Hasil Ringkasan
BAB 4 Shinta Oktaria Yudowaty

Jumlah halaman: 19 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

18 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Verifikasi Data Penggunaan data hasil model atau reanalysis harus diiringi dengan verifikasi dengan data lapangan untuk mengetahui korelasi, signifikansi dan RMSE antara data observasi dengan data hasil model. Gambar IV.1 dan Gambar IV.2 menunjukkan hasil verifikasi antara data reanalysis dengan data observasi pada kedalaman 60 m yang menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,71102 dengan RMSE sebesar 0,23904 m/detik sedangkan pada kedalaman 100 m nilai korelasi sebesar 0,50262 dan RMSE sebesar 0,16309 m/detik. Dikatakan oleh Pratisto (2005) bahwa korelasi sebesar 0,7 merupakan korelasi yang cukup tinggi, sedangkan 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup rendah. Gambar IV.1 Verifikasi data kecepatan arus meridional reanalysis HYCOM dengan data kecepatan arus meridional observasi MITF pada kedalaman 60 m. Gambar IV.2 Verifikasi data kecepatan arus meridional reanalysis HYCOM dengan data kecepatan arus meridional observasi MITF pada kedalaman 100 m. 19 Diagram scatter kecepatan arus terhadap waktu di dua kedalaman yaitu kedalaman 60 m dan 100 m menunjukkan nilai regresi yang baik, hal ini diperlihatkan oleh sebaran data yang mendekati garis regresi linier (Gambar IV.3). Gambar IV.3 Diagram scatter kecepatan arus meridional antara data reanalysis HYCOM dengan data observasi MITF 28 November 2006 - 28 Mei 2009 pada kedalaman (a) 60 m dan (b) 100 m. Berdasarkan uji signifikansi yang dilakukan terhadap data kecepatan arus pada kedalaman 60 m dan 100 m dengan menggunakan angka signifikansi sebesar 0,05 didapatkan nilai p pada kedalaman 60 m sebesar 2,49 H 10 -141 dan nilai p pada kedalaman 100 m yaitu 1,51 H 10 -59 . Kedua hasil menunjukkan nilai p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara data reanalysis dengan data observasi adalah signifikan. Gambar IV.4 Verifikasi data temperatur reanalysis HYCOM dengan data observasi MITF tanggal 8 Juli 2005 pada kedalaman 0 - 1000 m. 0 10 20 30 0 200 400 600 800 1000 Temperatur (Celcius) Kedalaman (m) Temperatur MITF vs HYCOM 8 Juli 2005 Korelasi = 0.99557 HYCOM MITF (a) (b) 20 Hasil verifikasi temperatur menunjukkan korelasi yang tinggi yaitu sebesar 0,99557 (Gambar IV.4) dengan RMSE sebesar 0,8854°C dan hasil uji signifikansi didapatkan nilai p < 0,05 yaitu sebesar 2,11 H 10 -33 sehingga dapat dikatakan terdapat hubungan yang signifikan antara kedua data tersebut. Diagram scatter temperatur terhadap kedalaman menunjukkan nilai regresi yang baik, hal ini diperlihatkan oleh sebaran data yang cukup mendekati garis regresi linier (Gambar IV.5). Gambar IV.5 Diagram scatter temperatur data reanalysis HYCOM dengan data observasi MITF tanggal 8 Juli 2005 pada kedalaman 0 - 1000 m. IV.2 Arus Kecepatan arus bervariasi terhadap musim baik di jalur masuk, di kanal Labani, maupun di jalur keluar (Gambar IV.6). Untuk mendapatkan respon terbaik terhadap musim maka pengelompokan musim diperlambat selama satu bulan dari angin monsun (Susanto dkk., 2012). Pada kedalaman di atas 200 m tampak dengan jelas kecepatan maksimum terjadi pada kedalaman sekitar 100 m saat musim timur (JAS) dan kecepatan minimum saat musim barat (JFM). Kecepatan terus bertambah terhadap kedalaman dari permukaan hingga mencapai nilai maksimumnya di kedalaman sekitar 100 m. Hal ini berlaku diketiga lokasi tinjauan. Hasil ini serupa dengan pernyataan Susanto dkk. (2012) bahwa kecepatan maksimum di Selat Makassar terjadi saat musim timur berlangsung. 