sektor energi berkontribusi sebesar84% dari total emisi GRKantropogenik global dan CO 2berkontribusi sebesar 95% dari total emisi di sektor tersebut (Quadrelli dan Peterson, 2007), seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Peake dan Everett (2017) bahwa CO 2dari pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyumbangutama kenaikan emisi.Emisi CO 2sendiri telah terakumulasi sejak periode Revolusi Industri dan diidentifikasi sebagai penyebab utama perubahan iklim(Lacknerdkk., 2022). Sumber: Quadrelli dan Peterson (2007) Gambar 2.1Persentase Emisi Gas Rumah Kaca Global 12 2.2 Perkembangan Konferensi Iklim Dunia Negara-negara dunia telah menyadari perubahan iklim yang terjadi dan sejak beberapa dekade terakhir telah mengangkat permasalahan tersebut ke tingkat global. Satu langkah penting yang terjadi adalah pembentukan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 oleh UN Environmental Programme (UNEP) dan World Meteorological Organization (WMO) dengan tujuan untuk menghadirkan informasi terkait perubahan iklim secara ilmiah (Ulucak dkk., 2019). Selanjutnya, perubahan iklim masuk ke dalam pembahasan pada konferensi iklim dunia UN Conference on Environment and Development. Konferensi tersebut diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil dan dikenal juga sebagai Earth Summit (Ulucak dkk., 2019). Dalam konferensi tersebut, salah satu hasil yang dicapai adalah UN Framework Convention on the Climate Change (UNFCCC) yang ditanda tangani oleh 159 negara dan bertujuan untuk mencapai kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang bisa mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim (UNFCCC, 1992; Nelson, 2011; Ulucak dkk., 2019). Pada konferensi tersebut belum terdapat pembahasan mengenai target penurunan emisi GRK. Pasca Earth Summit, Third Conference of the Parties (COP-3) UNFCCC di Kyoto pada tahun 1997 menjadi tonggak baru dalam menghadapi perubahan iklim. Emisi GRK yang terus meningkat menunjukan perlunya komitmen yang kuat dan mengikat dari negara-negara industri untuk menurunkan emisi sehingga bisa mempengaruhi negara lain untuk terlibat dalam upaya melawan perubahan iklim (Ulucak dkk., 2019). COP-3 UNFCCC menghasilkan kesepakatan yang disebut Kyoto Protocol dengan tujuan yaitu menurunkan emisi GRK sebesar 5,2% pada periode 2008 hingga 2012 dibandingkan tahun 1990 (Nelson, 2011; Ugurlu, 2022). Dalam Kyoto Protocol, periode pelaksanaan komitmen dibagi ke dalam dua periode yaitu periode komitmen pertama antara tahun 2008 hingga 2012 dan periode komitmen kedua yaitu antara 2013 hingga 2020 yang merupakan periode tambahan selama 8 tahun (Ulucak dkk., 2019). Kesepakatan ini disetujui oleh 165 negara (Ugurlu, 2022). Negara-negara tersebut dikelompokan menjadi tiga, yaitu Annex I, 13 Annex II, dan Non-Annex I. Annex I terdiri atas negara-negara industri yang merupakan anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di tahun 1992 dan negara-negara dengan perekonomian dalam transisi, seperti Rusia, negara-negara Baltik, dan beberapa negara Eropa Tengah dan Timur (Ulucak dkk., 2019). Annex II berisi negara-negara anggota OECD di Annex I, namun tanpa negara dengan perekonomian transisi dan Non-Annex I sebagian besar terdiri atas negara-negara berkembang (Ulucak dkk., 2019). Selain dibedakan berdasarkan tingkat perekonomian negara, pembagian tersebut juga didasari kewajiban yang berbeda antar kelompok. Negara di Annex I berkewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka minimal 5% di bawah dari tingkat emisi di tahun 1990 dan negara di Annex II diharuskan untuk menyediakan bantuan finansial bagi negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka dan mengelola dampak perubahan iklim (Ulucak dkk., 2019). Sementara itu, Non- Annex I tidak memiliki target penurunan emisi yang mengikat maupun pembatasan emisi mereka selama periode komitmen pertama (Ulucak dkk., 2019). Salah satu penghasil emisi terbesar di dunia, Amerika Serikat tidak meratifikasi kesepakatan tersebut karena akan memberikan dampak terhadap perekonomian mereka dan beranggapan kesepakatan yang dibuat tidak cukup untuk mendorong negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi mereka di kemudian hari (Nelson, 2011). Hal tersebut didasari oleh negara-negara berkembang yang juga merupakan penghasil emisi terbesar di dunia masuk ke dalam Non-Annex I sehingga tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi GRK mereka. Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk ke dalam Non-Annex I. Meskipun demikian, Nelson (2011) berpendapat bahwa walaupun negara di dunia mengurangi emisi mereka hingga di bawah tingkat emisi tahun 1990, emisi CO2 akan tetap meningkat seiring dengan peningkatan populasi dan penggunaan energi di dunia. Seiring akan berakhirnya periode komitmen kedua Kyoto Protocol pada tahun 2020, perlu adanya kesepakatan baru mengenai perubahan iklim (Ulucak dkk., 2019). Pada tahun 2015, COP-21 UNFCCC diselenggarakan di Paris, Prancis dengan komitmen yang lebih spesifik dibandingkan Kyoto Protocol dalam 14 menghadapi perubahan iklim yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2ºC dibandingkan periode industrialisasi (Ulucak dkk., 2019). Konferensi tersebut menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Paris Agreement dan bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global (Ulucak dkk., 2019). Paris Agreement merupakan perjanjian global pertama terkait perubahan iklim yang bersifat universal dan mengikat secara hukum (Lackner dkk., 2022). Hal tersebut mendorong negara dunia untuk terlibat dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama. Langkah awal yang dilakukan adalah seluruh negara menyerahkan komitmen mereka terkait seberapa jauh kesediaan mereka untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (Ulucak dkk., 2019). Komitmen tersebut diperbarui setiap lima tahun sekali dan disampaikan melalui dokumen NDC (UNFCCC, 2015). Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasi perjanjian tersebut dan telah menyerahkan dokumen komitmen penurunan emisi di tahun 2016 dengan judul First NDC Republic of Indonesia. Pasca penyerahan NDC seluruh negara, permasalahan timbul sebab akumulasi komitmen penurunan emisi GRK negara-negara dunia tidak dapat mencapai target yang disepakati di Perjanjian Paris. Berdasarkan Glasgow Climate Pact diketahui bahwa emisi GRK diestimasi meningkat sekitar 13,7% di tahun 2030 dibanding pada kondisi tahun 2010 sebagai tahun dasar (UNFCCC, 2021). Hal tersebut tentu tidak searah dengan komitmen global yang akan mengurangi emisi GRK sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan kondisi tahun 2010 (UNFCCC, 2021) Pada dokumen yang sama disebutkan bahwa seluruh negara perlu meninjau kembali target NDC mereka supaya selaras dengan target rata-rata kenaikan suhu Bumi pada Perjanjian Paris pada akhir tahun 2022 (UNFCCC, 2021). Indonesia telah menyerahkan dokumen perbaikan tersebut di tahun 2022 dengan judul Enhanced NDC Republic of Indonesia. 2.3 Mitigasi Perubahan Iklim dan Energi Terbarukan Mitigasi perubahan iklim memiliki tujuan untuk menetapkan langkah-langkah dalam membatasi perubahan iklim yang terjadi (Lackner dkk., 2022). Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan GRK yang teremisikan ke atmosfer. Namun, 15 permintaan terkait energi masih akan terus meningkat untuk mendorong pembangunan sosial dan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan manusia (IPCC, 2011). Sementara itu, sebagaimana telah diketahui bahwa emisi GRK yang berasal dari penyediaan energi telah berkontribusi secara signifikan terhadap kenaikan konsentrasi GRK di atmosfer dan konsumsi energi fosil menyumbang sebagian besar emisi GRK antropogenik dunia (IPCC, 2011). Hal tersebut tidak terlepas dari bahan bakar fosil yang memasok sekitar 80% dari total energi dunia (Lechtenböhmer dan Nilsson, 2016). Kekhawatiran mengenai dampak dari penggunaan bahan bakar fosil telah muncul sejak 1970an ketika harga minyak dunia mengalami krisis dan gerakan lingkungan muncul ke permukaan (Peake dan Everett, 2017). Lalu, sejak 1990an, kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem dan iklim jika penggunaan bahan bakar fosil terus berlanjut telah menjadi kekhawatiran utama (Peake dan Everett, 2017). Kunci untuk mengurangi ketergantungan dunia terhadap energi fosil yaitu dengan memfasilitasi transisi global ke sumber energi bersih (Bush, 2020). Energi terbarukan secara umum dipandang lebih berkelanjutan dibandingkan energi fosil karena