14 Bab II Kajian Pustaka Bab ini menjelaskan kajian pustaka yang mendukung penelitian ini antara lain tata kelola dan kelayak hunian perkotaan, penggunaan lahan, tata guna lahan dan transportasi, transit-oriented development (TOD), pengembangan hunian terjangkau, konflik dan manajemen konflik, proses pengambilan keputusan- inovasi, kajian normatif, dan penelitian terdahulu. II.1 Tata Kelola dan Kelayak Hunian Perkotaan Tata kelola perkotaan dituntut adaptif seiring perkembangan kota yang dinamis dan adanya tantangan dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut membuat permasalahan perkotaan semakin kompleks dan menjadi isu sentral yang berdampak bagi banyak orang. Hari ini, 56% populasi dunia sudah tinggal dan hidup di perkotaan, dan diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 70% di tahun 2050 (World Bank, 2022). Proses urbanisasi yang terjadi menuntut kota agar dapat memfasilitasi aktivitas masyarakat dengan nyaman dan layak sebagai tempat bertempat tinggal, tempat bekerja, dan tempat untuk menikmati hiburan. Tuntutan tersebut membuat perkotaan perlu dikelola dengan baik sesuai dengan orientasi hasil dari tata kelola perkotaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkotaan (Kusbiantoro, 2001). Tantangan perkotaan dapat didekati melalui empat indikator performa kota yaitu kompetivitas dan produktivitas kota, keberlanjutan lingkungan kota, kelayak hunian kota, serta inklusi dan keadilan sosial (Newton, 2012). Menurut Newton (2012), perkotaan merupakan refleksi dari interaksi empat dimensi tersebut, yang hasilnya juga dipengaruhi oleh kualitas dan bentuk tata kelola yang dilakukan. Kelayak hunian kota dinilai dengan mengestimasi atribut lokasi yang mempengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat perkotaan. Namun kelayak hunian kota cenderung dicapai dengan mengorbankan keberlanjutan lingkungan perkotaan. Hal ini membuat penataan kota perlu memperhatikan efisiensi konsumsi sumber daya untuk mewujudkan kelayak hunian kota, terutama penggunaan lahan. 15 II.2 Penggunaan Lahan Bagian ini menjelaskan hak penggunaan lahan, pengambilan keputusan dalam penggunaan lahan, dan keterlibatan pemerintah dalam penggunaan lahan. II.2.1 Hak atas Penggunaan Lahan Pelaksanaan perencanaan tata ruang terdiri dari perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang kota sebagai perangkat operasional manajemen lahan perlu memastikan produk rencana telah mempertimbangkan hak-hak dasar manusia. Pada dasarnya, perencanaan merupakan upaya untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan tanpa mengorbankan kebutuhan di masa mendatang. Sumber daya tersebut dibutuhkan untuk menunjang pemenuhan hak dasar manusia yang timbul karena adanya kebutuhan jasmani dan emosional, dimana penyediaan kedua kebutuhan tersebut perlu dilakukan dengan mengalokasikan ruang. Misalnya, manusia berhak atas tempat tinggal dan hunian yang layak 4 sehingga perencana perlu mengalokasikan lahan yang cukup untuk guna lahan permukiman dalam rencana tata ruang. Oleh karena itu, selain adanya hak dasar manusia, maka perencana juga perlu memahami hak atas penggunaan lahan. Menurut Beatley (1994), hak atas penggunaan lahan bisa dibedakan menjadi dua yaitu hak negatif dan hak positif. Hak negatif penggunaan lahan ialah hak untuk bebas dari konsekuensi atau hasil buruk, misalnya bebas dari pelanggaran atau aktivitas yang merusak. Sedangkan hak positif ialah hak individu untuk menuntut suatu hal tertentu, seperti hak terhadap hunian dan bertempat tinggal, akses layanan kesehatan, transportasi, lingkungan dan alam. Kedua hak tersebut berkorelasi dengan kegiatan penataan ruang kota, dimana hak negatif dapat dicapai dengan pengendalian pemanfaatan ruang kota, sedangkan hak positif diwujudkan dengan perencanaan ruang dan pemanfaatan ruang. 