Hasil Ringkasan
265 Bab VII Kesimpulan dan Saran VII.1 Kesimpulan Pengembangan Alkali Activated Material (AAM) ini dilakukan untuk mendapatkan material infrastruktur yang ramah lingkungan dalam rangka penyediaan material alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti 100% material berbahan semen p ortland. Hal ini disebabkan semen portland memiliki beberapa kelemahan/kekurangan yaitu : (1) kurang ramah lingkungan, (2) rentan terhadap masalah durabilitas, (3) tidak efisien dalam penggunakan material dasar dan (4) konsumsi energi yang besar. Selain itu, penggunaan material limbah/buangan padat (solid waste) yang berasal dari industri metalurgi, pembangkit listrik dan pertambangan yang lebih banyak dibandingkan penggunaan material berbahan dasar semen p ortland telah dijadikan fokus penelitian ini dan menjadikan material AAM ini lebih ramah lingkungan. Faktor durabilitas material AAM yang lebih superior dibandingkan durabilitas material berbahan dasar semen portland semakin melengkapi fakta bahwa material AAM ini lebih ramah lingkungan dibanding material berbahan semen portland tersebut. Hal ini tentunya akan membantu pemerintah Indonesia dalam penyediaan material infrastruktur yang berkelanjutan dan penanganan limbah padat (solid waste) yang diprediksi semakin banyak jumlahnya di masa yang akan datang. Berdasarkan kajian dan hasil analisis yang dilakukan pada penelitian ini maka dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Material dasar yang kaya silika-alumina yang dapat dijadikan sebagai precursor pembuatan AAM harus memiliki karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik utama material dasar yang sangat mempengaruhi/menentukan pembentukan AAM adalah : (1) kondisi amorphous, (2) komposisi oxida, (3) kehalusan dan (4) bentuk butiran partikel material dasar. 2. Berdasarkan karakteristik makroskopik AAM yang dihasilkan (berdasarkan kuat tekan, waktu ikat dan konsistensi/workability), material dasar yang paling baik digunakan sebagai precursor AAM dari berbagai material dasar yang 266 dikaji dalam penelitian ini adalah fly ash Kelas F, fly ash Kelas C dan metakaolin. Namun begitu, AAM metakaolin membutuhkan larutan alkali activator yang lebih banyak dibandingkan dengan AAM fly ash (jumlah larutan alkali aktivator pada AAM metakaolin berkisar 2 hingga 4 kali jumlah larutan alkali aktivator pada AAM fly ash). Hal ini dikarenakan kehalusan butiran metakaolin lebih besar dibandingkan kehalusan butiran fly ash. Selain itu, hal tersebut disebabkan juga oleh bentuk butiran metakaolin yang berbentuk pelat/lempengan sedangkan butiran fly ash berbentuk spherical. Untuk rentang molaritas NaOH, rasio berat Natrium Silikat/NaOH, dan suhu curing yang sama, kuat tekan AAM berbahan dasar fly ash selalu lebih tinggi dibandingkan kuat tekan AAM berbahan dasar metakaolin. Berdasarkan hal ini, penggunaan material AAM fly ash dapat diterapkan pada elemen struktur sedangkan material AAM metakolin direkomendasikan untuk digunakan pada elemen arsitektural/non -struktural. 3. Kandungan CaO pada material dasar fly ash sangat mempengaruhi kuat tekan dan waktu ikat pasta AAM fly ash pada suhu curing yang diberikan. Dry curing pada suhu 80 O C selama 24 jam sangat signifikan meningkatkan kekuatan dan waktu ikat AAM fly ash Kelas F (CaO 6%). Sedangkan pada AAM fly ash Kelas C (CaO 15,85%), pengaruh dry curing tersebut tidak signifikan meningkatkan kekuatan dan waktu ikat. Sementara, pada ambient curing, kuat tekan AAM fly ash Kelas C (CaO 15,85%) selalu lebih besar dibandingkan dengan kuat tekan AAM fly ash Kelas F (CaO 6%).