1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kolaborasi antara manusia dengan robot (human-robot collaboration, HRC) dalam suatu sistem manufaktur merupakan salah satu teknologi yang hadir di era revolusi industri keempat, yang populer dengan sebutan Industri 4.0 (Monostori dkk., 2016; Thoben dkk., 2017; Wang dkk., 2015). Tujuan HRC adalah pemanfaatan secara bersamaan kelebihan-kelebihan manusia, seperti: fleksibilitas, dexterity (keterampilan tangan), dan kecerdasan tingkat tinggi, serta kelebihan-kelebihan robot, seperti: kekuatan, akurasi, dan konsistensi (Tsarouchi dkk., 2017), sehingga diperoleh sistem yang lebih produktif dan fleksibel. Hal ini dapat diwujudkan berkat perkembangan teknologi robot kolaboratif (collaborative robot atau cobot), dengan dukungan sensor, antarmuka, sistem kendali, dan standar keselamatan yang memungkinkan robot beroperasi secara dinamis, adaptif, dan aman terhadap manusia dalam ruang gerak yang beririsan (Cherubini dkk., 2016; de Gea Fernández dkk., 2017; Wang dkk., 2019). HRC sangat berpotensi untuk meningkatkan performansi sistem produksi perakitan (Krüger dkk., 2009; Michalos dkk., 2010) atau sistem sejenis, misalnya sistem pelepasrakitan (Hjorth dan Chrysostomou, 2022; Xu dkk., 2020). Walaupun sebagian proses dalam sistem manufaktur telah bisa ditingkatkan menjadi sepenuhnya robotik (fully robotic), kebutuhan akan dexterity dan fleksibilitas manusia membuat sebagian besar proses perakitan tidak bisa ditingkatkan menjadi sepenuhnya robotik, sehingga HRC menjadi suatu alternatif untuk peningkatan performansi sistem perakitan. Saat ini beberapa perusahaan manufaktur terkemuka telah mulai mengimplementasikan HRC pada sistem produksi perakitannya (Vysocky dan Novak, 2016). Sebagai contoh, sebuah industri elektronik di Indonesia menggunakan HRC untuk meningkatkan produktivitas proses screwing, soldering, dan pick and place. Dengan menambahkan cobot pada stasiun perakitannya, berdampingan dengan operator manusia, pekerjaan perakitan yang kompleks tetap bisa dilakukan oleh manusia, sementara cobot meningkatkan produktivitas dan kualitas proses yang lebih sederhana. Contoh lain adalah pada 2 sebuah industri otomotif yang memanfaatkan HRC untuk membantu proses pemasangan komponen berat; cobot dimanfaatkan untuk mengangkat komponen berat tersebut, sedangkan manusia tetap berperan dalam mengarahkan dan memasang komponen yang posisinya sulit dilakukan oleh robot. Dengan demikian, aspek produktivitas dan keselamatan serta kesehatan kerja meningkat sekaligus. Dalam perancangan sistem produksi perakitan, permasalahan penyeimbangan lintasan perakitan (assembly line balancing problem, ALBP) memiliki peran yang sangat penting. ALBP adalah permasalahan penugasan pekerjaan-pekerjaan perakitan ke dalam stasiun-stasiun kerja yang disusun dalam bentuk flow-line, untuk mencapai suatu fungsi tujuan tertentu dengan memperhatikan pembatas- pembatas yang ada (Scholl, 1999). Terkait dimensi kinerja perusahaan quality, cost, delivery, flexibility, and responsiveness (Li dkk., 1997), ALBP sangat berpengaruh terhadap aspek cost (biaya) dan delivery (pengiriman). Alokasi yang optimal atas pekerjaan-pekerjaan perakitan ke dalam stasiun-stasiun kerja akan menghasilkan sistem yang memenuhi target produksi (pengiriman) dengan konfigurasi lintasan yang seefisien mungkin (berbiaya minimum). Sebagian besar penelitian ALBP (Boysen dkk., 2007, 2008) bertujuan untuk meminimumkan jumlah stasiun kerja (secara implisit meminimumkan biaya), meminimumkan biaya (secara eksplisit), atau meminimumkan waktu siklus lintasan (memaksimumkan kemampuan pengiriman). Kemampuan perusahaan dalam mencari solusi ALBP saat terjadi perubahan permintaan produk juga akan berpengaruh terhadap aspek flexibility. Selain itu, jika ALBP terkait pula dengan pilihan-pilihan alternatif proses yang mempengaruhi kualitas, maka ALBP secara tidak langsung dapat berpengaruh pula terhadap aspek quality. Walaupun penelitian ALBP telah sangat berkembang (Battaïa dan Dolgui, 2013; Boysen dkk., 2022), penggunaan HRC dalam sistem perakitan memunculkan karakteristik permasalahan baru dalam ALBP yang belum bisa dipecahkan dengan model-model ALBP yang telah ada. Karakteristik utama assembly line balancing problem with human-robot collaboration (ALBP-HRC) adalah adanya keputusan alokasi pekerjaan pada manusia saja, robot saja, atau manusia dan robot secara 3 simultan. ALBP-HRC berbeda dengan robotic assembly line balancing problem (RALBP) yang sudah lebih dahulu diteliti (Aghajani dkk., 2014; Borba dkk., 2018; Levitin dkk., 2006; Rubinovitz dkk., 1993). RALBP diperuntukkan bagi lintasan perakitan yang sepenuhnya robotik, contohnya lintasan pengelasan. Dalam RALBP keputusan yang ditambahkan pada ALBP adalah pemilihan robot dari beberapa alternatif yang ada. Sementara itu, ALBP-HRC memutuskan penugasan pekerjaan ke stasiun kerja sambil