Hasil Ringkasan
1 BAB I Pendahuluan Pada bab pendahuluan dijelaskan terkait latar belakang penelitian berdasarkan isu dan topik yang diangkat. Kemudian dijabarkan juga terkait rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian. Selain itu, pada bab ini juga dibahas mengenai ruang lingkup substansi dan wilayah. I.1 Latar Belakang Transformasi perkotaan merupakan sebuah proses dinamis yang melibatkan perubahan fisik, sosial, ekonomi dan budaya dalam sebuah kota. Salah satu fenomena yang mencerminkan transformasi tersebut adalah reinvestasi pada ruang perkotaan. Reinvestasi mengacu pada investasi ulang ke dalam sebuah properti atau kawasan tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya tarik kawasan tersebut (Addie, 2019). Reinvestasi erat kaitannya dengan teori rent gap yang diperkenalkan oleh Neil Smith pada tahun 1979. Teori ini menjelaskan proses gentrifikasi di kawasan perkotaan. Rent Gap adalah selisih antara nilai tanah saat ini dan nilai potensialnya setelah terjadi reinvestasi atau pembangunan ulang (Kennedy & Leonard, 2001). Ketika rent gap cukup besar, investor dan pengembang tertarik untuk membeli properti di area tersebut, melakukan reinvestasi atau pengembangan ulang, dan kemudian mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai properti tersebut. Adapun dampak dari rent gap yakni memungkinkan terjadinya revalorization (peningkatan nilai), rehabilitation (perbaikan) dan renewal (pembangunan ulang) (Addie, 2019). Fenomena reinvestasi dapat ditandai dengan adanya perubahan fungsi bangunan dan kawasan secara masif. Fenomena ini umumnya terjadi di kota-kota dengan daya tarik ataupun potensi ekonomi yang sangat tinggi. Seperti misalnya di Kawasan Segitiga Emas Jakarta, dimana permintaan terhadap ruang komersial telah mengubah karakter ruang kota (Zuhdi, 2023). Oleh karena itu, Kota Yogyakarta khususnya Kawasan Malioboro dipilih sebagai lokasi penelitian. Kota Yogyakarta memiliki visi sebagai kota pendidikan berkualitas, pariwisata berbasis budaya dan pelayanan jasa yang berwawasan lingkungan yang tertuang dalam RPJPD Kota Yogyakarta tahun 2005-2025. Menurut Nugrahanigtyas & Marwasta 2023, 2 Yogyakarta memiliki potensi yang besar bagi investor karena merupakan kota pariwisata, kota budaya, kota pendidikan dan pusat ekonomi pulau Jawa. Salah satu destinasi wisata yang sangat berpengaruh adalah Kawasan Malioboro yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan koridor wisata belanja dalam Perda DIY Nomor 1 Tahun 2019 tentang RIPARDA Provinsi DIY Tahun 2012 – 2025. Banyaknya bangunan dan situs cagar budaya menjadi daya tarik yang memperkuat identitas kawasan Malioboro sebagai destinasi wisata unggulan. Beberapa di antaranya adalah Pasar Beringharjo, Jalan Malioboro, Benteng Vredeburg, dan berbagai bangunan heritage lainnya, yang tidak hanya memiliki nilai sejarah tinggi tetapi juga berkontribusi pada daya tarik estetika dan ekonomi kawasan. Kawasan Malioboro telah mengalami transformasi fungsi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, dari fungsi cultural street menjadi commercial street, hal ini terjadi sejak perubahan kawasan menjadi mixed-use area setelah kemerdekaan Indonesia (Fauziah, 2019). Banyak masyarakat yang merubah rumah mereka menjadi shop- houses. Hal ini merupakan respon mereka dalam meningkatkan keuntungan sesuai dengan potensi Kawasan Malioboro pada saat itu (Costa, et.al. 2021). Proses transformasi ini terus terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah wisatawan tiap tahunnya. Keberadaan kawasan Malioboro sebagai potensi destinasi wisata unggulan mendorong peningkatan permintaan terhadap fasilitas dan akomodasi pendukung pariwisata, seperti hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan. Menyadari hal ini, pemerintah Kota Yogyakarta kerap berupaya mengembangkan kawasan tersebut melalui berbagai kebijakan dan program. