7 Bab II Tinjauan Literatur Pada bab tinjauan literatur akan dijelaskan mengenai literarut atau teori yang menjadi acuan dan pendukung dalam penelitian ini. Di antaranya akan dibahas mengenai Konsep Asset Based Community Development, Resource Mobilization, Modal Sosial, dan Inovasi Sosial. 2.1 Asset Based Community Development 2.1.1 Definisi Asset based community development adalah strategi pembangunan berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Di luar mobilisasi komunitas tertentu, Asset based community development juga menaruh perhatian pada bagaimana menghubungkan aset mikro dengan lingkungan makro. Dengan kata lain, ada perhatian yang diberikan pada batas-batas komunitas dan bagaimana memposisikan komunitas dalam kaitannya dengan institusi lokal dan lingkungan ekonomi eksternal yang menjadi sandaran kesejahteraan mereka (Mathie dan Cunningham, 2003). Asset based community development juga merupakan metodologi dan proses untuk mengidentifikasi dan memobilisasi aset masyarakat untuk perubahan (Mathie dan Cunningham 2003). Mathie dan Cunningham (2003) lebih lanjut menyebutkan prosesnya biasanya dimulai dengan periode membangun hubungan dengan anggota masyarakat dengan penekanan khusus pada pelibatan kelompok marginal. Mengidentifikasi jaringan asosiasi dan kelompok lokal yang ada dalam masyarakat merupakan bagian penting dari proses ini. Sebagai pendekatan alternatif, daya tarik asset based community development terletak pada asumsinya bahwa masyarakat dapat menggerakkan proses pembangunan sendiri dengan mengidentifikasi dan memobilisasi aset-aset yang ada tetapi sering kali tidak diketahui untuk merespon dan menciptakan peluang ekonomi lokal. Secara khusus, asset based community development memberikan perhatian pada aset sosial seperti bakat individu, serta hubungan sosial yang mendorong asosiasi lokal dan jaringan informal (Mathie dan Cunningham 2003). Asset based community development adalah sebuah pendekatan serta serangkaian strategi untuk mengidentifikasi dan memobilisasi aset masyarakat untuk perubahan (Mathie dan Cunningham, 2003). Langkah pertama dalam melibatkan pengembangan hubungan dengan penduduk lokal dengan penekanan khusus pada pelibatan kelompok marginal (Kretzmann dkk., 2005). Langkah kedua dalam asset based community development melibatkan identifikasi jaringan asosiasi dan kelompok lokal baik besar dan kecil, formal dan informal yang dapat berkontribusi pada inisiatif tersebut (Kretzmann dkk., 2005). Langkah ketiga, keempat dan 8 kelima dalam asset based community development melibatkan perluasan peta aset untuk mencakup organisasi lokal, misalnya dewan, lembaga kesehatan masyarakat/kesehatan mental, lembaga non-pemerintah, sekolah dan rumah sakit serta bisnis lokal dan menciptakan kemitraan di antara kelompok-kelompok tersebut. Aset pada tingkat ini kemungkinan besar mencakup keahlian profesional, tenaga kerja, infrastruktur, tanah, dan potensi pembangunan ekonomi lainnya (Pan dkk., 2005) Menurut Mathie dan Cunningham (2003), melalui pendekatan ini masyarakat dibantu untuk menginventarisasi aset mereka dan didorong untuk melihat nilai sumber daya yang seharusnya diabaikan atau tidak direalisasi. Sumber daya yang belum terealisasi tersebut tidak hanya mencakup atribut dan keterampilan pribadi, namun juga hubungan antar manusia melalui jaringan sosial, kekerabatan, atau asosiasi. Dengan memobilisasi jaringan informal ini, sumber daya kelembagaan formal dapat diaktifkan. Seperti pemerintah daerah, organisasi formal berbasis masyarakat, dan perusahaan swasta. Pendekatan asset based community development didasarkan pada esensi perspektif kekuatan, yang merupakan proses kolaboratif antara anggota masyarakat dan profesional, yang memungkinkan mereka bekerja sama untuk menentukan hasil yang memanfaatkan kekuatan dan aset anggota masyarakat (Frediani, 2010; Oko, 2006). Pendekatan asset based community development dirancang untuk mengenali aset dan kapasitas semua orang, tanpa memandang usia, gender atau kelas, dan untuk menunjukkan adanya peluang kolaborasi demi keuntungan bersama dalam masyarakat (Mathie dan Cunningham, 2003). Asset based community development dapat menjadi mekanisme yang efektif untuk membangun hubungan internal dan memobilisasi modal sosial dalam masyarakat sambil mengidentifikasi sumber daya eksternal yang dapat dimanfaatkan, seperti koperasi produsen, jaringan transportasi, atau sumber kredit yang dapat digunakan oleh kelompok untuk tujuan pemasaran. Pada saat yang sama, kapasitas kelompok dapat diperkuat sebagai advokasi bagi masyarakat secara keseluruhan (Mathie dan Cunningham, 2005). 2.1.2 Prinsip-Prinsip Asset Based Community Development Healy (2006) mengidentifikasi asset based community development memiliki empat prinsip utama: • Perubahan harus datang dari dalam komunitas; 9 • Pembangunan harus dibangun berdasarkan kapasitas dan aset yang ada di dalam masyarakat; • Perubahan harus didorong oleh hubungan; • Perubahan harus berorientasi pada pertumbuhan masyarakat yang berkelanjutan. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini, model asset based community development memiliki fokus pada penempatan, artikulasi, dan pengembangan aset dalam komunitas dibandingkan fokus pada kebutuhan komunitas. Penerapan model asset based community development mengikuti proses dimana kepercayaan dikembangkan, kemudian aset diakui, didokumentasikan, dan dipetakan. Tahapan awal proses asset based community development ini pada dasarnya bersifat internal dan bertujuan untuk memungkinkan masyarakat mengenali kekuatannya, memahami apa yang dimilikinya, bukan apa yang dibutuhkannya. Idealnya, hal ini merupakan proses merumuskan cerita baru masyarakat serta berkontribusi terhadap pengembangan keterampilan baru dan hubungan baru yaitu modal manusia dan sosial (Ennis dan West, 2010). Hubungan adalah landasan pengembangan masyarakat berbasis aset. Melalui hubunganlah sumber daya atau aset dapat dikenali, dimobilisasi, dan dibagikan. Hubungan juga merupakan dasar dari jejaring sosial, dengan menyoroti hubungan antara anggota komunitas, kelompok komunitas, dan struktur sosial yang lebih luas (Ennis dan West, 2010). Kerangka kerja asset based community development dicirikan oleh proses tiga langkah yang melibatkan komunikasi dengan para partisipan untuk mengidentifikasi kekuatan, atau aset mereka (pemetaan), memfasilitasi artikulasi tujuan yang ingin dicapai para partisipan (visioning) dan, pada akhirnya, bekerja sama dengan mitra untuk mencapai tujuan tersebut (Fisher dkk., 2009). Faktanya, kunci asset based community development adalah kekuatan asosiasi lokal untuk mendorong proses pengembangan masyarakat dan memanfaatkan dukungan dan hak tambahan. Asosiasi-asosiasi ini merupakan sarana yang melaluinya seluruh aset masyarakat dapat diidentifikasi dan kemudian dihubungkan satu sama lain dengan cara melipat gandakan kekuatan dan efektivitasnya (Mathie dan Cunningham, 2003). Kretzmann dan McKnight (1993) mengusulkan sejumlah langkah untuk memfasilitasi proses asset based community development: • Mengumpulkan cerita tentang keberhasilan masyarakat dan mengidentifikasi kapasitas masyarakat yang berkontribusi terhadap keberhasilan. • Mengorganisir kelompok inti untuk meneruskan proses tersebut. • Memetakan secara menyeluruh kapasitas dan aset individu, asosiasi, dan lembaga lokal. 10 • Membangun hubungan antar aset lokal untuk penyelesaian masalah yang saling menguntungkan dalam masyarakat. • Memobilisasi aset masyarakat sepenuhnya untuk tujuan pembangunan ekonomi dan pertukaran informasi. • Menghimpun kelompok yang mewakili sebanyak mungkin orang dengan tujuan membangun visi dan rencana masyarakat. • Memanfaatkan kegiatan, investasi, dan sumber daya dari luar masyarakat untuk mendukung pembangunan berbasis aset yang ditetapkan secara lokal. Berdasarkan proses tersebut penekanannya adalah pada peningkatan peluang untuk membangun aset dan menghilangkan struktur yang membatasi peluang tersebut (Mathie dan Cunningham, 2003). Dari perspektif tersebut proses pembangunan dapat bersifat eksogen atau endogen. Pelaku utamanya mungkin adalah lembaga swadaya masyarakat eksternal atau organisasi lokal yang dibentuk untuk mendorong peningkatan kapasitas individu. Sebaliknya, perspektif peningkatan kapasitas kelompok memandang tindakan kolektif sebagai tujuan akhir (Mathie dan Cunningham, 2003). Pendekatan asset based community development pada intinya mempunyai gagasan bahwa masyarakat khususnya asosiasi lokal dalam komunitas atau masyarakat tersebut harus menggerakkan proses pembangunan. Oleh karena itu, peran lembaga luar menjadi salah satu upaya peningkatan kapasitas kelompok untuk memastikan bahwa asosiasi lokal mendefinisikan visi dan pemetaan masyarakat serta memobilisasi aset dan sumber daya lokal untuk mencapai tujuan ini (Mathie dan Cunningham, 2003). 2.1.3 Tantangan dalam Asset Based Community Development Menurut Mathie dan Cunningham (2003) tantangan dalam asset based community development antara lain: • Harus mendorong Proses Endogen. Pengembangan aset harus berbasis masyarakat. Peran lembaga eksternal hanya pada tahap awal sebagai fasilitator proses dan sebagai penghubung masyarakat dengan aktor-aktor lain sehingga tantangannya adalah menghindari ketergantungan masyarakat terhadap pihak eksternal. • Harus menumbuhkan Partisipasi Inklusif.