8 BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Ekosistem Waduk Waduk merupakan danau buatan (man-made lake) yang dibangun dengan membendung aliran sungai atau daerah yang berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menjadi wahana dimana masyarakat dapat memanfaatkannya untuk budidaya ikan di perairan darat (Mulyadi & Atmaja, 2016). Waduk memiliki beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan sebagai lahan irigasi, PLTA, dan penyedia air baku. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 35 tahun 1991 pasal 15, pembangunan waduk yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum diselenggarakan oleh pemerintah atau badan usaha milik negara. Dilihat dari sudut pandang ekologi, waduk dan danau merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur air, kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi tinggi rendahnya muka air, sehingga kehadiran waduk dan danau akan mempengaruhi tinggi rendahnya muka air (Kutarga dkk. 2008). Fungsi waduk secara prinsip adalah menampung air saat debit tinggi untuk digunakan saat debit rendah. Waduk mempunyai tugas untuk memodifikasi distribusi air menurut alam, dan menciptakan distribusi air buatan. Kelayakan pembuatan waduk ditinjau dari berbagai aspek, baik kelayakan teknik, kelayakan ekonomi maupun sosial disamping itu harus punya kelayakan lingkungan (Sudjarwadi, 2008). Sumber daya air danau dan/atau waduk tersebut perlu dipelihara agar kualitasnya memenuhi baku mutu sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu air danau dan/atau waduk tersebut juga digunakan sebagai bahan acuan perhitungan daya tampung beban pencemaran airnya (Permen LH No 28, 2009). II.2 Beban Pencemaran Mengetahui jumlah atau ukuran muatan oksigen di dalam air dapat membantu menentukan tingkat pencemaran air di suatu badan air. Salah satu indeks tolak ukur tingkat pencemaran dari limbah yang masuk ke sistem perairan nilai yang bisa digunakan adalah BOD (Cahyaningsih dan Harsoyo, 2010). 9 Beban pencemar penuh merupakan kondisi pada saat telah dimasukkan pencemaran dari point source maupun diffuse source, sedangkan beban kondisi awal merupakan kondisi pada saat tidak ada pencemaran yang masuk (Irsanda, 2014). Bahan pencemar (polutan) merupakan bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan secara alami, misalnya akibaat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan fenomena alam yang lain. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik, kegiatan urban (perkotaan), maupn kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan cara aktivitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi, 2003). II.3 Kebutuhan Oksigen Biokomia (BOD) – Oksigen Terlarut (DO) Dalam Perairan Waduk BOD didefiniskan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri dalam stabilisasi dekomposisi zat organik dalam kondisi aerob. Kata dekomposisi dapat diartikan sebagai zat organik yang diberikan untuk bakteri sebagai makanannya dan energi yang berasal dari oksidasinya (Sawyer, 2003). Penguraian bahan organik terdiri dari dua tahap, yaitu penguraian bahan organik menjadi anorganik dan bahan anorganik tidak stabil, yang diubah menjadi bahan anorganik yang stabil, seperti amonia dioksidasi menjadi nitrit atau nitrat (nitrifikasi). Hanya fase degradasi pertama yang penting untuk menentukan nilai BOD, sedangkan oksidasi zat anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai pengotor. Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air). Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organik berlangsung cukup lama. Reaksi dekomposisi secara aerob dapat dilihat sebagai berikut (Sawyer, 2003): 10 á Ô Õ aEBJE Ô 8 F Õ 6 F 7 8 ?CE 6\ � 6E B Ô 6 F 7 6Ö C 6 E … 7 (II.1) : 56 ::q;Ex 6:e;\ x 6:e;E x 6 :j; (II.2) Pada perairan waduk, kadar DO berasal dari dua sembur yaitu dari udara dan fotosintesis organisme yang hidup di waduk. Menurut Vigil 2003 dalam Nisa (2019), kepekatan oksigen terlarut dalam air bergantung kepada; (1) suhu, (2) kehadiran tanaman fotosintesis, (3) tingkat penetrasi cahaya, (4) tingkat kederasan aliran air, dan (5) jumlah bahan organik yang diuraikan air. Kandungan oksigen terlarut pada badan air bervariasi terhadap waktu dan dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik, biologis, dan kimia seperti pH, temperatur, tekanan atmosfer, dan salinitas (Mwegoha dkk., 2011) Penurunan konsentrasi oksigen disebabkan oleh banyak faktor, faktor paling penting yang menimbulkan BOD ialah pembuangan limbah, dan BOD yang sudah ada di aliran hulu pembuangan limbah. DO dalam aliran pembuangan limbah biasanya lebih kecil dibandingkan yang ada dalam perairan. Faktor lain ialah polusi dari sumber bukan titik (non-point source), respirasi organisme yang hidup dalam sedimen, dan respirasi tumbuhan akuatik. Disamping itu, konsentrasi oksigen terlarut yang turun drastis dalam suatu perairan menunjukkan terjadinya penguraian zat-zat organik. Dampak nilai DO terhadap ekosistem ditunjukkan oleh Tabel II.1. Tabel II. 1 Dampak DO terhadap Perairan (Cary Institute of Ecosystem Studies ,2013) DO (mg/L) Kondisi Perairan 0 – 2 Tidak cukup oksigen untuk mendukung kehidupan sebagian besar hewan 2 – 4 Hanya sedikit jenis ikan dan serangga yang dapat bertahan 4 – 7 Baik untuk sebagian besar jenis hewan kolam 7 -11 Sangat baik untuk sebagian besar ikan di air mengalir Saturasi di bawah 60% Kualitas buruk 11 DO (mg/L) Kondisi Perairan Saturasi 60 – 79% Dapat diterima oleh sebagian besar hewan pada air mengalir Saturasi 80 – 125% Sangat baik untuk sebagian besar hewan pada air mengalir Saturasi lebih dari 125% Terlalu tinggi Model paling sederhana untuk mendeskripsikan perubahan BOD dalam sungai terhadap jarak ialah model Streeter-Phelps (1925). Asumsi yang digunakan dalam model ini meliputi: (1) Saat air mengalir tidak ada dispersi polutan; dan (2) Pada arah horizontal, air tercampur dengan sempurna. Pada model ini perairan dilihat sebagai control volume sehingga jika digambarkan secara tiga dimensi akan seperti sebuah kotak-kotak. Asumsi pertama berarti bentuk kotak tersebut tidak akan berubah sepanjang aliran, dan setiap penampang melintangnya bergerak satu kesatuan. Asumsi kedua artinya pada setiap daerah di dalam kotak diasumsikan konsentrasi materinya sama. Dinamika BOD-DO pada perairan merupakan sistem yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai proses yaitu fisika, kimia, dan biologis (Novia & Febrina, 2018). Menurut Mwegoha dkk. (2011) hal yang memengaruhi nilai DO yaitu dengan adanya proses reaerasi, fotosintesis, respirasi, dan biodegradasi bahan organik. Berdasarkan Feng dkk. (2012) kesetimbangan oksigen di dalam suatu perairan dapat digambarkan melalui persamaan berikut: ba br L ” ‡ ‘ � • ‹ ‰ ‡ � ƒ • ‹ F † ‡ ‘ � • ‹ ‰ ‡ � ƒ • ‹ (II.3) C merupakan konsentrasi oksigen terlarut dengan t adalah waktu, sedangkan reoksigenasi dan deoksigenasi merupakan proses utama yang terjadi dimana memengaruhi kesetimbangan oksigen dalam suatu perairan. Sumber oksigen terlarut atau disebut juga dengan reoksigenasi dapat bersumber dari proses reaerasi atmosfer, fotosintesis dan oksigen terlarut. Sedangkan deoksigenasi mendeskripsikan penurunan nilai oksigen yang telah dipaparkan sebelumnya (Thomman dan Mueller, 1987). Proses deoksigenasi di waduk umumnya 12 diakibatkan karena kebutuhan