11 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Perkembangan Wilayah Pedesaan dan Kebutuhan Air Bersih II.1.1 Perkembangan Wilayah Pedesaan Pengembangan wilayah di Indonesia cukup bervariasi, dimana dipengaruhi oleh berbagai model ataupun teori-teori pengembangan wilayah, juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, administrasi pembangunan, serta sistem pemerintahan (Diartho, 2018). Masalah utama di pedesaan umumnya ditunjukkan oleh tingkat kemiskinan yang tinggi, pendidikan dan kesehatan yang rendah, juga segala fasilitas berupa sarana dan prasarana yang tidak tersedia untuk mendukung kehidupan masyarakat di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan di pedesaan masih belum optimal. Pembangunan merupakan sebuah proses perubahan yang dapat terjadi pada aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dengan demikian, pengertian pembangunan pedesaan dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk merubah kondisi kehidupan sosial dan ekonomi penduduk pedesaan menjadi lebih baik (Burano, 2017; Rustiadi dkk., 2009). Menurut Gai dkk., (2020) pembangunan dapat dipahami melalui beberapa pengertian, yaitu: (a) didasarkan pada suatu rencana; (b) bermuara pada satu tujuan; (c) terdiri dari rangkaian kegiatan; dan (d) pembangunan sebagai upaya perbaikan Syafa’at, dkk., (2003) menuturkan bahwa untuk memastikan keberlanjutan eksistensi masyarakat, tujuan pembangunan harus mencakup tiga aspek utama: (a) pertumbuhan, (b) keberlanjutan, dan (c) pemerataan. Pada poin ketiga yaitu pemerataan dapat dimaknai sebagai suatu upaya pembangunan dimana harus mengurangi perbedaan dalam tingkat pembangunan dan kemakmuran pada wilayah yang berbeda. Misalnya akibat kegiatan pembangunan terdapat daerah-daerah tertentu yang lebih maju dan daerah lainnya masih terbelakang. Menurut Pranoto (2002), tujuan pembangunan pedesaan dapat dicapai dengan mengintegrasikan kegiatan utama yang meliputi: (a) pembangunan fasilitas dan 12 infrastruktur; (b) penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat; (c) pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (d) pengembangan sistem agribisnis; (e) pengembangan jaringan produksi dan pemasaran; (f) pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan serta peningkatan ekonomi keluarga miskin secara terpadu; (g) penguasaan teknologi tepat guna; dan (h) penyempurnaan struktur organisasi pemerintah desa serta lembaga-lembaga ekonomi lainnya. Terkait dengan pernyataan Pranoto (2002) diatas, pembangunan pedesaan khususnya pada sarana dan prasarana perlu menjadi perhatian sendiri. Burano (2017) dalam kajiannya menyampaikannya bahwa perlu ada upaya peningkatan infrastruktur dasar di pedesaan antara lain pembangunan infrastruktur air bersih di kawasan pemukiman, pembangunan fasilitas pengolahan sampah terpadu (TPST), serta penyediaan alat angkut sampah. II.1.2 Kebutuhan Air Bersih Pedesaan Akses universal terhadap air adalah masalah global yang menantang negara-negara di seluruh dunia dalam upaya memenuhi hak atas air sebagai hak asasi manusia. Kepentingan akses terhadap air bersih telah menjadi perhatian global sejak lama. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan pentingnya hak atas air, seperti yang disampaikan dalam Wattimena (2021): "Air adalah esensi kehidupan, tanpa air, manusia tidak dapat hidup lebih dari beberapa hari. Air berperan penting dalam hampir setiap fungsi tubuh, melindungi sistem kekebalan tubuh, pertahanan alami tubuh, dan menguraikan zat-zat sisa." Menurut Kasim (2015) hak atas air minum sebagai hak asasi manusia dapat dilihat dari dua perspektif terkait peran negara dalam menjamin hak warga negara atas air, yaitu perspektif hak asasi manusia dan penguasaan negara atas sumber daya air. Dari sudut pandang hak asasi manusia, peran negara diatur dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Dari perspektif penguasaan oleh negara, maka negara telah diberikan mandat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air melalui 13 BUMN dan/atau BUMD berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Negara harus menjamin terpenuhinya hak warga negara atas air. Penyediaan instalasi air bersih di pedesaan menjadi penting untuk memenuhi akses terhadap air bersih bagi masyarakat desa. Sistem penyediaan air bersih di pedesaan masih rendah khususnya bagi masyarakat miskin (Masduqi dkk., 2008). Pembangunan infrastruktur air bersih di wilayah pedesaan pada era 1970-2000 banyak mengalami kegagalan