135 BAB 7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab 7 ini, akan dibahas mengenai temuan berdasarkan sasaran penelitian, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan penelitian, serta saran untuk penelitian lanjutan yang dapat menyempurnakan penelitian ini. 7.1 Temuan Penelitian Berdasarkan pembahasan penelitian, didapatkan beberapa temuan penelitian untuk menunjang penjelasan tiap sasaran penelitian yang telah ditetapkan sebagaimana poin-poin berikut ini: 1. Secara baseline geografis, wilayah peri-urban IKN yang ditetapkan sebagai kegiatan-kegiatan penunjang KIPP IKN saat ini memiliki latar belakang sebagai bekas perkebunan transmigran era 70an – 90an. Selain itu lahan pengembangan juga berasal dari lahan bekas perkebunan maupun cadangan tanah industri yang telah habis masa konsesinya. Pada hamparan kontur tanah berbentuk relatif bergelombang dengan pola pembangunan mengikuti pola punggung sapi. 2. Secara baseline sosio-ekonomi, masyarakat pada wilayah studi berprofesi sebagai perkebun dengan secara turun-temurun bekerja pada lahan garapan. Adanya penetapan IKN di delineasi tempat tinggal masyarakat menjadikan adanya peningkatan skala ekonomi maupun adaptasi terhadap kultur yang baru akibat tekanan pengembangan yang ada. 3. Adanya berita mengenai delineasi IKN yang berada pada wilayah studi memicu adanya diskursus yang masif antar para stakeholders baik pemerintah tiap level perencanaan, masyarakat, serta pihak swasta. Intensifikasi atas pembangunan IKN yang berskala nasional sekaligus diprioritasi menjadikan upaya-upaya spekulasi terhadap lahan yang dimiliki pada akhirnya tereskalasi. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya aktivitas penawaran terhadap lahan maupun aktivitas pengajuan administrasi lahan yang ada di tiap desa. 4. Secara bentuk fisik komodifikasi lahan pada wilayah peri-urban IKN berusaha untuk menyerap profit akibat adanya kegiatan konstruksi IKN serta imajinasi terhadap magnitudo pembangunan di masa depan. Bentuk-bentuk komodifikasi secara fisik yang dapat dilihat adalah berupa pembangunan-pembangunan usaha 136 yang dimaksudkan untuk menopang aktivitas kontruksi IKN yang sedang masif. Dominasi pembangunan baru yang dapat dilihat adalah seperti rumah kontrakan serta pengembangan kos-kosan untuk pegawai konstruksi IKN. Usaha lain yang dibangun pada skala kecil adalah seperti toko kelontong, warung makan, tempat cuci kendaraan, kounter pulsa, hingga pada skala medium dan besar terdapat pembangunan hotel dan kafe yang dilakukan oleh masyarakat. 5. Pada ekplorasi terkait bagaimana proses komodifikasi berjalan, bentuk finansialisasi yang dapat dilihat adalah berasal dari faktor enabling regulasi OIKN dimana memprioritaskan arah pembangunan termasuk kepemilikan kapitalisasi pada masyarakat asli atau eksisting. Asal modal dalam melakukan komodifikasi ini sebagian besar dari modal tabungan yang telah dimiliki oleh masyarakat sebelumnya. Selain itu, tambahan kapitalisasi modal dapat diperoleh dari uang ganti untung yang diberikan oleh OIKN dalam upaya pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang nilainya lebih tinggi dari penetapan appraisal. Pada upaya peningkatan jejaring aktor, beberapa masyarakat juga melakukan kegiatan peminjaman modal dari kerabat, saudara atau teman. 6. Pada dasarnya transaksi atas lahan terjadi secara informal yang dipasarkan melalui jaringan pertemanan, kerabat, saudara, maupun kolega. Beberapa masyarakat yang kesulitan dalam memasarkan akan menggunakan jasa makelar tanah. Bentuk pemasaran dapat melalui permintaan langsung pasar pada lokasi, maupun pemasaran secara pengiklanan. Karena belum ada regulasi pengesahan pengalihan HAT, maka bentuk transaksi dibuktikan melalui kuitansi atau nota jual beli lahan dengan rangkaian kesepakatan penjual dan pembeli. 7. Katalisasi atas proses komodifikasi lahan yang terjadi dilingkupi oleh bagaimana kerangka regulasi yang bekerja terutama dari pihak OIKN yang memberikan otoritas penuh dalam pengelolaan lahan dan ruang. Pengaturan yang memihak atas rollover kapital adalah seperti pengutamaan land tenure yang ada pada masyarakat secara eksiting dijaga oleh mekanisme land freezing. Namun demikian mekanisme ini belum memiliki SOP yang pakem serta diseminasi informasi hingga level masyarakat masih tidak optimal. Selain itu, pada wilayah III dengan kewenangan regulasi di luar OIKN menjadikan upaya pengendalian 137 pembangunan lebih sulit dilakukan karena membutuhkan sinergi dan integrasi kebijakan dengan pemerintah daerah wilayah-wilayah penyangga. 8. Pada karakterisasi komodifikasi lahan secara spasial dapat dilihat bahwa semakin dekat terhadap pusat pengembangan konstruksi KIPP pola pembangunan bersifat linear terhadap poros jalan utama menjamur pada sempadan jalan. Di sisi lain, pada wilayah II yang lebih jauh dari pusat menunjukkan pola pembangunan baru yang lebih terdispersi karena cadangan lahan pada persil yang jauh di belakang poros jalan dapat dikembangkan untuk mempersiapkan investasi masa depan. Lebih jauh, pada wilayah peri-urban III lebih menunjukkan pola pemersiapan pengembangan lahan pada skala besar yang dilakukan oleh para kelompok tani maupun pihak pengembang swasta. 9. Pada karakteristik waktu dalam fenomena komodifikasi menunjukkan bahwa laju komodifikasi cenderung memuncak setelah pengumuman penetapan IKN, lalu menurun setelah penerbitan edaran peraturan tentang land freezing. Pada sisi transaksi lahan pada realitanya tidak terikat oleh mekanisme land freezing karena tetap berjalan secara informal. Sejalan dengan jarak terhadap pusat konstruksi IKN, semakin jauh maka laju komodifikasi semakin lambat.