menimbulkan lebih sedikit dampak kesehatan, menghasilkan emisi GRK yang jauh lebih rendah, tidak dapat habis, dan tersedia di seluruh dunia (Nelson, 2011; Peake dan Everett, 2017). Namun, energi terbarukan tetap memiliki kelemahan yaitu investasi awal yang tinggi dan pada skala yang besar bisa menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal (Nelson, 2011). Selain itu, terdapat kelemahan untuk energi terbarukan tertentu, seperti polusi visual dan kematian burung akibat turbin angin dan polusi bau akibat biomassa (Nelson, 2011). Kelemahan tersebut tidak dapat dihilangkan sehingga perlu dikontrol dan diminimalkan. Sementara itu, investasi awal atau biaya akan turun jika terjadi peningkatan teknologi dan pengadaan yang kompetitif (Bush, 2020) Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemanfaatan energi terbarukan dapat menurunkan tingkat emisi GRK. Caruso dkk. (2020) menemukan bahwa terdapat hubungan kausal negatif antara tingkat CO2 dan konsumsi energi terbarukan dalam studi kasus 12 negara Eropa. Lalu, Hasanov dkk. (2024) mendapatkan temuan yang 16 serupa meski dengan studi kasus yang berbeda. Temuan tersebut menunjukkan bahwa konsumsi energi terbarukan secara signifikan berdampak negatif pada emisi CO2 pada 20 negara dalam Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) (Hasanov dkk., 2024). Pada dua penelitian tersebut, Indonesia tidak termasuk negara di dalam studi kasus. Namun, terdapat penelitian lain yang memasukan Indonesia dalam studi kasusnya. Balsalobre-Lorente dkk. (2024) melakukan studi kasus pada negara G20 dan menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsumsi energi terbarukan dengan degradasi lingkungan, salah satunya emisi CO2. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut dapat dipahami bahwa semakin tinggi konsumsi energi terbarukan maka semakin rendah tingkat CO2. Energi terbarukan telah semakin berkembang dan terbagi ke dalam beberapa jenis, antara lain bioenergi, energi angin, energi geotermal, energi air, energi surya, dan energi laut (energi pasang surut dan energi gelombang) (Nelson, 2011; IPCC, 2011). Secara umum energi terbarukan dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik, namun beberapa energi terbarukan juga digunakan untuk menghasilkan panas. Salah satunya adalah energi surya yang dimanfaatkan dalam sistem pemanas bangunan. Sementara itu, selain dimanfaatkan untuk memproduksi listrik, bioenergi juga digunakan sebagai bahan bakar kendaraan yang disebut bahan bakar nabati. Tabel 2.1 Jenis Energi Terbarukan Jenis Sumber Produk Bioenergi Tanaman pangan, hutan produksi, dan komponen organik sampah rumah tangga Listrik, Panas, Bahan Bakar Kendaraan Energi Bayu Energi kinetik dari pergerakan angin Listrik Energi Geotermal Reservoir geotermal Listrik, Panas Energi Air Bendungan Listrik Energi Surya Photovoltaics (PV) dan concentrating solar power (CSP) Listrik, Panas Energi Laut Pasang surut dan gelombang laut Listrik Sumber: Nelson (2011); IPCC (2011) 17 Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2023, energi laut menjadi satu-satunya jenis energi yang belum dimanfaatkan meski memiliki potensi di beberapa wilayah di Indonesia (Dewan Energi Nasional, 2023). Selain itu, produk energi berupa panas tidak disebutkan dalam Outlook Energi Indonesia 2023 sehingga diasumsikan produksi energi terbarukan di Indonesia hanya menghasilkan listrik dan bahan bakar alternatif. Namun untuk membatasi penelitian, energi terbarukan yang menjadi lingkup penelitian hanya yang dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. 2.4 Implementasi Kebijakan Publik Penelitian ini menggunakan implementasi kebijakan publik sebagai landasan teori dalam menganalisis kebijakan energi terbarukan di Indonesia. Implementasi kebijakan sendiri menurut Edwards (1980) merupakan salah satu tahapan pembuatan kebijakan yang berada di antara penetapan kebijakan dengan konsekuensi kebijakan yang dirasakan oleh masyarakat. Sementara menurut O’Toole (1995), implementasi kebijakan merupakan sebuah proses yang berkaitan dengan realisasi dari niat pemerintah. Hal senada juga disebutkan oleh John (2012) bahwa implementasi merupakan bagian dari pengambilan keputusan setelah dilakukannya langkah formal berupa pengesahan peraturan.