21 Kecepatan arus di jalur masuk pada kedalaman sekitar 50 - 100 m yaitu sebesar - 0,6 m/detik hingga -0,8 m/detik (nilai negatif menunjukkan arah arus ke selatan). Kecepatan arus maksimum yang terjadi selama musim timur ini yang nantinya akan mempengaruhi transpor di Selat Makassar. Menguatnya angin timur mendorong massa air Selat Makassar ke Laut Jawa sehingga meningkatkan transpor Selat Makassar (Gordon dkk., 2003) dan mengurangi aliran Laut Cina Selatan di Selat Karimata (Fang dkk., 2010). Gambar IV.6 Profil kecepatan arus meridional terhadap kedalaman berdasarkan musim di (a) jalur masuk, (b) kanal Labani, dan (c) jalur keluar dalam m/detik. Profil kecepatan arus time series terhadap kedalaman sepanjang tahun penelitian yaitu 2002 hingga 2012 ditampilkan untuk dua lokasi. Lokasi pertama sebagai jalur masuk transpor ke Selat Makassar berada pada 1,04º LU dan 119,52º BT, lokasi kedua pada 4º LS dan 118,48º BT sebagai jalur keluar transpor dari Selat Makassar. Kedua lokasi menunjukkan bahwa arah arus dominan bergerak ke Selatan, hal ini dipengaruhi oleh masuknya massa air Arlindo melalui Selat Makassar sepanjang tahun sehingga arus di Selat Makassar dominan bergerak ke arah selatan. (a) (b) (c) 22 Profil arus terhadap kedalaman sepanjang tahun penelitian di jalur masuk dapat dilihat pada Gambar IV.7. Arus yang bergerak ke selatan maksimum berada pada kedalaman 0 – 200 m. Variasi kecepatan arus sepanjang tahun penelitian terhadap kedalaman di jalur keluar ditunjukkan pada Gambar IV.8. Arah arus di jalur keluar bergerak ke selatan pada seluruh lapisan kedalaman. Kecepatan arus terbesar berada di kedalaman 0 – 300 m dengan kecepatan mencapai -1,2 m/detik, meskipun demikian terjadi pelemahan kecepatan arus di kedalaman 0 – 300 m sekitar akhir tahun hingga awal tahun. Shinoda (2012) menyimpulkan bahwa kecepatan maksimum Selat Makassar berada pada kedalaman 100 - 200 m dan pelemahan arus pada akhir tahun merupakan efek gelombang Kelvin, sedangkan pelemahan arus di awal tahun merupakan pengaruh dari variasi angin musiman di perairan Selat Makassar. Sprintall dkk. (2000) mengidentifikasi adanya propagasi gelombang Kelvin sepanjang pantai Sumatera-Jawa yang masuk ke Selat Lombok dan Selat Makassar pada Mei 1997. Syamsudin dkk. (2004) juga berpendapat yang sama bahwa gelombang Kelvin masuk ke Selat Lombok menuju Selat Makassar dimana Sprintall dkk., (2009) menemukan adanya gelombang Kelvin di jalur outflow. Gelombang Kelvin ini masuk ke Selat Lombok yang kemudian mengurangi kecepatan arus arah selatan Selat Makassar (Shinoda dkk., 2012). Susanto dkk. (2012) menemukan terdapat kecepatan arus arah selatan yang melemah pada bulan Mei dan November karena pengaruh gelombang Kelvin. Pada penelitian ini tampak pelemahan arus arah selatan yang terjadi pada bulan November baik di jalur masuk maupun di jalur keluar, namun tidak tampak dengan jelas pelemahan arus arah selatan yang terjadi saat bulan Mei. 23 Gambar IV.7 Profil kecepatan arus meridional berdasarkan kedalaman di jalur masuk dalam m/detik. Gambar IV.8 Profil kecepatan