oksigen oleh bahan organik di sedimen (Bryant dan Matzinger, 2012) dan juga kebutuhan oksigen yang digunakan untuk pertumbuhan alga serta tumbuhan air lainnya hidup di perairan waduk. II.3.1 Reoksigenasi Hampir 90-95% oksigen yang masuk ke perairan kolam (waduk maupun danau) melalui proses fotosintesis kemudian oleh difusi dari udara, dan yang paling kecil oleh aliran air yang memasuki badan perairan. Dalam mengatur konsentrasi oksigen terlarut di perairan tergenang yang berperan penting yaitu proses fotosintesis dibandingkan dengan proses fisika (Prasad dkk. 2014). Selain itu, proses yang juga menambah kadar oksigen terlarut dalam perairan yaitu proses reaerasi. Reaerasi merupakan proses dimana terjadi pertukaran oksigen antara atmosfir dengan permukaan badan air yang berkontak dengan atmosfir. Transfer oksigen biasanya terjadi dari atmosfer ke dalam air, karena nilai oksigen terlarut di dalam perairan alami pada umumnya berada di bawah kondisi jenuh (Mwegoha dkk. 2011), 1. Fotosintesis Faktor yang bisa mengontrol kecepatan proses fotosintesis dan konsentrasi oksigen terlarut di perairan meliputi suhu, cahaya, konsentrasi nutrien, spesies dari fitoplankton yang hidup di perairan, kelimpahan plankton, turbulensi, dan faktor lainnya. Pada lapisan permukaan hingga perairan kolam, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kelimpahan plankton (Nisa, 2019). Dalam proses fotosintesis, fitoplankton memanfaatkan energi sinar matahari untuk mensintesis oksigen dan karbohidrat untuk pertumbuhan. Pada proses ini, cahaya diserap oleh klorofil, energi berubah menjadi air dan oksigen dihasilkan seperti reaksi berikut: x 6Est 6 E … ƒ Š ƒ › ƒ � ƒ – ƒ Š ƒ ” ‹ \ : 56 : E x 6 E x 6 (II.4) Secara umum, variasi suhu, DO, dan produktivitas fitoplankton berkorelasi dengan variasi pH di perairan pantai atau perairan terbatas (laguna, kolam garam, tanggul, dll.) yang menerima masukan manusia seperti limbah cair atau limpasan pertanian, 13 keadaan pH tinggi, produksi fitoplankton tinggi, dan kadar oksigen rendah adalah tipikal sistem yang sarat nutrisi. 2. Reaerasi Transfer oksigen dari atmosfer ke perairan dapat disebut dengan reaerasi. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan koefisien reaerasi. Reaerasi juga akan bervariasi sesuai kecepatan angin. Difusi oksigen dari udara bebas terjadi ketika berlangsung kontak antara campuran gas di atmosfer dengan perairan, dengan syarat air berada dalam keadaan undersaturated. Oksigen bawaan yang masuk ke dalam badan perairan dapat terjadi karena adanya inflow (Venkiteswaran dkk. 2007). Koefisien reaerasi sangat bergantung pada karakteristik fisik perairan. Tipikal koefisien reaerasi berada dalam kisaran 0,1 sampai dengan 10 hari -1 atau lebih besar dan memiliki laju yang lebih besar dibandingkan dengan koefisien laju penguraian BOD (United States-Environmental Protection Agency, 1983). II.3.2 Deoksigenasi Proses deoksigenasi dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik di perairan. BOD menggambarkan jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme dalam dekomposisi bahan organik sehingga BOD dapat menunjukkan jumlah bahan organik yang mudah urai (biodegradable organics) dalam perairan (Jane dkk. 2021). Berdasarkan Chapra (1997), dekomposisi bahan organic dapat dijelaskan menggunakan persamaan berikut: bS br L F � (II.5) Keterangan: k = laju dekomposisi L = jumlah bahan organik Terdapat beberapa model yang mengatakan bahwa k d sama dengan konstanta k, yang merupakan konstanta laju yang didapat dalam pengujian BOD. Bergantungnya nilai k d terhadap temperatur maka perlu adanya koreksi k terhadap 14 temperatur. Tetapi, nilai kd = k masih bisa diasumsikan jika alirannya dalam dan lambat, maka tidak perlu ada koreksi suhu (Davis dan Mansten, 2004). II.3.3 Kebutuhan Oksigen Sedimen (SOD) Tingkat di mana oksigen terlarut ditarik dari kolom air di permukaan air dikenal sebagai Kebutuhan Oksigen Sedimen (SOD). Proses ini terutama disebabkan oleh respirasi spesies bentik dan pemecahan bahan organik di sedimen atau dasar perairan. