MODEL PENILAIAN LINGKUNGAN BINAAN DALAM KONSEP KOTA SEHAT PADA KONTEKS TATA RUANG: STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh AHMAD BAIKUNI PERDANA NIM: 25422036 (Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Agustus 2024 i ABSTRAK MODEL PENILAIAN LINGKUNGAN BINAAN DALAM KONSEP KOTA SEHAT PADA KONTEKS TATA RUANG: STUDI KASUS DI KOTA SEMARANG Oleh Ahmad Baikuni Perdana NIM: 25422036 (Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota) Beragam variabel ukuran kota sehat di Indonesia menyebabkan biasnya intervensi kebijakan di skala kota yang perlu diambil dalam mewujudkannya. Pada konteks perencanaan kota, perwujudan kota sehat sulit menjadi prioritas karena belum adanya variabel khusus yang menjadi sasaran intervensi dalam instrumen perencanaan tata ruang. Perumusan seperangkat variabel lingkungan binaan yang sehat dan indikatornya dapat menangkap hubungan kausatif tersebut dan menerapkannya pada kebijakan tata ruang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menyusun model penilaian objektif lingkungan binaan yang sehat pada konteks tata ruang dalam konsep kota sehat. Model penilaian objektif yang dieksplorasi mengambil penelitian satu kasus, yaitu di Kota Semarang dengan metode kuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kota sehat menggunakan paradigma healthy built environment yang memandang bahwa populasi sehat dapat dicapai dengan mempromosikan gaya hidup sehat, meningkatkan kualitas hidup, kemakmuran, dan kemajuan peradaban, melalui lingkungan binaan. Penelitian ini telah menyusun model penilaian objektif lingkungan binaan yang sehat dari jumlah penyakit menular dengan studi kasus di Kota Semarang. Kota Semarang dibagi menjadi 1966 sel heksagon untuk membantu perhitungan nilai setiap variabel lingkungan binaan. Tiga belas variabel dibagi menjadi tiga tingkatan lingkungan binaan, yaitu lingkungan alam, lingkungan terbangun, dan aktivitas dengan variabel kontrol jumlah penduduk yang sebarannya terdistribusi mendekati pola Poisson. Indeks Global Moran’s I 0,671 yang mengindikasikan adanya kondisi autokorelasi spasial. Model penilaian objektif disusun dengan Geographically Weighted Regression (GWR) dengan persentase deviansi terjelaskan 87,6% dapat disusun sebagai instrumen dalam mengukur kondisi lingkungan binaan di skala yang lebih kecil daripada kelurahan. Berdasarkan estimasi rata-rata model lokal, kontribusi di setiap tingkatan lingkungan binaan berbeda-beda persentasenya. Pengaruh terbesar yang ditemukan adalah jumlah penduduk sebagai variabel kontrol, yaitu sebesar 60,39%. Pengaruh tingkatan lingkungan terbangun adalah yang paling besar di antara tingkatan lingkungan binaan lainnya, sebesar 22,68%. Lingkungan alam memiliki kontribusi sebesar 10,52%. Sementara yang paling kecil pengaruhnya adalah di tingkat aktivitas, hanya sebesar 6,41%. Lingkungan binaan dinilai berdasarkan kategori jumlah penyakit menularnya mulai dari Sangat Sehat hingga Tidak Sehat. Rata-rata lingkungan binaan di Kota Semarang dinilai Sangat Sehat, hanya intensitas simpangan jalan yang dinilai dengan kategori Sehat. Namun, hasil yang berbeda terlihat saat mengukurnya di tingkat sel yang menemukan adanya lingkungan binaan yang berkategori Tidak Sehat di sel-sel dengan kasus tertinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa kasus adanya spatial non-stationary dari lingkungan binaan terhadap kasus penyakit menular. Hasil refleksi ii kategori tersebut dengan jumlah penyakit menular di Kota Semarang, menunjukkan 52,54% sel dikategorikan Sangat Sehat, 11,39% Sehat, 4,18% Kurang Sehat, dan 28,07% Tidak Sehat. Pusat Kota Semarang menjadi klaster sel yang tidak sehat yang menggambarkan sulitnya mendapatkan kondisi yang sehat di kawasan perkotaan. Sejalan dengan hal tersebut, sel dengan kategori Sangat Sehat sebagian besar berada di pinggiran kota. Namun secara agregat, Kota Semarang masih layak dikatakan sebagai kota yang sehat dan sesuai dengan capaiannya mendapatkan penghargaan Swasti Saba. Penilaian dari skala yang lebih kecil dapat menghindari pengabaian kondisi yang lebih rinci daripada penilaian dengan skala yang lebih besar, seperti di tingkat kecamatan maupun