4 UUD 1945 Pasal 28H 16 Perencana perlu memahami bahwa hak individu tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat digantikan dan diatur oleh orang lain meskipun penting untuk tujuan publik (Beatley, 1994). Oleh karena itu kehidupan, kebebasan, atau properti masyarakat tidak boleh dirampas tanpa proses hukum yang semestinya (prosedural dan substantif), dan tanpa perlindungan hukum yang setara. Proses hukum prosedural berusaha untuk memastikan bahwa semua warga negara diperlakukan secara adil dalam proses pengambilan keputusan publik dan diberikan kesempatan yang memadai untuk mengungkapkan pandangan mereka dalam pengadilan yang adil dan tidak memihak. Sedangkan proses hukum substantif menyatakan bahwa tindakan pemerintah, termasuk program dan kebijakan tata guna lahan, harus diarahkan pada tujuan yang masuk akal dan dilengkapi dengan sarana yang realistis untuk mencapainya. II.2.2 Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Lahan Pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua pendekatan dasar yaitu pendekatan yang berbasis pada lingkungan atau berbasis pada tujuan ekonomi (Mather, 1986). Pendekatan lingkungan menjelaskan bahwa penggunaan lahan ditentukan berdasarkan fisik lingkungan alamiahnya, sedangkan pendekatan ekonomi menjelaskan bahwa penggunaan lahan merupakan bentuk aktivitas ekonomi, sehingga ditentukan berdasarkan kekuatan ekonomi. Namun demikian, kedua pendekatan tersebut perlu diimbangi dengan mempertimbangkan dimensi manusia dan caranya dalam pengambilan keputusan dalam rangka memahami pola penggunaan lahan. Menurut Mather (1986), pengambilan keputusan individu akan dipengaruhi oleh banyak faktor (lihat Gambar II.1), meliputi 1) tujuan individu dalam menggunakan lahan; 2) proses atau sarana yang digunakan untuk mencapai suatu keputusan, dan 3) latar belakang yang secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi suatu keputusan. Secara singkat, tiga komponen utama dalam pengambilan keputusan ialah proses, obyektif, dan faktor-faktor yang memengaruhi. 17 Sumber: Mather, 1986. Gambar II.1 Proses Pengambilan Keputusan Penggunaan Lahan A. Proses dalam Pengambilan Keputusan Pada tahap proses pengambilan keputusan, individu perlu memilih metode yang digunakan yaitu antara lain model rasional, model inkremental, dan model mix- scanning. Ketiga model ini memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan muncul juga hasil kritik terhadap model lainnya. Model inkremental diperkenalkan oleh Lindblom pada tahun 1959 sebagai pilihan alternatif yang mengkritik model rasional. Sedangkan, model mix-scanning diperkenalkan oleh Etzioni pada tahun 1967 sebagai model alternatif untuk menjawab kekurangan dari model rasional dan model inkremental. Berikut dijelaskan masing-masing model dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan menurut Mather (1986), yaitu model rasional, model incremental, dan mix-scanning. Model rasional mengasumsikan bahwa pengambil keputusan memiliki akses pada informasi yang lengkap dan akurat, dan bahwa mereka mampu mengevaluasi 18 alternatif berdasarkan kriteria yang obyektif. Model ini juga mengasumsikan bahwa pengambil keputusan mampu membuat keputusan yang konsisten dengan preferensi dan nilai mereka. Kritik terhadap model rasional bahwa model ini tidak realistis karena pengambil keputusan seringkali memiliki informasi yang tidak lengkap, kemampuan kognitif yang terbatas, dan bias yang dapat mempengaruhi penilaian. Meskipun demikian, model rasional tetap menjadi alat yang berguna untuk pengambilan keputusan dalam banyak konteks, terutama dalam situasi di mana terdapat proses pengambilan keputusan yang jelas dan terstruktur. Incrementalism adalah proses pengambilan keputusan dengan membuat perubahan atau penyesuaian kecil pada kebijakan atau program yang sudah ada daripada menerapkan perubahan besar yang drastis (Allmendinger, 2017). Pendekatan ini mengakui bahwa pengambil keputusan seringkali memiliki informasi dan sumber daya yang terbatas, dan sulit untuk memprediksi hasil dari perubahan besar. Para kritikus dari incrementalism berpendapat bahwa pendekatan ini bisa lambat dan tidak efisien, dan mungkin tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Namun, para pendukung incrementalism berpendapat bahwa pendekatan ini adalah pendekatan yang lebih realistis dan praktis dalam pengambilan keputusan, terutama dalam lingkungan yang kompleks dan tidak pasti. Mixed scanning adalah proses pengambilan keputusan yang menggabungkan aspek dari kedua pendekatan, yaitu model rasional dan incrementalism. Pendekatan ini melibatkan pertimbangan terhadap tujuan jangka panjang dan kebutuhan yang mendesak, serta membuat keputusan yang seimbang antara kedua faktor tersebut (Mather, 1986). Para kritikus dari mixed scanning berpendapat bahwa pendekatan ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang inkonsisten dan mungkin tidak efektif dalam mengatasi isu-isu kompleks. Namun, para pendukung mixed scanning berpendapat bahwa ini adalah pendekatan yang fleksibel yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi pengambilan keputusan.