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa SOD, terutama di perairan dangkal dan bergerak lambat, dapat berkontribusi 30 hingga 90% dari total asupan oksigen (Belo dan Gaspillo, 2009). II.4 Pengendalian Kualitas Air Waduk Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pengendalian kualitas air, antara lain jumlah penduduk di sekitar daerah tangkapan air (DTA) waduk, bagaimana penggunaan lahan, dan kebiasaan masyarakat sehari-harinya. Menghitung beban polutan menjadi isu penting yang diperlukan untuk membangun rencana pengelolaan target kualitas air dan pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan untuk lebih meningkatkan kualitas air dan kesehatan perairan (Yan dkk. 2019). Dalam pencemar yang masuk ke perairan waduk sendiri berasal dari berbagai sumber yang bersifat dinamis dan berlangsung dalam waktu yang lama (Maharani dkk. 2008). Berdasarkan penelitan Supardiono dkk. (2021) pada studi kasus di Waduk Batujai menyatakan bahwa pencemaran pada air waduk diakibatkan dari berbagai sumber yang masuk, mempunyai sifat dinamis, dan terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Dalam penelitian ini menyatakan, guna mencapai tujuan pengendalian pencemaran air Waduk Batujai hal yang harus menjadi perhatian untuk kebutuhan program yaitu adanya anggaran dan perbaikan sarana sanitasi dan IPAL sebagai kebutuhan program prioritas dalam upaya pengendalian pencemaran air Waduk Batujai. Selain itu, terwujudnya tata kelola sampah masyarakat dan otimalisasi terhadap sumber daya manusia atau partisipasi masyarakat dengan membina kelembagaan lingkungan adat dan pembuatan regulasi yang berpihak pada 15 keberlajutan lingkungan hidup menjadi modal utama dalam pengendalian pencemaran air Waduk Batujai. II.5 Pemodelan Sistem Dinamik (SD) Pemodelan (modeling) adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu. Model adalah abstraksi dari sebuah sistem. Sistem sendiri adalah sesuatu yang terdapat di dunia nyata (real world), sehingga pemodelan merupakan kegiatan membawa sebuah dunia nyata kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya (Purnomo, 2005). Penggunaan model dalam analisis ekologi sangat menguntungkan dan merupakan alat analisis ilmiah (Jorgensen, 1986) karena: 1. Model sangat berguna sebagai instrumen dalam survey untuk sistem yang kompleks. 2. Model dapat digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat sistem. 3. Keluaran dari model dapat mengatasi kelemahan pengetahuan sehingga dapat digunakan untuk menentukan proritas dalam kegiatan penelitian. 4. Model sangat berguna untuk menguji hipotesa ilmiah, karena model dapat mensimulasikan reaksi ekosistem, yang dibandingkan dengan data hasil pengamatan. Tujuan penerapan metode dinamika sistem adalah untuk memperoleh gambaran tentang pengoperasian sistem. Masalah yang terjadi dalam sistem tidak dilihat sebagai sebab atau akibat eksternal, tetapi disebabkan oleh struktur internal sistem. Fokus utama dari metode sistem dinamik adalah memahami sistem sehingga langkah-langkah pemecahan masalah memberikan umpan balik kepada sistem (Shusil, 1992). Tahapan pemodelan dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap (Kholil, 2005), yaitu: 1. Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan.