1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi digital menjadikan gawai elektronik pengolah data dan informasi berupa ponsel pintar, tablet, laptop, hingga komputer sebagai “daily driver” dalam berbagai aktivitas harian manusia. Kegiatan sehari-hari manusia mencakup komunikasi, akses informasi, produktif, transaksi, hingga hiburan telah banyak ditunjang oleh teknologi gawai elektronik bersama dengan teknologi aplikasi perangkat lunak serta konektivitas jaringan. Kinerja dari gawai elektronik tersebut sangat ditentukan oleh komponen prosesor sebagai pusat pengolah data digital. Di sisi lain, pesatnya inovasi di berbagai aspek gawai elektronik, seperti inovasi kamera dan sensor di sisi perangkat keras, teknologi artificial intelligent (AI) dan virtual reality (VR) di sisi perangkat lunak, serta hadirnya teknologi 5G sebagai inovasi konektivitas jaringan, menuntut performa prosesor yang semakin tinggi untuk dapat memproses data yang banyak dan besar dengan kinerja pemrosesan yang cepat. Semenjak tahun 1960, komponen prosesor menggunakan teknologi transistor logika berbasis Si CMOS (complementary metal-oxide semiconductor) yang diintegrasikan dalam IC (integrated circuit). Selama lebih dari lima dekade, performa prosesor IC secara konsisten ditingkatkan dengan memperkecil ukuran geometri (geometrical scaling) komponen transistor logika. Dengan ukuran transistor yang semakin kecil, maka jumlah transistor yang terintegrasi dalam IC menjadi lebih banyak dan sebagai konsekuensinya akan meningkatkan performa prosesor. Jumlah transistor yang terintegrasi dalam prosesor IC diprediksi akan berlipat ganda setiap dua tahun yang dikenal sebagai hukum Moore dalam industri teknologi semikonduktor (Waldrop, 2016). Akan tetapi memperkecil ukuran geometri dari transistor semakin lama akan menemukan batas kendala ukuran yaitu hadirnya kebocoran arus melalui efek terobosan dan prinsip ketidakpastian kuantum (Cavin dkk., 2012). Kebocoran arus ini juga dapat menghasilkan daya disipasi panas yang dapat meningkatkan standby power dan menurunkan performa prosesor. Dengan mulai terdeviasinya tren pengembangan prosesor IC dari hukum Moore, pada tahun 2005 semiconductor industry association (SIA) mulai menyusun dokumen International Technology Roadmap for Semiconductors (ITRS) yang menghasilkan 2 tiga peta jalan baru pengembangan teknologi prosesor IC yaitu “More Moore”, “More than Moore” dan “Beyond CMOS” (Semiconductor Industry Association, 2005). Peta jalan “More Moore” merupakan upaya keberlanjutan dalam pengembangan prosesor IC untuk dapat tetap mengikuti hukum Moore dengan cara memperkecil ukuran transistor dan meningkatkan jumlah komponen untuk setiap IC agar meningkatkan performanya. Pengecilan ukuran transistor dilakukan dengan memperkecil ukuran dimensi horizontal dan disertai penambahan fenomena fisika baru yang disebut sebagai equivalent scaling. Rute equivalent scaling menghasilkan geometri dan efek fisika baru dalam transisor, salah satu contohnya yaitu teknologi geometri transistor FinFET, dan Gate All Around (GAA) FET. Teknologi prosesor yang ada saat ini telah mengadaptasi tipe transistor FinFET dan pengembangan di masa yang akan datang menggunakan tipe GAAFET. Rute lain pengembangan teknologi prosesor IC yaitu peta jalan “More than Moore” dengan menambahkan fungsionalitas pada teknologi Si CMOS seperti memanfaatkan material semikonduktor 2D non-silikon dan integrasi dengan komponen non-digital seperti sensor dan aktuator untuk mewujudkan sistem elektronik pintar di masa depan. Sebagai alternatif lain, peta jalan “Beyond CMOS” dikembangkan melalui eksplorasi konsep baru dari paradigma komputasi di antaranya komputasi neuromorphic, integrasi fotonik dalam IC (photonic computing), komputasi kuantum, dan teknologi spintronika (Zhu dkk., 2023). Prosesor konvensional menggunakan sirkuit logika digital biner dengan memanfaatkan aliran muatan dari elektron. Digit biner atau bit “1” dan “0” sebagai pembawa informasi logika direpresentasikan melalui ada dan tidaknya aliran muatan elektron. Di sisi lain, elektron telah diketahui memiliki karakteristik muatan dan juga spin. Keadaan spin “up” dan “down” dari elektron dapat dimanfaatkan sebagai pembawa informasi seperti halnya aliran muatan elektron. Maka dari itu konsep spintronika muncul sebagai salah satu alternatif dari teknologi perangkat elektronik konvensional dengan memanfaatkan aliran elektron yang memiliki polarisasi