40 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Profil Konsentrasi PM2.5 Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik data melalui ringkasan sederhana dari beberapa parameter yang dihitung. Statistik deskriptif konsentrasi PM 2.5 dari pemantauan di 7 lokasi selama periode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel IV.1. Secara keseluruhan, rata-rata konsentrasi PM 2.5 berdasarkan lokasi pemantauan berkisar antara 34.31 - 50.99 μg/m 3 . Urutan lokasi dengan konsentrasi rata-rata yang lebih tinggi yaitu daerah Lubang Buaya (S4), Hang Jebat (S7), Jagakarsa (S3), Kebun Jeruk (S5), Bundaran HI (S1), Kelapa Gading (S2), Patung Tani (S6). Terlihat bahwa wilayah Jakarta bagian timur dan selatan memiliki konsentrasi PM 2.5 yang cenderung lebih tinggi daripada wilayah pusat dan utara. Daerah Lubang Buaya (S4) memiliki tingkat pencemaran PM 2.5 tertinggi kemungkinan karena daerah tersebut merupakan salah satu area yang dilewati pekerja dari Kota Bekasi ke Jakarta yang mayoritas menggunakan kendaraan pribadi yaitu sepeda motor, ditambah dengan aktivitas domestik dari pemukiman yang cukup dekat dengan lokasi stasiun pemantauan. Koefisien variasi (CV) menunjukkan fluktuasi yang signifikan pada konsentrasi PM 2.5 di semua lokasi pemantauan. Fluktuasi yang signifikan ini mengindikasikan pengaruh berbagai sumber PM 2.5 (Ibe dkk., 2020). Namun, penilaian komprehensif terhadap kontribusi sumber PM 2.5 di masing-masing kota administrasi DKI Jakarta memerlukan lebih banyak data dan penelitian lanjutan. Statistik deskriptif data konsentrasi PM 2.5 pada tahun yang berbeda ditampilkan pada Tabel IV.2 dan divisualisasikan pada Gambar IV.1. Secara keseluruhan, konsentrasi PM 2.5 rata-rata per tahun berkisar antara 35.04 - 47.47 μg/m 3 . Dibandingkan dengan baku mutu udara ambien PM 2.5 tahunan sebesar 15 μg/m 3 , konsentrasi PM2.5 di DKI Jakarta pada tahun 2019 mencapai 3x lipat dari standar yang ditetapkan. Pada tahun 2020 s.d 2022 diamati terjadi penurunan rata-rata konsentrasi PM 2.5 Jakarta. Penurunan konsentrasi yang signifikan sebesar 17.6% terjadi di tahun 2020. Penurunan konsentrasi PM 2.5 tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, pembatasan mobilitas warga pada masa pandemi Covid-19 kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan turunnya konsentrasi PM 2.5. Hal serupa diamati pada 44 kota di Tiongkok Utara (Bao dan Zhang, 41 2020), dimana terdapat penurunan konsentrasi PM 2.5 sekitar 5.93% dampak dari pembatasan mobilisasi warga. Secara annual, konsentrasi PM 2.5 mengalami penurunan sekitar 3.09% pada tahun 2020 dan penurunan sekitar 24.53% selama periode lockdown (Y. Zhang dkk., 2023). Pada tahun 2023, konsentrasi PM 2.5 di Jakarta mengalami peningkatan secara annual sekitar 8.6% setelah mengalami penurunan selama tiga tahun berturut-turut (2020- 2022). Berkurangnya curah hujan akibat dari fenomena ENSO dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsentrasi rata-rata PM 2.5 di tahun 2023. Selain itu, perubahan beban emisi antropogenik yang terdapat di Jakarta dan wilayah sekitarnya setelah masa pandemi Covid-19 diduga dapat mempengaruhi konsentrasi PM 2.5 di udara ambien. Gambar IV.1 Konsentrasi PM 2.5 rata-rata tahunan Distribusi konsentrasi PM 2.5 di setiap lokasi per tahun ditampilkan pada Gambar IV.2. Konsentrasi rata-rata tahunan untuk masing-masing lokasi pada tahun 2019-2023 berkisar antara 31.75 - 52.59 μg/m 3 . Konsentrasi rata-rata tahunan paling rendah selama 5 tahun terakhir terpantau di Bundaran HI (S1) tahun 2022, sementara konsentrasi rata- rata tahunan tertinggi terpantau di daerah Hang Jebat (S7) tahun 2019. Seluruh lokasi memiliki rata-rata tertinggi pada tahun 2019, sementara Lubang Buaya (S4) dan Kebun Jeruk (S5) yang mulai beroperasi penuh di tahun 2020 memiliki konsentrasi rata-rata tertinggi di tahun 2023 dan 2020. Konsentrasi rata-rata tertinggi di tahun 2019 terdapat di Hang Jebat (S7), sementara tahun 2020 s.d 2023 konsentrasi tertinggi tiap tahunnya terjadi di daerah Lubang Buaya (S4). 42 Tabel IV.1 Statistik deskriptif konsentrasi PM 2.5 pada masing-masing lokasi Variable Site ID Mean StDev Variance CoefVar Minimum Q1 Median Q3 Maximum Skewness Kurtosis Konsentrasi PM 2.5 per Jam S1 37.42 21.83 476.48 58.34 0.01 21.40 34.44 49.72 312.01 1.29 5.13 S2 36.77 22.92 525.44 62.33 0.03 19.80 32.92 48.87 269.26 1.40 4.46 S3 40.01 23.28 542.10 58.20 0.01 23.37 36.66 52.40 277.63 1.23 3.42 S4 50.99 33.26 1106.12 65.23 0.66 27.87 44.80 65.75 340.26 1.83 6.66 S5 40.01 23.50 552.42 58.74 0.28 23.63 35.97 50.97 243.55 1.47 3.85 S6 34.31 20.66 426.94 60.23 1.00 18.00 31.00 46.00 228.00 1.01 1.53 S7 40.45 23.53 553.78 58.18 1.00 23.00 37.00 54.00 204.00 0.96 1.37 Tabel IV.2 Statistik deskriptif konsentrasi PM 2.5 pada tahun yang berbeda Variable Tahun Mean StDev Variance CoefVar Minimum Q1 Median Q3 Maximum Skewness Kurtosis Konsentrasi PM 2.5 per Jam 2019 47.47 25.32 640.92 53.33 0.22 29.07 45.00 62.00 277.63 0.99 2.66 2020 39.12 25.37 643.84 64.86 0.01 21.42 34.55 50.83 286.98 1.71 5.81 2021 37.49 23.19 537.64 61.86 0.20 20.75 33.78 49.05 340.26 1.64 6.73 2022 35.04 22.49 505.61 64.17 0.02 19.00 30.98 46.00 304.62 1.63 5.94 2023 37.96 23.15 535.95 60.98 0.04 21.00 35.00 50.30 329.91 1.97 12.87 Gambar IV.2 Boxplot konsentrasi PM 2.5 pada masing-masing stasiun dan tahun yang berbeda WDîXñURPlu ï 43 Gambar IV.3 menunjukkan sebaran konsentrasi rata-rata harian PM2.5 dari tahun 2019- 2023 di 7 lokasi pemantauan DKI Jakarta. Garis putus-putus berwarna merah merupakan baku mutu PM 2.5 harian sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 yaitu sebesar 55 μg/m 3 . Dapat diamati bahwa terdapat konsentrasi rata-rata harian yang melebihi baku mutu terutama pada bulan-bulan pertengahan tahun. Sementara konsentrasi rata-rata harian pada awal dan akhir tahun cenderung lebih rendah. Gambar VI.3 Konsentrasi rata-rata 24 jam PM 2.5 di 7 lokasi pemantauan tahun 2019 s.d 2023 Data konsentrasi rata-rata harian PM 2.5 pada masing-masing stasiun dalam bentuk boxplot ditampilkan pada Lampiran A. Dapat diamati bahwa rata-rata harian PM 2.5 memiliki distribusi yang cukup panjang dan terdapat outlier sebagian besar berada di bagian atas