arus meridional berdasarkan kedalaman di jalur keluar dalam m/detik. Gambar IV.9 Profil kecepatan arus meridional terhadap kedalaman rata-rata klimatologi di (a) jalur masuk dan (b) jalur keluar dalam m/detik. Tahun Kedalaman (meter) Kecepatan Arus pada 1.04N 119.52E (m/s) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 100 200 300 400 500 600 700 800 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 Tahun Kedalaman (meter) Kecepatan Arus pada 4S 118.48E (m/s) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 100 200 300 400 500 600 700 800 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 (a) (b) 24 Distribusi spasial magnitude-v di permukaan ditampilkan pada Lampiran A. Berdasarkan analisis distribusi spasial tampak bahwa arus yang cukup besar terjadi saat musim timur (JAS) dimana arus arus menunjukkan arah selatan sepanjang Selat Makassar dan menguat pada jalur keluar di sisi selatan Selat Makassar. Pada saat musim barat (JFM) besar arus arah selatan Selat Makassar tidak terlalu besar. Saat musim peralihan I (AMJ) besar arus arah selatan semakin mengecil dan menguat pada sisi selatan Selat Makassar. Besar arus arah selatan menguat di kanal Labani sepanjang musim. Distribusi spasial magnitude-v pada kedalaman 100 m tidak jauh berbeda dengan distribusi spasial magnitude-v permukaan dimana arus arah selatan yang cukup besar terjadi saat musim timur (JAS). Sedangkan pada saat musim barat (JFM) dan musim peralihan II (OND) arus arah selatan tidak begitu besar dibandingkan musim timur dan peralihan I. Serupa dengan magnitude-v permukaan, pada distribusi spasial magnitude-v kedalaman 100 m tampak bahwa arus arah selatan menguat di sekitar kanal Labani dan di jalur keluar atau sisi selatan Selat Makassar (Lampiran B). Distribusi spasial magnitude-v pada kedalaman 300 sedikit berbeda dengan distribusi spasial magnitude-v permukaan dan pada kedalaman 100 m (Lampiran C). Tampak bahwa pada semua musim besar arus arah selatan hampir sama, hanya saja terjadi sedikit perbedaan pada saat musim peralihan II (OND) dimana kecepatan arus sedikit lebih kecil dibandingkan musim-musim lainnya. Serupa dengan distribusi spasial magnitude-v permukaan dan arus pada kedalaman 100 m, pada kedalaman 300 m tampak bahwa arus menguat di sekitar kanal Labani. Arus yang bergerak ke selatan sebagian besar berada di lapisan permukaan hingga kedalaman 300 m, hal ini disebabkan Arlindo Selat Makassar menguat pada lapisan termoklin (Gordon dkk., 2008 dan Susanto dkk., 2012) dimana lapisan termoklin ditemukan pada kedalaman 60 – 300 meter (Illahude, 1999). Magnitude-v sepanjang penampang A – B (utara – selatan) Selat Makassar pada kedalaman 10 m, 100 m, 200 m, dan 300 m ditampilkan pada Gambar IV.10, tanda negatif menunjukkan bahwa arus bergerak ke arah selatan. Kecepatan di sisi utara dan selatan Selat Makassar bergerak ke selatan sepanjang tahun, dengan sisi 25 selatan cenderung memiliki kecepatan yang lebih besar. Pada gambar tampak bahwa aliran melemah di bagian tengah Selat Makassar yang kemudian menguat kembali di sisi selatan. Gambar IV.10 Kecepatan meridional pada kedalaman (a) 10 m, (b) 100 m, (c) 200 m, dan (d) 300 m sepanjang penampang A – B. Tahun Kecepatan Meridional pada Kedalaman 10 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 Tahun Kecepatan Meridional pada Kedalaman 100 