9 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bab ini akan dilakukan pembahasan mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, yang terkait dengan relokasi dan pendekatan sustainable livelihoods. Pembahasan terbagi menjadi beberapa bagian yakni permukiman kumuh, rumah susun, teori relokasi, teori sustainable livelihoods, penelitian terdahulu serta variabel penelitian. II.1 Pemukiman Kumuh II.1.1 Definisi Pemukiman Kumuh Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang memiliki prasarana, sarana, utilitas umum dan mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan (UU No. 1 tahun 2011). Di Indonesia, permukiman kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak untuk ditinggali, karena bangunan yang tidak menentu, adanya kepadatan tinggi, bangunan berkualitas rendah, kekurangan fasilitas dan fasilitas dan rendahnya keterjangkauan infrastruktur (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI-PUPR, 2016). Pertumbuhan penduduk yang pesat diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan ruang bermukim menyebabkan masyarakat melakukan pembangunan rumah dan tempat-tempat untuk usaha secara mandiri (Nursyahbani dan Pigawati, 2015). Pembangunan yang tidak disertai dengan pengaturan dan pengendalian yang baik berpotensi menjadikan lingkungan tersebut kumuh. Aliran masuknya penduduk pedesaan yang mencari pekerjaan ke daerah perkotaan memiliki implikasi terhadap berbagai aspek kehidupan perkotaan, terutama menyangkut transportasi, perumahan, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, sektor perekonomian, tata ruang dan lain sebagainya. Perkembangan kota di Indonesia tidak diiringi dengan ketersediaan sarana 10 prasarana dan peningkatan pelayanan perkotaan yang mendukung, sehingga ada kemungkinan menyebabkan degradasi lingkungan dan memunculkan pemukiman kumuh pada daerah perkotaan (Sobirin, 2001). Kemunculan kawasan pemukiman kumuh merupakan salah satu indikasi kegagalan program perumahan yang berpihak pada produksi rumah langsung terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, dan program yang diprioritaskan merupakan program rumah milik (Turner, 1976; Nurwati, 2008; Edi Suharto, 2008 dalam Permana, 2023). Hal tersebut mengesampingkan potensi rumah sewa, sehingga masyarakat golongan ekonomi bawah yang tinggal di perkotaan untuk bekerja namun tidak memiliki kemampuan untuk membeli rumah tidak memiliki pilihan selain tinggal di kawasan pemukiman kumuh. Hal ini juga didukung oleh UN-Habitat dalam Global Report on Human Settlements, yang menyatakan kemunculan permukiman kumuh diakibatkan oleh pertumbuhan secara alami, gabungan antara perpindahan musiman serta perkembangan alami, serta warga desa yang melakukan migrasi ke kota. Selain itu tumbuhnya permukiman kumuh karena adanya mismatch atau kesenjangan antara supply dan demand pembangunan rumah dengan kebutuhan perumahan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah. II.1.2 Karakteristik Pemukiman Kumuh Dalam Global Report on Human Settlements (2003), terdapat beberapa indikator dalam menentukan apakah sebuah pemukiman termasuk dalam kategori pemukiman kumuh atau tidak antara lain; kurangnya akses terhadap air minum, sanitasi yang tidak memadai, struktur rumah yang tidak permanen, kepadatan penduduk yang tinggi, dan status kepemilikan rumah, dan lokasi rumah pada area yang kurang aman sebagaimana ditunjukkan pada Tabel II.1 berikut ini. Tabel II.1 Karakteristik dan Indikator Untuk Mendefinisikan Pemukiman Kumuh Karateristik Indikator Definisi Akses terhadap air Kurangnya akses terhadap air minum Sebuah pemukiman kekurangan akses air minum jika penduduk yang memiliki akses air berjumlah kurang dari 50% pernduduk keseluruhan Akses terhadap sanitasi Sanitasi yang tidak memadai Pemukiman tidak memiliki sanitasi yang memadai jika penduduk yang memiliki akses air berjumlah kurang dari 