13 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yang menjadi dasar dalam pelaksanaan analisis dan beberapa studi literatur mengenai bencana tsunami, historis kejadian tsunami, indikator penilaian kerentanan tsunami, pesisir dan sistem pesisir, model penilaian kerentanan pesisir, perhitungan kerentanan pesisir, seta sintesa literatur berdasarkan hasil tinjauan literatur dari penelitian sebelumnya. 2.1 Definisi Kerentanan Terdapat beberapa pengertian dari istilah ‘kerentanan’ yang digunakan oleh berbagai komunitas ilmiah. Penggunaan kata 'kerentanan' pada umumnya mengacu pada kapasitas untuk dirugikan, yaitu tingkat dimana suatu sistem kemungkinan akan mengalami kerugian akibat paparan terhadap suatu bahaya (Turner dkk., 2003). Dalam konteks kerentanan terhadap perubahan iklim, kerentanan diartikan sebagai fungsi dari keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi, dimana keterpaparan adalah kedekatan aset masyarakat terhadap suatu bahaya; sensitivitas adalah tingkat dampak suatu bahaya terhadap aset masyarakat; dan kapasitas adaptif adalah kemampuan aset masyarakat untuk menyesuaikan diri dan mengatasi dampak bahaya (Brooks, 2003; Füssel, 2007). Adapun dalam konteks bencana, menurut UNDRR, kerentanan adalah kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan kerentanan individu, komunitas, aset atau sistem terhadap dampak bahaya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (2004) membedakan empat kelompok faktor kerentanan yang relevan dalam konteks pengurangan risiko bencana: faktor fisik, yang menggambarkan paparan unsur-unsur rentan di suatu wilayah; faktor ekonomi, yang menggambarkan sumber daya ekonomi individu, kelompok populasi, dan komunitas; faktor sosial, yang menggambarkan faktor non-ekonomi yang menentukan kesejahteraan individu, kelompok penduduk, dan komunitas, seperti tingkat pendidikan, keamanan, akses terhadap hak asasi manusia, dan tata kelola yang baik; dan faktor lingkungan, yang menggambarkan keadaan 14 lingkungan hidup di suatu wilayah. Berbeda dengan faktor yang dikemukakan oleh Moss dkk. (2001), yang mengidentifikasi tiga dimensi kerentanan terhadap perubahan iklim. Dimensi fisik-lingkungan ''menyebabkan kerugian yang disebabkan oleh iklim''. Hal ini mengacu pada kondisi iklim di suatu wilayah dan dampak biofisik perubahan iklim, seperti perubahan produktivitas pertanian atau distribusi vektor penyakit. Dimensi sosioekonomi mengacu pada ''kapasitas suatu wilayah untuk pulih dari kejadian ekstrem dan beradaptasi terhadap perubahan dalam jangka panjang''. Dimensi ketiga, bantuan eksternal, didefinisikan sebagai ''sejauh mana suatu wilayah dapat dibantu dalam upayanya beradaptasi terhadap perubahan melalui sekutu dan mitra dagangnya, komunitas diaspora di wilayah lain, dan pengaturan internasional untuk memberikan bantuan''. Berbeda dengan PBB (2004), konseptualisasi kerentanan ini mencakup faktor-faktor di luar sistem rentan, seperti karakteristik pemicu stres dan tingkat bantuan eksternal yang diharapkan. Beberapa peneliti membedakan kerentanan biofisik (atau alami) dengan kerentanan sosial (atau sosioekonomi). Namun, belum ada kesepakatan mengenai arti istilah-istilah tersebut. Kerangka konseptual penilaian kerentanan pesisir yang dikembangkan oleh Klein dan Nicholls (1999) melihat 'kerentanan alami' sebagai salah satu faktor penentu 'kerentanan sosial ekonomi'. Sebaliknya, Cutter (1996) menganggap dimensi kerentanan 'biofisik' dan 'sosial' sebagai hal yang independen. Menurut terminologi yang dikemukakan oleh Brooks (2003), pada akhirnya, ''kerentanan sosial dapat dipandang sebagai salah satu faktor penentu kerentanan biofisik''. Masing-masing kerangka konseptual yang disebutkan di atas memberikan klasifikasi penting mengenai faktor-faktor yang menentukan kerentanan suatu sistem terhadap bahaya tertentu. Namun, terminologi- terminologi ini jelas tidak kompatibel satu sama lain, dan tidak satupun dari terminologi tersebut cukup komprehensif untuk dapat mengintegrasikan terminologi lainnya secara konsisten. Alasan utama kebingungan ini adalah kegagalan untuk membedakan dua dimensi faktor kerentanan yang independen: lingkup (atau skala) dan domain pengetahuan (Füssel, 2007). 