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 Tahun Kecepatan Meridional pada Kedalaman 200 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 Tahun Kecepatan Meridional pada Kedalaman 300 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 (a) (b) (c) (d) 26 IV.3 Variasi Temperatur Variasi musiman temperatur di jalur masuk dan di jalur keluar ditampilkan pada Gambar IV.11. Profil temperatur di jalur masuk menunjukkan nilai maksimum di permukaan terjadi saat musim peralihan I dengan nilai minimum saat musim barat berlangsung. Memasuki kedalaman 250 m temperatur hampir seragam. Berkebalikan dengan profil temperatur di jalur masuk, temperatur di jalur keluar bernilai maksimum saat musim barat dan minimum saat musim timur. Gambar IV.11 Profil temperatur terhadap kedalaman berdasarkan musim di jalur masuk dan jalur keluar. Profil temperatur terhadap kedalaman di jalur masuk sepanjang waktu penelitian dapat dilihat pada Gambar IV.12. Pada kedalaman 0 – 300 m temperatur mengalami kenaikan temperatur saat akhir tahun dan awal tahun, dan mengalami penurunan temperatur saat pertengahan tahun. Namun, kenaikan dan penurunan temperatur ini tidak cukup besar dapat dilihat dari variasi terhadap waktu yang cukup lambat. Gambar IV.13 menunjukkan profil temperatur di jalur keluar sepanjang waktu penelitian. Tampak bahwa variasi temperatur terhadap waktu di jalur keluar sangat besar. Terdapat penurunan temperatur yang cukup tajam di sepanjang waktu penelitian mulai kedalaman sekitar 70 m. Terdapat pola kenaikan dan penurunan temperatur yang mencolok pada kedalaman 70 – 100 m 27 sepanjang tahun penelitian dimana temperatur mengalami kenaikan temperatur saat akhir tahun dan awal tahun, dan mengalami penurunan temperatur saat pertengahan tahun. Gambar IV.12 Profil temperatur terhadap kedalaman di jalur masuk dalam ºC. Gambar IV.13 Profil temperatur terhadap kedalaman di jalur keluar dalam ºC. Profil temperatur rata-rata klimatologi dan sepanjang tahun penelitian di jalur masuk mengalami pemanasan yang konsisten dilihat dari perubahan temperatur yang tidak signifikan sepanjang tahunnya (Gambar IV.14 dan Gambar IV.12). Lain halnya dengan temperatur di jalur keluar dimana peningkatan temperatur yang terjadi saat akhir tahun hingga awal tahun di jalur keluar menunjukkan bahwa temperatur mendapat pengaruh musim (Gambar IV.13). Selain itu, penurunan nilai temperatur di sekitar pertengahan tahun dijalur keluar diduga akibat adanya upwelling di selatan Selat Makassar (Gambar IV.14). Saat musim Tahun Kedalaman (meter) Temperatur pada 1.04N 119.52E (m/s) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 5 10 15 20 25 30 Tahun Kedalaman (meter) Temperatur pada 4S 118.48E (m/s) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 5 10 15 20 25 30 28 timur arus dari Selat Makassar bertemu dengan massa air yang mengalir dari Laut Flores menuju Laut Jawa, mengakibatkan kekosongan di daerah selatan Selat Makassar, kekosongan ini mengakibatkan naiknya massa air yang berada dibawahnya (Nontji, 1987 dan Illahude, 1970). Gambar IV.14 Profil temperatur klimatologi terhadap kedalaman (a) jalur masuk dan (b) ≤ jalur keluar dalam ºC. Distribusi temperatur sepanjang Selat Makassar ditampilkan secara spasial berdasarkan musim pada kedalaman 0 m, 100 m, dan 300 m. Distribusi spasial temperatur permukaan ditampilkan pada (Lampiran