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wisata, memperkuat pelestarian kawasan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Wujud intervensi pemerintah tercermin dari upaya revitalisasi Kawasan Malioboro sejak tahun 2016 sesuai Keputusan Walikota Yogyakarta No. 63 Tahun 2016 tentang Penetapan Kawasan Strategis untuk Revitalisasi Kawasan Ruang Publik. Beberapa kebijakan selanjutnya juga berfokus pada penataan Kawasan Malioboro. Selain itu, Widianto & Keban (2020) menyebutkan bahwa salah satu pemicu masuknya investor secara besar-besaran di Yogyakarta adalah karena adanya deregulasi. Deregulasi yang terjadi yaitu adanya penyederhanaan peraturan terkait perizinan 3 IMB/PBG di Kawasan Malioboro yang tertuang Perwali Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perizinan. Hadirnya kebijakan ini kemudian ditangkap sebagai peluang peningkatan ekonomi daerah. Kegiatan revitalisasi dan deregulasi ini mendorong pembangunan yang masif. Sebagian besar lahan telah diubah menjadi penggunaan yang lebih tinggi seperti komersialisasi dan kantor (Lim, et al. 2013), hal ini terlihat dari pergeseran luas kawasan di RDTR, dimana luas kawasan permukiman menurun dari luas 140,60 ha di tahun 2010 turun menjadi 91,65 ha pada tahun 2019 (Da Costa, et al. 2021). Namun, fenomena ini pada akhirnya mempengaruhi peningkatan nilai properti dan sewa dan kemudian menarik lebih banyak investor masuk di kawasan Malioboro (Medha & Ariastita, 2017). Beberapa penelitian mengenai gentrifikasi membuktikan bahwa terjadi perubahan demografis dan sosial akibat banyaknya pembangunan baru di Kawasan Malioboro. Meningkatnya harga sewa dan properti menyebabkan penduduk asli atau bisnis kecil harus pindah, digantikan oleh pendatang atau bisnis yang lebih besar dan lebih komersial. Hal ini terbukti dari perubahan kawasan residensial menjadi kawasan komersial serta relokasi PKL ke teras malioboro 1 dan 2 (Widianto & Keban, 2020; Amrozi, et.al, 2021). Penelitian terdahulu telah menjelaskan fenomena gentrifikasi secara umum di Kota Yogyakarta (Nugrahanigtyas & Marwasta, 2023; Widianto & Keban, 2020; Amrozi, et.al, 2021), namun tidak menjelaskan secara spesifik proses dan bentuk transformasi kawasan yang dipicu oleh adanya kesenjangan sewa. Selain itu, berbagai indikasi dampak rent gap di kawasan Malioboro seperti adanya revitalisasi yang intensif dan kenaikan harga lahan maupun properti menjadi gagasan utama dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada proses dan bentuk reinvestasi yang terjadi di kawasan Malioboro serta implikasinya pada perubahan penggunaan lahan dan pola harga lahan. Hal ini bertujuan untuk memahami bagaimana reinvestasi tersebut mempengaruhi transformasi kawasan, baik dari aspek fisik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak reinvestasi terhadap karakter kawasan, terutama dalam kaitannya dengan penerapan teori rent gap dan fenomena gentrifikas komersial. 4 I.2 Rumusan Masalah Keberadaan Kawasan dan Jalan Malioboro sebagai warisan budaya dan destinasi yang paling diminati di Pulau Jawa mendorong pembangunan yang masif terutama pada sektor akomodasi pariwisata. Menanggapi hal ini, pemerintah Kota Yogyakarta sebagai fasilitator pembangunan kota berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur di Kawasan Malioboro untuk mendorong kegiatan pariwisata dan peningkatan ekonomi daerah. Melalui program revitalisasi Kawasan Malioboro, pemerintah berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan dan minat investor untuk berinvestasi di kawasan tersebut.