1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Jakarta secara administratif dibentuk sebagai Pemerintah Provinsi; terdiri dari 5 kota (Jakarta Selatan, Kota Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara) dan satu kabupaten (Kepulauan Seribu Daerah). Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar 662,33 km2 (atau 0,035% dari luas wilayah Indonesia), megacity ini dihuni oleh lebih dari 10 juta penduduk dengan kepadatan penduduk sekitar 14.000 jiwa/km 2 dan rata-rata pertumbuhan penduduk 1,05% pada tahun 2014 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2015). Kota Jakarta, dengan populasi 10,56 juta penduduk mengalami permasalahan yang paling penting terkait dengan pengembangan perumahan di Jakarta. Mengingat pertambahan jumlah penduduk kota Jakarta telah mencapai titik dimana sebagian besar penduduk tidak mampu lagi berumah di wilayah Jakarta. Perumahan di Jakarta lebih ditujukan kepada kalangan menengah ke atas, sedangkan Jakarta didominasi oleh kalangan menengah ke bawah (Cahyadi & Surtiati, 2009). Hal ini ditandai dengan munculnya banyak pemukiman kumuh. Terbentuknya pemukiman kumuh didasari oleh keinginan mempertahankan diri (survival) terhadap kultur modern perkotaan di sekitarnya. Sujarto (1980) mendefinisikan pemukiman kumuh sebagai suatu lingkungan tempat tinggal yang berkepadatan tinggi yang terisi atas kumpulan rumah dengan konstruksi bangunan temporer atau semi permanen, tanpa halaman cukup serta prasarana lingkungan yang kurang memadai. Untuk mengatasi menjamurnya pertumbuhan pemukiman kumuh, pemerintah melaksanakan program perpindahan atau relokasi permukiman. Secara harfiah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, relokasi diartikan sebagai pemindahan tempat atau pemindahan dari suatu lokasi ke lokasi lain. Jika dikaitkan dalam konteks perumahan dan permukiman, relokasi dapat diartikan pemindahan suatu lokasi permukiman ke lokasi permukiman yang baru. Relokasi atau resettlement merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh, status lahannya ilegal atau bermukim di lingkungan yang rawan bencana untuk menata kembali dan 2 melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru. Pemerintah telah melaksanakan program relokasi di berbagai pemukiman kumuh di Jakarta demi menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adanya kampung kumuh, yakni kualitas hidup yang rendah, dan degradasi lingkungan. Salah satunya adalah penghuni Kampung Waduk Pluit yang berada pada daerah Waduk Pluit, Jakarta Utara. Awal mula dari program relokasi adalah fenomena banjir yang semakin akut hingga akhirnya terjadi banjir Jakarta pada awal tahun 2013, yang menyebabkan kerugian terbesar dari seluruh tragedi banjir Jakarta sebelumnya (Tempo, 2022). Bencana tersebut mendorong pemerintah untuk membenahi sistem pengendalian banjir di Jakarta, salah satunya adalah dengan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Dalam prosesnya, pemerintah melakukan relokasi terhadap Kampung Waduk Pluit dengan membangun Rumah Susun khusus untuk warga Kampung Waduk Pluit guna memenuhi kebutuhan primer yakni perumahan dengan sarana dan prasarana yang lebih layak, aman dan nyaman. Di dalam wilayah Kampung Waduk Pluit terdapat Rumah Susun atau biasa disebut dengan Rusun yang merupakan tempat tinggal yang diperuntukkan bagi warga yang tinggal di bantaran Waduk Pluit, yang sebelumnya terkena relokasi akibat revitalisasi waduk yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namanya diresmikan oleh Gubernur Basuki Tjahaja sebagai Rumah Susun Muara Baru, berjarak sekitar 200-400 meter dari Waduk Pluit. Pembangunan Rumah Susun Muara Baru terdiri dari dua tahap. Pembangunan tahap pertama dilakukan pada tahun 2009 dan didanai oleh APBD, dimana terdapat 4 blok yang dibangun yaitu blok A, B, C dan D. Bangunan tahap pertama tersebut diperuntukkan untuk wilayah pengungsian korban banjir di Wilayah Penjaringan pada tahun 2013. Selanjutnya tahap kedua dibangun pada tahun 2014 dan dilaksanakan oleh PT. Kapuk Niaga Indah dan PT. Jaladri Kartika Pakci, yang pada saat itu dibangun 8 blok rumah susun yang terdiri dari blok 5 sampai blok 12. Total keseluruhan blok bangunan terdiri dari 12 blok. Dengan adanya pembangunan rusun sebagai suatu solusi untuk mendapatkan peningkatan kualitas hidup dari segi pemenuhan papan yaitu dengan permukiman yang layak huni (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 tahun 2010). Namun, 3 banyak penelitian menunjukkan relokasi menimbulkan suatu perubahan dalam kehidupan warga sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Mallick dan Sultana (2017) di Guchagram, Bangladesh akibat bencana menunjukkan terdapat perbaikan dari kondisi mata pencaharian warga yang direlokasi, namun terjadi kerugian yang disebabkan oleh berkurangnya akses terhadap pasar kerja dan proses produksi agrikultural. Cornish (2020), dalam penelitiannya pada relokasi di Yangon akibat proyek pengembangan di tengah kota, mengatakan terdapat berkurangnya ‘sense of belonging’ serta duka akibat hilangnya tempat familiar yang dialami oleh warga yang mengalami relokasi, dan pentingnya komponen sosial untuk memulihkan mata pencaharian komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan adanya dinamika penghidupan yang terdisrupsi oleh terjadinya relokasi. Di sisi lain, Cernea (1988) berpendapat bahwa terdapat tiga komponen yang harus diperhitungkan dalam proses relokasi, yakni persiapan dan perencanaan rinci program relokasi, mengembangkan strategi untuk mencari pendapatan bagi para warga yang terdampak relokasi berupa bantuan ketenagakerjaan, usaha mikro, pelatihan pengembangan ketrampilan dan lain-lain, serta pengawasan yang ketat dan evaluasi program. Menurut Cernea, kebijakan relokasi harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang terkait dengan tanggung jawab dan tugas pemerintah, hak-hak dan partisipasi warga yang terlibat, serta komunitas penduduk asli dan lingkungan. Davidson (1993) juga menyatakan hal yang serupa, yakni faktor utama yang berkontribusi terhadap kinerja sebuah program relokasi adalah sebagai berikut; kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan, partisipasi warga dalam proses relokasi, lokasi baru tujuan relokasi, pembangunan infrastruktur yang baik, dan pengembangan sosio-ekonomi yang efektif dalam bentuk kesempatan kerja. Dalam mewujudkan program relokasi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara tepat, dibutuhkan pengembangan kerangka panduan dan kebijakan yang mendukung pemulihan mata pencaharian para warga. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara keseluruhan fenomena relokasi itu sendiri; mulai dari tahap proses relokasi, dampaknya terhadap kehidupan warga, juga mengamati komponen pendukung proses relokasi untuk memaksimalkan peningkatan taraf hidup dan kualitas kehidupan warga yang direlokasi. 4 I.2 Rumusan Masalah Secara teoritis relokasi menimbulkan perubahan sosio-ekonomi pada warga penghuni. Dari uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah belum teridentifikasinya perubahan aset mata pencaharian pada slum resettlement atau relokasi Kampung Waduk Pluit setelah relokasi ke Rusunawa Muara Baru. I.3 Tujuan penelitian Tujuan pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan perubahan aset penghidupan penghuni Kampung Waduk Pluit pasca relokasi ke Rusunawa Muara Baru. Sasaran untuk mencapai tujuan tersebut yaitu: 1.