D). Berdasarkan analisis distribusi spasial tampak bahwa temperatur sisi selatan Selat Makassar lebih hangat dibandingkan dengan sisi utara pada saat musim barat dan musim peralihan II. Sebaliknya, saat musim timur sisi utara tampak lebih hangat dan pada saat musim peralihan I temperatur sisi selatan tampak sedikit lebih rendah dibandingkan dengan utara selat. Distribusi spasial temperatur pada kedalaman 100 m ditampilkan pada (Lampiran E). Saat musim barat temperatur Selat Makassar cenderung lebih hangat dibandingkan musim lainnya, dimana sisi selatan selat lebih hangat dibandingkan utara. Temperatur paling rendah terjadi saat musim timur. Lampiran F menampilkan distribusi spasial temperatur pada kedalaman 300 m. Berdasarkan analisis distribusi spasial pengaruh matahari sudah tidak tampak terhadap (a) (b) 29 temperatur pada kedalaman tersebut dan tampak bahwa sepanjang musim sisi selatan lebih dingin dibandingkan sisi utara Selat Makassar. Gambar IV.15 Temperatur pada kedalaman (a) 10 m, (b) 100 m, (c) 200 m, dan (d) 300 m sepanjang penampang A – B. Tahun T emperatur pada Kedalaman 10 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A 28 28.2 28.4 28.6 28.8 29 29.2 29.4 29.6 29.8 30 Tahun T emperatur pada Kedalaman 100 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A 22 23 24 25 26 27 28 Tahun T emperatur pada Kedalaman 200 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A 13 13.5 14 14.5 15 15.5 16 16.5 17 Tahun T emperatur pada Kedalaman 300 m Sepanjang Penampang A - B 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 B A 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 (a) (b) (c) (d) 30 Sebaran temperatur sepanjang penampang A – B (utara – selatan) Selat Makassar pada kedalaman 10 m, 100 m, 200 m, dan 300 m ditampilkan pada Gambar IV.15. Pada kedalaman 10 m temperatur menunjukkan sebaran yang bervariasi sepanjang selat, dimana terjadi kecenderungan peningkatan disekitar ekuator dan sisi selatan Selat Makassar. Peningkatan di sisi selatan selat terjadi saat awal dan akhir tahun. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur permukaan masih dipengaruhi oleh posisi matahari. Temperatur di kedalaman 100 m memiliki pola yang berbeda dengan permukaan, pola yang hampir sama sepanjang tahun menyebar dari sisi utara hingga selatan dan sisi selatan menunjukkan kecenderungan temperatur yang lebih hangat dibandingkan dengan utara. Sekitar tahun 2005, 2008, dan 2010 terdapat penurunan temperatur yang diduga merupakan efek dari El Nino yang mengakibatkan temperatur di barat Samudera Pasifik melemah sehingga massa air yang dibawa oleh Arlindo memiliki temperatur yang lebih rendah dari kondisi normal. Temperatur sisi selatan Selat Makassar di kedalaman 200 m dan 300 m cenderung lebih kecil. Temperatur di kedalaman 100 – 300 m menunjukkan adanya pengaruh Arlindo dengan melihat adanya pola yang hampir serupa sepanjang tahun penelitian, dan kecenderungan terjadi pelemahan temperatur yang terjadi dari utara hingga selatan. Meskipun demikian pada kedalaman 100 m sisi selatan Selat Makassar terjadi pelemahan temperatur. IV.4 Transpor Panas Selain dipengaruhi oleh temperatur, transpor panas juga dipengaruhi oleh transpor volume. Dikatakan oleh Sprintall dkk., (2014) bahwa transpor volume yang melewati setiap selat di Indonesia berperan penting dalam mentransfer panas.