1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Dalam seratus tahun terakhir, kenaikan pemanasan temperatur udara rata-rata global sebesar 1,1 °C berpeluang mencapai 1,5 °C dalam dua dekade mendatang antara tahun 2030 dan 2052. Penyebab utama pemanasan global, yakni emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia (antropogenik) yang terus meningkat setiap tahunnya (IPCC, 2018). Peningkatan temperatur ini dialami oleh sejumlah wilayah di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Tren pemanasan suhu permukaan laut (SPL) di perairan Indonesia dalam kurun waktu 33 tahun (1982–2014) mencapai 0,19±0,04 °C/dekade melebihi tren rata-rata pemanasan SPL global (Iskandar dkk., 2020). Wilayah perairan yang memiliki SPL semakin hangat cenderung rentan terhadap kejadian ekstrem, seperti badai (siklon) tropis (Kuleshov dkk., 2008; Oliver dkk., 2017 dan 2018a). SPL hangat dapat menjadi bahan bakar terbentuknya siklon tropis (Demaria dan Kaplan, 1994) dan mampu meningkatkan temperatur udara dan kandungan uap air, sehingga menghasilkan curah hujan lebih intens bahkan menyebabkan bencana banjir (Behrens dkk., 2019). Kejadian ini diproyeksikan akan menjadi lebih sering dan intens, khususnya terkait dengan pemanasan global (Kuleshov dkk., 2008). Selain dampak kenaikan SPL terhadap kenaikan intensitas siklon, fenomena lainnya adalah kejadian gelombang panas laut (marine heatwaves/MHWs). MHWs dikategorikan sebagai suatu fenomena terjadinya anomali air hangat yang ekstrem (>90 persentil) di suatu perairan dalam durasi paling tidak selama lima hari berturut-turut (Hobday dkk., 2016). Secara global, jumlah hari MHWs tahunan meningkat ≥50% dari tahun 1925–2016 (Oliver dkk., 2018a). MHWs berpeluang mengalami peningkatan hampir di seluruh lautan dunia akibat pemanasan global antropogenik dan hal ini diproyeksikan terjadi hingga tahun 2100 terlepas dari variasi emisi yang diskenariokan (Frölicher dkk., 2018). 2 MHWs memiliki dampak signifikan terhadap perubahan dinamika laut dan atmosfer (Heidemann dan Ribbe, 2019; Behrens dkk., 2019; Feng dan Shinoda, 2019; Fewings dan Brown, 2019; Gawarkiewicz dkk., 2019), serta memberikan pengaruh terhadap keberadaan ekosistem laut (Fordyce dkk., 2019; Straub dkk., 2019; Kendrick dkk., 2019; Thomsen dkk., 2019; Smith dkk., 2019) dan akuakultur (Oliver dkk., 2017). MHWs juga berperan sebagai kontributor penting dalam peningkatan intensitas badai, bahkan keberadaannya dapat memperkuat kejadian badai ekstrem seperti hurricanes (Dzwonkowski dkk., 2020). Dalam dinamika laut, MHWs juga berdampak terhadap menguatnya stratifikasi massa air, sehingga menyebabkan pelemahan proses percampuran dan kekuatan upwelling. Hal ini selanjutnya berdampak pada menurunnya distribusi nutrien, fitoplankton, dan zooplankton ke permukaan (Doney, 2006), dan pada akhirnya dapat menyebabkan pengurangan sumber daya perikanan (Mills dkk., 2013; Caputi dkk., 2016). Kajian mendalam mengenai dampak MHWs terhadap variabilitas upwelling, terutama di perairan Indonesia masih belum diketahui hingga saat ini dan menjadi kebutuhan urgen dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia, khususnya dalam sektor perikanan. Penelitian MHWs di berbagai belahan dunia sudah banyak dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan di perairan Indonesia kajian MHWs relatif baru dan secara