7 BAB II STUDI LITERATUR II.1 Perkembangan Teknologi Produksi Baja Tahan Karat Baja tahan karat ditemukan pada abad ke-20, setelah paduan besi-kromium (ferokromium) ditemukan pada abad ke-19. Selama empat dekade awal setelah ditemukan, proses pembuatan baja tahan karat umumnya melibatkan tiga tahap utama, yaitu peleburan, dekarburisasi, dan alloying (Cobb, 2010). Tantangan utama dalam produksi baja tahan karat adalah kehilangan kromium dalam jumlah yang signifikan pada proses dekarburisasi. Pada awal 1940-an, "Proses Rustless" dikembangkan, menggunakan electric arc furnace (EAF) untuk melebur skrap baja karbon dan kapur bakar. Bijih besi dan low-carbon ferrochrome (LC-FeCr) ditambahkan untuk mendilusi kandungan karbon dalam umpan hingga 0,02%. LC- FeCr juga ditambahkan pada akhir proses untuk mengatur kadar kromium di dalam produk. Tetapi, proses ini memerlukan konsumsi LC-FeCr yang tinggi. Hal ini tentunya kurang ekonomis dikarenakan harga LC-FeCr relatif lebih tinggi dibanding high-carbon ferrochrome (HC-FeCr). Pada akhir 1940-an, proses yang lebih efisien dikembangkan, yaitu dengan melakukan peleburan skrap baja tahan karat, HC-FeCr, nikel, dan kapur bakar. Dekarburisasi dilakukan dengan menghembuskan oksigen pada temperatur tinggi, yaitu 1850-1950 °C untuk meminimalkan oksidasi kromium. Proses dilanjutkan dengan penambahan silikon dan aluminium untuk menghilangkan oksigen terlarut. Proses ini memerlukan konsumsi daya, waktu proses, dan LC-FeCr yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses Rustless. Namun, operasi temperatur tinggi menyebabkan kerusakan pada bata refraktori yang digunakan pada EAF. Teknologi vakum mulai memasuki industri baja pada akhir 1950-an, yang mengawali pengembangan proses dekarburisasi vakum untuk produksi baja tahan karat, dikenal sebagai vacuum oxygen decarburization (VOD). Proses dekarburisasi menggunakan oksigen dalam lingkungan vakum dapat mengurangi kandungan karbon tanpa kehilangan kromium yang signifikan pada temperatur yang lebih 8 rendah dibandingkan dengan dekarburisasi di EAF (Patil dkk., 1998). Selain itu, pada tahun 1954, dilusi menggunakan gas argon selama proses dekarburisasi ditemukan dapat mengurangi kandungan karbon tanpa mengoksidasi kromium dengan jumlah signifikan, yang dikenal sebagai argon-oxygen decarburization (AOD) (Krivsky, 1973). Penemuan kedua proses ini menjadi terobosan dalam kemajuan teknologi pembuatan baja tahan karat. Teknologi yang banyak digunakan saat ini adalah proses EAF-AOD, juga dikenal sebagai duplex process (Patil dkk., 1998). Skematik pembuatan baja tahan karat melalui duplex process ditunjukkan pada Gambar II.1. Bahan baku untuk memproduksi baja tahan karat melalui duplex process adalah FeNi, FeCr, dan skrap besi. Dua teknologi yang dapat digunakan untuk memproduksi FeNi dari bijih nikel saprolit, yaitu rotary kiln-electric furnace (RK-EF) dan blast furnace (BF). Saat ini, rute RK-EF mendominasi produksi FeNi secara global, mencapai 95% dari produksi FeNi di dunia. Rute RK-EF terdiri dari beberapa tahap, yaitu : pengeringan dalam rotary dryer untuk mengurangi air permukaan hingga 20%, kalsinasi dalam rotary kiln pada temperatur 700-900 °C untuk menghilangkan loss on ignition (LOI) serta mereduksi sebagian NiO dan Fe 2O3, dan peleburan dalam EF pada temperatur sekitar 1600 °C. Proses ini biasanya menggunakan batubara sebagai reduktor dan bahan bakar (Crundwell dkk., 2011). Kromium dalam baja tahan karat bersumber dari ferokromium (FeCr), yang umumnya diproduksi dari ekstraksi bijih kromit. HC-FeCr diproduksi melalui reduksi karbotermik, sedangkan LC-FeCr diproduksi melalui reduksi silikotermik (Eric, 2014). Setelah teknologi AOD dan VOD ditemukan, HC-FeCr menjadi pilihan utama dalam pembuatan baja tahan karat. Umumnya, HC-FeCr diproduksi melalui proses reduksi di dalam Submerged Arc Furnace (SAF) menggunakan kokas sebagai reduktor (Gasik, 2013). 