menentukan operatornya, apakah manusia, robot, atau HRC. Karakteristik lain dari ALBP-HRC sebagai implikasi dari keputusan penugasan kepada manusia, robot, atau HRC adalah munculnya aspek pengurutan pekerjaan (sequencing). Aspek pengurutan dalam ALBP-HRC merupakan pengembangan dari aspek pengurutan dalam ALBP dua-sisi atau two-sided ALBP (TSALBP) (Kim dkk., 2009; Özcan dan Toklu, 2009). Perbedaan antara ALBP-HRC dengan TSALBP terletak pada sifat pekerjaan yang dikerjakan oleh dua sumber daya dalam satu stasiun kerja; pada TSALBP operator kiri dan operator kanan senantiasa mengerjakan pekerjaan berbeda, sedangkan pada ALBP-HRC terdapat kemungkinan manusia dan robot mengerjakan pekerjaan yang sama secara simultan. Penelitian ALBP-HRC baru dimulai beberapa tahun terakhir (Çil dkk., 2020; Mura dan Dini, 2019; Nourmohammadi dkk., 2022; Weckenborg dkk., 2020; Weckenborg dan Spengler, 2019). Walaupun telah dibahas beberapa peneliti, namun penelitian-penelitian tersebut belum memperhatikan perbedaan kebutuhan jenis alat robot (robotic tool atau end effector). Alat robot adalah perangkat yang dipasang pada ujung lengan robot untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu. Jika jenis alat robot diperhatikan, penugasan beberapa pekerjaan yang menggunakan robot ke dalam satu stasiun kerja harus memperhatikan jumlah alat robot yang tersedia dan kapasitas automatic tool-changer (ATC). Penggunaan robot dan HRC juga dapat membuka kemungkinan adanya kumpulan pekerjaan alternatif untuk mencapai satu tujuan yang sama. Hal ini dimungkinkan dengan tersedianya berbagai alternatif pengerjaan oleh manusia, robot, atau HRC, dengan berbagai alternatif jenis alat robot. Sebagai contoh, suatu pekerjaan manual 4 perakitan untuk mengencangkan empat buah sekrup; alternatifnya adalah mengganti pekerjaan manual tersebut dengan robot yang mengencangkan sekrup satu per satu secara berurutan dengan standard robotic screwdriver, atau alternatif lainnya adalah mengencangkan empat sekrup sekaligus menggunakan special multiple-screwdriver. Karena pembatas urutan-urutan pekerjaan dalam ALBP biasa dinyatakan dalam suatu precedence graph, permasalahan adanya kumpulan pekerjaan alternatif ini dinyatakan dalam alternatif subgraf. ALBP yang mempertimbangkan adanya alternatif subgraf disebut sebagai alternative subgraphs ALBP (ASALBP) (Capacho dan Pastor, 2008; Scholl dkk., 2009). ASALBP dapat dikembangkan dalam berbagai generalisasi ALBP lainnya, misalnya Leiber dkk. (2021) yang menambahkan permasalahan pemilihan alat dan lintasan paralel. Relevansi konsep alternatif subgraf dalam perencanaan perakitan dengan HRC mengindikasikan perlunya pembahasan ALBP-HRC yang mempertimbangkan alternatif subgraf. Setiap permasalahan ALBP dapat dirumuskan dalam bentuk model matematis untuk menemukan solusi optimal. Berdasarkan fungsi tujuannya, terdapat dua jenis model matematis ALBP yang paling mendasar yaitu (1) minimisasi jumlah stasiun kerja, dan (2) minimisasi waktu siklus (Scholl, 1999; Boysen dkk., 2007). Fungsi tujuan minimisasi jumlah stasiun kerja digunakan jika waktu siklus lintasan telah ditetapkan, sementara perusahaan memiliki pilihan untuk mengubah jumlah stasiun kerja. Karena setiap stasiun kerja memiliki implikasi biaya, maka minimisasi jumlah stasiun kerja secara implisit berarti minimisasi biaya. Contoh kondisi semacam ini adalah saat pemanufaktur telah terikat target laju produksi tertentu. Laju produksi yang telah ditetapkan tersebut dapat dikonversi menjadi waktu siklus dan menjadi pembatas (constraint) dari permasalahan. Sementara itu, fungsi tujuan minimisasi waktu siklus digunakan jika sumber daya lintasan, dalam hal ini stasiun- stasiun kerja, sudah ditetapkan dan tidak ada pilihan untuk mengubahnya. Contoh kondisi semacam ini adalah saat pemanufaktur belum memiliki pilihan untuk mengubah konfigurasi sumber daya, namun terjadi perubahan permintaan, sehingga yang bisa dilakukan adalah mengetahui kapasitas maksimum lintasan perakitan, melalui minimisasi waktu siklus. 5 Fungsi tujuan minimisasi jumlah stasiun kerja menjadi sulit dimaknai dalam ALBP- HRC karena sebuah stasiun kerja dapat terdiri dari seorang manusia saja, sebuah robot saja, atau seorang manusia dan sebuah robot sekaligus. Adanya perbedaan biaya terkait penyediaan dan penggunaan manusia dan robot mengindikasikan bahwa diperlukan fungsi tujuan minimisasi biaya total untuk sistem yang laju produksinya sudah ditentukan. Dalam ALBP-HRC, kedua kondisi sistem yang berbeda juga terjadi yaitu: (1) saat waktu siklus ditetapkan dan konfigurasi sistem bisa diubah maka diperlukan minimisasi biaya total, dan (2) saat konfigurasi sistem tidak bisa diubah (ditambah) maka diperlukan minimisasi waktu siklus. Dalam beberapa penelitian ALBP-HRC, Mura dan Dini (2019) serta Weckenborg dan Spengler (2019) menggunakan fungsi tujuan minimisasi biaya, sedangkan Weckenborg dkk.