15 a. Lingkup : Faktor kerentanan internal (atau 'endogen' atau 'yang ada di dalam') mengacu pada sifat-sifat sistem rentan atau komunitas itu sendiri, sedangkan faktor kerentanan eksternal (atau 'eksogen' atau 'di luar tempat') mengacu pada sesuatu di luar sistem yang rentan. Perbedaan ini biasanya mencerminkan batas-batas geografis atau kekuatan untuk mempengaruhi. Perlu diperhatikan bahwa penetapan suatu faktor tertentu sebagai faktor internal atau eksternal mungkin bergantung pada ruang lingkup penilaian kerentanan. Kebijakan nasional, misalnya, akan dianggap bersifat internal dalam penilaian nasional, namun (sebagian besar) bersifat eksternal dalam penilaian lokal. b. Domain Pengetahuan : Faktor kerentanan sosial ekonomi adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan sumber daya ekonomi, distribusi kekuasaan, institusi sosial, praktik budaya, dan karakteristik kelompok sosial lainnya yang biasanya diselidiki oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebaliknya, faktor kerentanan biofisik berkaitan dengan sifat sistem yang diselidiki oleh ilmu fisika. Kedua kategori ini bisa saling tumpang tindih, misalnya dalam hal infrastruktur yang dibangun. Kerentanan pada prinsipnya dapat dikurangi dengan menargetkan kelompok faktor kerentanan mana pun. Namun, tidak semua faktor dapat menerima intervensi kebijakan dalam segala situasi (Füssel, 2007). Pengkajian bahaya klasik, misalnya, secara umum menganggap bahaya 'alami' sebagai sesuatu yang berasal dari luar pengkajian kerentanan. Namun, perspektif ini menjadi semakin tidak akurat mengingat luasnya dampak aktivitas manusia terhadap bahaya lingkungan seperti aliran sungai, suhu lokal, dan bahkan iklim global. 2.2 Bencana Tsunami 2.2.1 Definisi Tsunami dan Dampak Tsunami Istilah "tsunami" berasal dari bahasa Jepang, yang menggabungkan karakter "tsu" (pelabuhan) dan "nami" (gelombang), yang berarti 16 "gelombang pelabuhan". Tsunami adalah serangkaian gelombang laut yang disebabkan oleh adanya gangguan signifikan di dasar laut, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, atau tanah longsor di bawah air (Bernard, 2012). Pada Gambar 2.1, dapat dilihat bahwa hampir seluruh belahan di dunia pernah mengalami tsunami dengan penyebab yang berbeda beda. Adapun tiga penyebab utama adanya tsunami adalah gempa, erupsi gunung berapi, dan longsor. Gelombang ini melintasi lautan dengan kecepatan tinggi dan memperoleh energi yang cukup besar, sehingga menimbulkan dampak yang dapat menghancurkan apapun yang ada didepannya saat mencapai wilayah pesisir. Gambar 2.1 Histori Kejadian Tsunami Sumber: NOAA National Centers for Environmental Information, 2021 Tsunami terjadi ketika sejumlah besar air berpindah akibat aktivitas seismik. Perpindahan ini dapat disebabkan oleh berbagai proses geologi antara lain gempa bumi, tanah longsor, dan letusan gunung berapi. Gempa bumi adalah penyebab paling umum dari tsunami, dimana gempa bumi bawah laut menggeser dasar laut, menyebabkan air di atasnya tergeser. Letusan gunung berapi yang eksplosif juga dapat menyebabkan perpindahan air, sehingga menimbulkan gelombang tsunami, sedangkan tanah longsor di bawah air dan tanah longsor yang meluncur ke laut dapat 17 menyebabkan perpindahan air dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan tsunami. Saat gelombang ini mendekati pantai, gelombang tersebut menjadi terkompresi karena dasar laut yang dangkal, sehingga meningkatkan tinggi dan kecepatannya. Kecepatan tsunami dapat mencapai hingga 14 m/s (kira-kira 40 mph) ketika menggenangi wilayah pesisir, menyebabkan kerusakan luas pada apa pun yang dilaluinya (Titov & Synolakis, 1997 dalam Bernard dkk., 2006). Ada dua jenis tsunami utama berdasarkan jarak tempuhnya: tsunami lokal dan tsunami jauh. Tsunami lokal terjadi di dekat titik gangguan dan dapat mencapai pantai dalam hitungan menit, sehingga tidak memberikan waktu peringatan untuk evakuasi. Hal ini sangat berbahaya karena menyerang dengan cepat dan dengan kekuatan yang sangat besar, seringkali sebelum peringatan dikeluarkan. Sebaliknya, tsunami jarak jauh melintasi seluruh cekungan lautan dan membutuhkan waktu beberapa jam untuk mencapai pantai yang jauh, sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk evakuasi. Walaupun tsunami yang letaknya jauh memberikan waktu yang lebih lama untuk melakukan evakuasi, namun tsunami tersebut masih dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan ketika mencapai pantai (Bernard dkk., 2006).