boxplot. Kecenderungan konsentrasi rata-rata PM 2.5 di seluruh lokasi lebih rendah di bulan Desember-Januari-Februari, dan lebih tinggi di bulan Juni-Agustus dengan pola hampir sama setiap tahunnya. Analisis lebih lanjut terkait pola musiman akan dijelaskan pada variasi bulanan PM 2.5. Distribusi konsentrasi rata-rata harian PM 2.5 pada masing-masing lokasi dalam bentuk histogram ditampilkan pada Lampiran B. Seluruh lokasi memiliki kurva yang miring ke kiri (positive skewness) karena terdapat outliers dengan nilai yang tinggi. Pada bentuk kurva yang miring ke kiri, nilai mean lebih besar daripada nilai median karena mean terdorong ke arah outliers. Dapat dilihat pada lampiran B bahwa distribusi data berkumpul di tengah, namun belum terdistribusi normal. Konsentrasi PM 2.5 (μg/m 3 ) 44 IV.2 Variasi Temporal Konsentrasi PM2.5 IV.2.1 Variasi Diurnal Pola harian konsentrasi PM 2.5 digunakan untuk melihat kecenderungan konsentasi PM2.5 selama siklus harian. Gambar IV.4 menampilkan pola diurnal konsentrasi PM 2.5 pada masing-masing stasiun. Pola yang hampir sama di sebagian besar lokasi pemantauan menunjukkan bahwa konsentrasi PM 2.5 cenderung lebih tinggi pada dini hari hingga sekitar pukul 09:00 pagi, kemudian menurun pada siang hari dan kembali meningkat menjelang malam hari. Pola ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana konsentrasi PM 2.5 meningkat pada malam hari yang disebabkan oleh pembentukan lapisan inversi (Kusumaningtyas dkk., 2021). Lapisan inversi ini ditandai dengan kondisi atmosfer yang stabil, menghambat dispersi polutan sehingga polutan di permukaan tidak dapat bergerak secara vertikal. Saat suhu udara meningkat sekitar pukul 10:00-11:00 pagi, lapisan inversi terpecahkan oleh radiasi sinar matahari hari sehingga polutan dapat didistribusikan (Zeng dkk., 2020). Pada siang hingga sore hari, suhu udara lebih tinggi menyebabkan massa udara dipanaskan sehingga menjadi ringan memicu terjadinya distribusi pencemar secara vertikal (Hutauruk dkk., 2020), selain itu kecepatan angin yang lebih tinggi dan ketinggian lapisan pencampuran yang lebih tinggi menyebabkan penurunan konsentrasi PM 2.5 hingga sore hari (Zhao dkk., 2018). Namun, ketika suhu permukaan turun setelah matahari terbenam, lapisan inversi terbentuk yang membatasi difusi polutan ditambah dengan jam sibuk lalu lintas malam hari menyebabkan konsentrasi PM 2.5 naik kembali dengan cepat (Liu dkk., 2023). Oleh karena itu, konsentrasi PM 2.5 yang rendah tidak berlangsung lama setelah matahari terbenam. Pada gambar IV.4 diamati pola yang sedikit berbeda pada daerah Bundaran HI (S1), konsentrasi yang cenderung lebih tinggi terjadi pada siang hari yaitu pukul 13:00. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik wilayah tersebut yang merupakan lokasi padat lalu lintas dan dikelilingi banyak gedung tinggi yang cenderung dapat memperlambat penguraian pencemar. Keberadaan gedung-gedung tinggi dapat mempengaruhi aliran udara sekitar dan memperlambat penyebaran partikulat di permukaan dengan membentuk “dead zone” akibat akumulasi pencemar udara (Aristodemou dkk., 2018; Yu, 2023).