9 Gambar II.1 Skematik produksi baja tahan karat melalui duplex process Sejak tahun 2006, nickel pig iron (NPI) dengan kandungan nikel 3-12% menjadi banyak digunakan sebagai bahan baku baja tahan karat. Penggunaan NPI dapat mengeliminasi kebutuhan skrap baja sebagai salah satu bahan baku (Zevgolis dan Daskalakis, 2022). Hal ini memungkinkan pembuatan baja tahan karat dilakukan secara terintegrasi dengan produksi NPI dengan mengeliminasi peleburan bahan baku padat di dalam EAF. Lelehan NPI dan lelehan HC-FeCr diumpankan secara langsung ke dalam AOD seperti ditunjukkan pada Gambar II.2. Proses tersebut digunakan di Indonesia, yang merupakan hasil kerja sama Indonesia dengan China dan menghasilkan peningkatan produksi baja tahan karat yang signifikan di Indonesia. Teknologi NPI-baja tahan karat terintegrasi ini berhasil menurunkan biaya produksi yang signifikan dibandingkan produksi baja tahan karat melalui duplex process (Zevgolis dan Daskalakis, 2022). 10 Gambar II.2 Skematik proses NPI-baja tahan karat terintegrasi II.2 Reduksi Oksida-Oksida Logam Menggunakan HPSR Plasma merupakan keadaan zat keempat yang terdapat di alam yang terdiri dari ion, atom, dan spesi-spesi tereksitasi. Keadaan tersebut dapat dibentuk dengan cara mengalirkan energi yang tinggi untuk mengionisasi dan/atau mengatomisasi molekul gas. Plasma hidrogen dihasilkan dengan memberikan energi tinggi pada gas hidrogen sehingga gas hidrogen dapat terionisasi, teratomisasi, dan tereksitasi. Spesi-spesi yang terbentuk pada plasma hidrogen adalah molekul hidrogen (H 2 *), hidrogen monoatomik (H), dan ion hidrogen (H + ) (Conrads dan Schmidt, 2000, Tendero dkk., 2006). Spesi-spesi yang berkesetimbangan berubah-ubah bergantung pada temperatur. Gambar II.3 menunjukkan kestabilan fasa 10 mol gas hidrogen yang dipanaskan dari temperatur 100°C – 25.000 °C yang dihit ung menggunakan FactSage 8.2. Jumlah gas hidrogen terus berkurang seiring peningkatan temperatur karena hidrogen lebih stabil sebagai atom hidrogen (H) pada temperatur tinggi. H 2 mulai terkonversi menjadi H pada temperatur sekitar 2000 °C dan terkonversi sepenuhnya pada temperatur sekitar 5500 °C. Spesi ion hidrogen (H + ) mulai terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi, yaitu sekitar 7300 °C. 11 Gambar II.3 Kesetimbangan spesi-spesi pada plasma hidrogen di berbagai temperatur berdasarkan perhitungan termodinamika menggunakan FactSage 8.2 Reduksi oksida menggunakan HPSR merupakan reaksi yang relatif lebih kompleks dibandingkan dengan menggunakan gas hidrogen karena melibatkan spesi yang lebih banyak, yaitu H 2, H, H + , dan H * . Reaksi pembentukan hidrogen plasma dari gas hidrogen merupakan reaksi yang memiliki energi bebas Gibbs yang sangat besar nilainya (4'iìXHal ini ditunjukkan melalui Persamaan II.2. Reaksi umum reduksi oksida logam (MO x) menggunakan gas hidrogen ditunjukkan pada Persamaan II.3. H 2 (g) = Plasma Hidrogen (2H/2H + /2H 2+ /2H 3+ /H2 *) ΔG 1 » 0 (II.2) MO x + xH2 = M +xH2OΔG = ΔG 2 ~ II.3) Reaksi reduksi oksida logam menggunakan hidrogen plasma dapat berlangsung sangat spontan dikarenakan nilai energi bebas Gibbs-nya bernilai sangat negatif seperti yang ditunjukkan melalui Persamaan II.4 (Cavaliere, 2022). MO x + Plasma Hidrogen (2H/2H + /2H 2+ /2H 3+ /H2 *) = M +xH2O ΔG = ΔG 2 - ΔG 1 < 0 (II.4) 12 Gambar II.4 menunjukkan perbandingan energi bebas Gibbs standar dari reaksi reduksi NiO, Cr 2O3, dan FeO menggunakan atom H dan gas H2. Terlihat dengan jelas bahwa energi bebas Gibbs standar reaksi reduksi oksida-oksida logam menggunakan atom H bernilai jauh lebih rendah daripada reduksi menggunakan gas hidrogen (Bergh, 1965). Bahkan, energi bebas Gibbs standar reaksi reduksi FeO dan Cr 2O3 menjadi negatif bila menggunakan atom H.