spasial masih sangat terbatas (a.l., barat Sumatra dan selatan Jawa). Selain itu, penelitian MHWs tersebut dikaji tanpa membedakan fase hangat dan dingin Pacific Decadal Oscillation (PDO). Hal ini dapat terlihat pada beberapa kajian MHWs, seperti penelitian karakteristik MHWs global dalam jangka waktu 35 tahun selama 1982–2016 (Holbrook dkk., 2019) yang dikaji tanpa membedakan fase hangat dan dingin PDO. Demikian pula penelitian MHWs di barat Sumatra (1982–2018) dan selatan Jawa (1982–2019) belum membedakan fase hangat dan dingin PDO (Ismail, 2021; Iskandar dkk., 2021). Penelitian tren kenaikan SPL di Indonesia dalam kurun waktu 33 tahun selama 1982–2014 (Iskandar dkk., 2020) juga tidak membedakan antara kedua fase PDO tersebut. Informasi yang komprehensif mengenai karakteristik MHWs di perairan Indonesia yang dibedakan berdasarkan fluktuasi pola indeks PDO yang terjadi pada periode 22–30 tahunan 3 (Yao dkk., 2018) serta mekanisme yang mendasari pembentukan MHWs masih belum diketahui hingga saat ini, sehingga menjadi kebutuhan yang penting untuk memiliki pemahaman yang mendalam mengenai hal tersebut sebagai upaya mitigasi untuk menghadapi bencana MHWs di perairan Indonesia akibat adanya perubahan iklim yang terus berlangsung hingga saat ini. Gambar I.1 Indeks PDO tahunan (1901–2021). Garis hitam menunjukkan indeks PDO moving average sembilan tahun berdasarkan Yao dkk., 2018. Berdasarkan pembahasan latar belakang pentingnya kajian MHWs secara komprehensif yang telah disampaikan di atas, maka pada penelitian ini akan diidentifikasi karakteristik MHWs (frekuensi, intensitas, dan durasi kejadian) di perairan Indonesia selama 40 tahun (1982–2021) yang meliputi fase hangat (1982– 2007) dan dingin PDO (2008–2021) yang ditandai dengan adanya regime shift pada tahun 2007–2008 (Gambar I.1). Dalam penelitian ini, akan dikaji juga mekanisme yang mendasari pembentukan MHWs, meliputi local forcing (heat budget di lapisan percampuran permukaan) dan remote forcing (variabilitas iklim skala regional dan global). Pada tahap akhir, dampak MHWs terhadap variabilitas upwelling di perairan Indonesia juga akan diidentifikasi. 4 I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah penelitian ini dirumuskan dengan bentuk pertanyaan riset, yaitu: 1. Bagaimana karakteristik MHWs (frekuensi, intensitas, dan durasi kejadian) di perairan Indonesia selama 40 tahun (1982–2021) saat fase hangat (1982– 2007) dan dingin PDO (2008–2021). Perumusan masalah nomor 1 dikaji dalam penelitian Seminar Kemajuan I. 2. Seberapa besar kontribusi remote forcing (variabilitas iklim skala global) terhadap pembentukan MHWs di perairan Indonesia pada kedua fase PDO tersebut. Perumusan masalah nomor 2 dikaji dalam penelitian Seminar Kemajuan II. 3. Seberapa besar kontribusi local forcing (net air-sea heat flux, adveksi horizontal, entrainment, dan proses mixing) dalam mempengaruhi heat budget di lapisan percampuran permukaan terhadap pembentukan MHWs di perairan Indonesia. Perumusan masalah nomor 3 dikaji dalam penelitian Seminar Kemajuan III. 4. Bagaimana dampak MHWs terhadap variabilitas upwelling di perairan Indonesia (studi kasus: Selatan Jawa) selama periode 40 tahun tersebut. Perumusan masalah nomor 4 dikaji dalam penelitian Seminar Kemajuan IV. I.3 Tujuan Tujuan dari penelitian riset disertasi ini adalah sebagai berikut: 1.