kota. Instrumen penilaian yang disusun dengan model pada penelitian ini dapat dikatakan sebagai penilaian yang objektif dan adaptif untuk lingkungan binaan yang sehat. Kebaruan yang dihadirkan dalam penelitian ini adalah model penilaian lingkungan binaan yang bersifat kausatif terhadap salah satu keluaran kesehatan, yaitu jumlah kasus penyakit menular. Penelitian ini mampu menggunakan model lokal GWR sebagai dasar dalam menyusun indikator penilaian yang dinamis di skala lokal pada konteks tata ruang. Kata kunci: Kota Sehat, Penilaian Objektif, Determinan Kesehatan, Lingkungan Sehat, Kota Semarang. iii ABSTRACT ASSESSMENT MODEL OF THE BUILT ENVIRONMENT IN THE HEALTHY CITY CONCEPT IN THE CONTEXT OF SPATIAL PLANNING: A CASE STUDY IN SEMARANG CITY By Ahmad Baikuni Perdana NIM: 25422036 (Master’s Program in Urban and Regional Planning) The diverse variables defining a healthy city in Indonesia lead to biased policy interventions at the city level, which are necessary to achieve this goal. In the context of urban planning, the realization of a healthy city is challenging to prioritize because there are no specific variables targeted for intervention within spatial planning instruments. Formulating a set of healthy built environment variables and their indicators can capture this causal relationship and apply it to spatial planning policies. The aim of this study is to explore and develop an objective assessment model for a healthy built environment within the context of spatial planning under the healthy city concept. The objective assessment model explored in this study focuses on a case study in Semarang City using quantitative methods. The approach used to measure a healthy city in this study adopts the healthy built environment paradigm, which views that a healthy population can be achieved by promoting a healthy lifestyle, improving quality of life, prosperity, and civilizational progress through the built environment. This study has developed an objective assessment model for a healthy built environment based on the number of infectious disease cases, with a case study in Semarang City. Semarang City was divided into 1,966 hexagon cells to aid in calculating the values for each built environment variable. Thirteen variables were categorized into three built environment levels: natural environment, built environment, and activity, with the population count as a control variable whose distribution approximates a Poisson pattern. The Global Moran’s I index of 0.671 indicates the presence of spatial autocorrelation. The objective assessment model was developed using Geographically Weighted Regression (GWR) with an explained deviance percentage of 87.6%, which can be used as an instrument to measure the built environment condition on a smaller scale than the sub-district level. Based on the local model's average estimate, the contribution of each built environment level varies in percentage. The largest influence found was the population count as the control variable, contributing 60.39%. The built environment level had the largest influence among the other built environment levels, contributing 22.68%. The natural environment contributed 10.52%, while the activity level had the smallest influence, contributing only 6.41%. The built environment was assessed based on the number of infectious disease cases, ranging from Very Healthy to Unhealthy. On average, the built environment in Semarang City was assessed as Very Healthy, with only road deviation intensity assessed in the Healthy category. However, different results were observed when measured at the cell level, revealing Unhealthy built environments in cells with the highest cases. These findings indicate the presence of spatial non-stationarity in the built environment concerning infectious disease cases. Reflecting on the category with the number iv of infectious disease cases in Semarang City, 52.54% of cells were categorized as Very Healthy, 11.39% as Healthy, 4.18% as Less Healthy, and 28.07% as Unhealthy. The central area of Semarang City formed an unhealthy cluster, highlighting the difficulty of achieving healthy conditions in urban areas.