spin. Bahkan pada situasi yang ideal, teknologi spintronika memanfaatkan arus spin murni tanpa adanya aliran muatan elektron. Pemanfaatan spin elektron sebagai pembawa informasi dapat memberikan potensi kelebihan yaitu meningkatkan kecepatan pemrosesan daya, konsumsi dan disipasi daya yang rendah, sifat non-volatilitas pada data yang tersimpan, serta tidak memerlukan daya dalam keadaan statis (zero static power) (Barla dkk., 2021). Dengan demikian, 3 teknologi spintronika membuka peluang dalam mengintegrasikan perangkat penyimpan dan pemroses data dalam sebuah prosesor IC. Dalam mewujudkan teknologi spintronika, perangkat transistor logika harus dapat melakukan mekanisme injeksi, transpor, manipulasi, serta deteksi dari arus spin (Makarov dkk., 2016). Pengembangan serta pemahaman pada mekanisme injeksi dan transpor arus spin ke material semikonduktor menjadi langkah awal yang penting untuk merealisasikan perangkat logika spintronik. Terdapat beberapa pendekatan dalam mengembangkan teknologi semikonduktor spintronik yaitu pertama menggunakan struktur hibrid multi-lapisan logam feromagnetik dengan semikonduktor non-magnetik dan yang kedua menggunakan material semikonduktor feromagnetik sebagai sumber injeksi arus spin (Fert, 2008). Permasalahan pada injeksi arus polarisasi spin dari material logam feromagnetik ke material semikonduktor non-magnetik yaitu perbedaan nilai konduktivitas (conductivity mismatch) antara logam dan semikonduktor. Hal ini menyebabkan terjadi pembalikan spin (spin flip) akibat dari hamburan di perbatasan antara logam dan semikonduktor sehingga membuat injeksi arus spin tidak efisien (Schmidt dkk., 2000). Permasalahan perbedaan konduktivitas tersebut dapat diatasi dengan memberikan penghalang potensial antara logam dan semikonduktor (Rashba, 2000). Pendekatan lain untuk menginjeksikan arus spin ke material semikonduktor adalah dengan menggunakan semikonduktor feromagnetik sebagai sumber injeksi arus spin. Material semikonduktor feromagnetik memanfaatkan konsep penambahan fungsionalitas spin pada material semikonduktor yang telah digunakan pada aplikasi praktis, sehingga mampu membuka potensi aplikasi sebagai material spintronik (Ogale, 2010). Salah satu metode untuk membuat material semikonduktor feromagnetik yaitu dengan memberikan doping material logam transisi magnetik pada material semikonduktor yang disebut sebagai sistem material Diluted Magnetic Semiconductor (DMS) (Ohno, 1998). Dengan memberikan doping logam transisi magnetik diharapkan dapat memunculkan sifat feromagnetik tanpa mengubah karakteristik sebagai material semikonduktor. Penelitian pada material DMS dipelopori oleh kelompok Hideo Ohno dkk. (1996) dengan mempelajari material DMS berbasis GaAs didoping logam transisi Mn (Ohno dkk., 1996). Pada penelitian awal, temperatur Curie dari material DMS 4 (Ga,Mn)As masih sangat rendah yaitu sebesar 110 K. Upaya peningkatan temperatur Curie dari material (Ga,Mn)As yang dilakukan melalui rekayasa nanostruktur hanya mampu menaikkan temperatur Curie hingga mencapai 200 K (L. Chen dkk., 2011). Pencarian material DMS dengan temperatur Curie di atas 300 K juga dilakukan melalui pemodelan material menggunakan model Zener Mean Field. Dari hasil pemodelan material pada berbagai material semikonduktor golongan III-V dan oksida dengan doping Mn sebesar 5%, diperoleh material ZnO dan GaN diprediksi dapat memiliki temperatur Curie lebih dari 300 K (Dietl dkk., 2000). Pemodelan material lain dilakukan oleh Sato dkk. menunjukkan bahwa doping logam transisi magnetik, seperti Fe, Co dan Ni, pada material semikonduktor golongan III-V dan oksida diprediksi dapat memiliki temperatur Curie di atas temperatur ruang (Sato dan Katayama- Yoshida, 2002). Observasi secara eksperimen pada sifat feromagnetik temperatur ruang dari material DMS dilaporkan oleh Matsumoto dkk. (2001) pada material TiO 2 yang diberi doping logam Cobalt. Material TiO 2 dengan konsentrasi doping Co sebesar 7% memiliki sifat feromagnetik hingga temperatur 400 K (Yuji Matsumoto dkk., 2001). Observasi lain dilaporkan pada material ZnO dengan doping 2% logam Mn menunjukkan sifat feromagnetik hingga temperatur 425 K (P. Sharma dkk., 2003). Berbagai observasi sifat feromagnetik di temperatur ruang pada material DMS berbasis oksida, memacu berbagai penelitian untuk mempelajari dan meningkatkan sifat feromagnetik dari material DMS berbasis semikonduktor oksida (Fukumura dkk., 2005).