secara operasional dan pengelolaan (Bappenas, 2003). Pola pembangunan yang diterapkan dengan pendekatan top-down dan minim melibatkan partisipasi masyarakat diduga menjadi penyebab kegagalan tersebut. Adapun kendala dalam penyediaan air bersih di pedesaan dapat disebabkan oleh faktor politis, finansial, institusional, dan teknis (Lenton dan Wright 2004). Kemiskinan menjadi pendorong rendahnya akses air bersih di wilayah pedesaan. Kajian yang dilakukan oleh VanDerslice (2011) untuk mengetahui hubungan antara akses dan kualitas air serta karakteristik sosioekonomi dan demografi di Amerika Serikat, dimana hasil kajiannya menunjukkan bahwa banyak masyarakat berpenghasilan rendah dan minoritas tidak memiliki akses terhadap air perpipaan. Masyarakat pedesaan sebagian besar mengandalkan sumur sungai dan/atau mata air alami sebagai sumber air minum. Pengujian kontaminan secara berkala harus menjadi praktik standar, namun EPA tidak mengatur sumur pribadi dan mata air alami. Tanggung jawab untuk melakukan uji kebersihan dan kelayakan air berada di tangan pemilik rumah, sementara pengujian tersebut membutuhkan biaya yang mahal bagi penduduk berpenghasilan rendah. Kebutuhan air bersih di pedesaan dapat dibagi berdasarkan kegiatan yang dilakukan. Umumnya keperluan air bersih digunakan untuk kegiatan domestik, non domestik (Astani, 2021; Mampuk, dkkk., 2014; Yassin, dkk. 2013). Air bersih untuk keperluan domestik adalah air yang dibutuhkan untuk aktivitas rumah tangga. Air bersih untuk keperluan rumah tangga digunakan untuk kegiatan umum rumah tangga seperti mandi, 14 dan mencuci atau berbagai bentuk kebersihan lingkungan lainnya. Air ini biasanya diperoleh secara individu dari sumber yang dibuat oleh setiap rumah tangga, seperti sumur dangkal, jaringan perpipaan, atau hidran umum. Selain itu, air bersih juga dapat diperoleh melalui Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang dikelola oleh PDAM. Sementara itu keperluan air bersih untuk kegiatan non domestik yaitu keperluan air untuk sarana dan prasarana serta kegiatan komersial dan sosial. Sarana dan prasarana adalah fasilitas yang disediakan untuk kepentingan publik dan sosial, yang dapat meliputi pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, serta keperluan komersial, termasuk perkantoran, perhotelan, pariwisata, transportasi, industri, dan lain-lain. II.1.3 Pemerataan Penyediaan Air Bersih II.1.3.1 Teori Ketimpangan Wilayah Kajian mengenai pemerataan penyediaan air bersih sejatinya berangkat dari suatu teori ketimpangan wilayah yang diangkat pada pertengahan abad ke-19. Mubyarto (1995) mengklasifikasikan ketimpangan menjadi tiga jenis, antara lain: (1) Ketimpangan antar sektor, seperti sektor pertanian dan sektor industri; (2) Ketimpangan antar golongan ekonomi, yang cenderung terjadi pada struktur ekonomi bebas maupun kapitalis; (3) Ketimpangan antar daerah, yang terjadi akibat ketidaksamaan sumber daya yang tersedia. Sejak tahun 1990-an para ekonom neoklasik menyatakan bahwa ketimpangan regional merupakan fenomena sementara (Barro dan Sala-i-Martin, 1991). Teori pertumbuhan neoklasik yang diwakili oleh model Solow-Swan mulai ditinggalkan, kemudian diusulkan dua konsep utama, yaitu konvergensi β dan konvergensi σ, yang mana teori tersebut menyatakan bahwa negara kurang berkembang tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara kaya dan negara-negara maju. Kedua konsep ini memberikan gambaran mengenai ketimpangan, dimana ketimpangan antar negara secara keseluruhan akan menurun dalam jangka panjang sebagai akibat dari konvergensi β (Solow, 1956). 15 Pada tahun 1966 G. Williamson melakukan pengujian hipotesis terhadap Hipotesis Neo-Klasik yang mengatakan bahwa pada proses pembangunan pada tahap awal cenderung menunjukkan ketimpangan pembangunan yang meningkat antar wilayah. Ketimpangan tersebut akan berkurang secara perlahan diikuti proses pembangunan tersebut. Pengujian hipotesis neo-klasik terkait ketimpangan pembangunan antar wilayah dilakukan dengan membandingkan negara berkembang dan negara maju melalui pemanfaatan data time series dan cross-section. Kajian tersebut berkesimpulan Hipotesis Neo-Klasik terkait ketimpangan pembangunan terbukti benar secara empirik. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa pada proses pembangunan langsung menurunkan ketimpangan pembangunan wilayah, bahkan pada awal proses pembangunan ketimpangan pembangunan cenderung meningkat. Gambar II. 1 Kurva Regional Inequality oleh G.