50% penduduk 11 Karateristik Indikator Definisi keseluruhan; kecukupan ditandai dengan adanya septic tank dan pipa saluran pembuangan umum Kualitas struktural rumah Lokasi Pemukiman terletak dekat pada area yang tidak aman antara lain; area banjir dan gempa, area pembuangan sampah, area dengan polusi industry tinggi, area beresiko (rel kereta, bandara, dll) Status kepemilikan Permanensi struktur tempat tinggal Pemukiman terdiri dari rumah-rumah yang bersifat temporer atau bobrok; kualitas dapat dilihat dari material yang digunakan dan kesesuaian dengan standar perumahan lokal Kepadatan Kepadatan Satu ruang dihuni lebih dari dua orang atau standar area per orang kurang dari 5 meter persegi Jaminan kepemilikan Jaminan kepemilikan Terdapat pemukiman dengan persetujuan verbal atau bentuk lainnya sebagai perjanjian kepemilikan (tidak memiliki kepemilikan tanah atau rumah secara formal) (Sumber: Global Reports on Human Settlements (2003)) Menurut Ditjen Banda Kemendagri, karateristik pemukiman kumuh antara lain adalah penduduknya sebagian besar memiliki penghasilan dan pendidikan rendah, berusaha atau bekerja di sektor informal, memiliki sistem sosial yang rentan, lingkungan permukiman rumah dan fasilitasnya berada di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi > 100 jiwa/km, kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha, kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase dan persampahan), kondisi bangunan rumah tidak permanen, permukiman rawan banjir, kebakaran dan penyakit. Penduduk pemukiman kumuh seringkali menggabungkan fungsi perumahan dan ekonomi, dimana penduduk menggunakan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus tempat produksi untuk mencari nafkah. Permukiman kumuh umumnya dibangun pada daerah-daerah yang rawan, antara lain: di sepanjang tepi sungai, rel kereta api, di bawah jembatan, waduk dan lahan kosong. Bermukim di pemukiman kumuh merupakan suatu usaha yang dapat terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan pendapatan tidak pasti karena lokasinya sangat strategis dengan lokasi pekerjaan di perkotaan dan sumber 12 mata pencaharian (Turok & Borel-Saladin, 2016). Masyarakat yang berpendapat rendah terpaksa untuk tinggal di permukiman informal tanpa memperhatikan kualitas bahan dan jarak antar rumah. Kepadatan tinggi juga merupakan salah satu ciri fisik yang sering digunakan untuk menggambarkan permukiman kumuh. Selain dari segi kepadatan juga terdapat ukuran atap yang kecil dan pola yang tidak beraturan (Kuffer et al, 2016). Secara keseluruhan, pemukiman kumuh ditandai sebagai pemukiman di dalam kota dengan infrastruktur yang sangat tidak memadai serta area dimana lingkungan sosial dan fisiknya membahayakan kondisi penghuninya baik secara fisik, mental dan sosial. II.2 Relokasi Permukiman II.2.1 Definisi Relokasi Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 29/PRT/M/2018 Tentang Standar Teknis Standar Pelayanan Minimal Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, disebutkan bahwa prorgram relokasi merupakan suatu proses pemindahan yang dilakukan terhadap penduduk dari suatu lokasi permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan berpotensi membahayakan ke tempat tinggal dengan status kepemilikan atau sewa. Relokasi harus mempertimbangkan bahwa penerima dampak relokasi merupakan pihak yang dinilai rentan sehingga pelaksanaan relokasi harus mengikuti beberapa prinsip-prinsip. Martanto dan Sagala (2014) menyatakan prinsip-prinsip tersebut meliputi pemindahan bersifat sukarela, penerima dampak mendapatkan penghidupan yang setara atau lebih barik dari sebelum relokasi, dan penerima dampak mendapatkan kompensasi penuh selama proses transisi dan meminimalisir kerusakan jaringan sosial dan peluang ekonomi. Bangunan yang berdiri diatas tanah negara atau tanah dengan alasan hak milik yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum dapat mengalami relokasi. Sesuai dengan pengertian relokasi yang merupakan permukiman kembali di lokasi yang baru maka para warga yang tanah tempat tinggalnya dipergunakan untuk kepentingan umum tersebut, akan direlokasikan ke tempat tinggal yang baru. (Fitrianti dan Fadhilah, 2018). Relokasi dilaksanakan agar penduduk dapat 13 memiliki tempat tinggal yang aman serta lahan yang ditinggali dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan kota. Relokasi sebagai proses pemindahan atau permukiman kembali masyarakat ke daerah pemukiman yang baru tidak hanya menyediakan fasilitas rumah untuk tempat tinggal dan infrastruktur saja, melainkan juga memindahkan kehidupan masyarakatnya baik secara individu, keluarga maupun kelompok ke sebuah lingkungan yang baru (Bawole, 2015), sehingga perlu memperhatikan aspek sosial budaya, ekonomi dan kualitas lingkungan. Masalah relokasi merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut banyak hal yakni kebutuhan dasar manusia akan tanah dan tempat tinggal, ketersediaan tanah/areal untuk relokasi dan jaminan untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021, disebutkan bahwa secara keseluruhan relokasi mencakup persiapan lahan, penyuluhan terhadap warga yang terdampak, pengadaan sarana dan prasarana, dan pengadaan rumah sangat sederhana dan pembangunan fasilitas umum dan fasilitas social. Sedangkan Ridlo (2001) dalam Musthofa (2011) menjelaskan bahwa prosedur yang dicapai dalam pelaksanaan relokasi yaitu: 1. Menginformasikan rencana proyek relokasi terhadap masyarakat yang terdampak melalui pendekatan yang interaktif. 2. Menampung aspirasi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam proyek relokasi melalui dibentuknya forum diskusi warga, mulai dari tahap awal hingga dilaksanakannya proyek. 3. Menentukan besarnya kompensasi yang berhak diterima masing-masing warga dan pekerjaan fisik berupa pembangunan infrastruktur dan fasilitas lingkungan di lokasi yang baru. 4. Menyusun rencana penempatan lokasi rumah tinggal baru dengan memperhatikan aspirasi warga. 14 II.2.2 Manfaat Relokasi Pelaksanaan relokasi merupakan salah satu alternatif untuk warga yang tinggal di permukiman kumuh maupun permukiman tidak layak agar mereka mendapatkan hak seperti yang terdapat pada pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Tujuan dan manfaat bagi pelaksanaan relokasi bagi warga yang menempati permukiman kumuh bantaran sungai adalah: 1. Agar memiliki tempat tinggal dan fasilitas MCK yang layak 2. Meningkatkan kemampuan sosial ekonomi warga 3. Kesehatan warga terjamin karena tidak tinggal di permukiman kumuh 4. Agar fungsi sungai sebagai penampung air kembali seperti semula 5. Meningkatkan kelestarian sumber daya alam perkotaan Hasil yang diharapkan dari relokasi permukiman adalah kondisi kehidupan masyarakat yang menjadi sasaran relokasi menjadi lebih baik dari sebelumnya (De Wet, 2002 dalam Tresani, 2018). Adapun kondisi yang lebih baik yang dimaksud dilihat dari aspek tingkat pendapatan, keberagaman lapangan pekerjaan, status dan jaminan di lokasi permukiman yang baru, serta akses terhadap pelayanan infrastruktur dasar menjadi lebih mudah. Menururt Handoyo dan Widyaningrum (2015), kebijakan relokasi yang dilakukan pemerintah tidak hanya untuk menata ruang publik agar lebih tertib, bersih dan tidak kumuh, tetapi juga bertujuan untuk memberikan peluang melakukan usaha, sehingga tidak hanya mampu menjaga kelangsungan usaha dan hidup, namun juga dapat memperbaiki kualitas hidup yang terdampak relokasi. Purnomo (2016) menambahkan bahwa relokasi diharapkan kondisi masyarakat yang direlokasi lebih baik dari kondisi sebelum relokasi terjadi, kondisinya lebih baik, kondisi yang lebih baik meliputi: tingkat pendapatan, keragaman sumber pendapatan, status dan keamanan di lokasi terbaru, serta akses layanan ke infrastruktur dasar.