115 BAB 6 PROSES KOMODIFIKASI LAHAN PADA WILAYAH PERI - URBAN IKN Identifikasi dan luaran pada bab 6 ini berupa gambaran dan penjelasan dari proses komodifikasi lahan dalam menjawab sasaran 2 penelitian yang ditinjau dari pendekatan sirkuit komodifikasi mulai dari hulu ke hilir. Penjelasan mengenai kerangka proses ini dapat melihat sampai sejauh manakah fase komodifikasi yang telah terjadi pada wilayah peri-urban IKN. 6.1 Fase Pra-Produksi Pada fase awal proses komodifikasi lahan, siklus produksi ruang baru yang dilakukan pada perspektif masyarakat dapat dilihat pada penciptaan nilai tambah dari diskursus mengenai transaksi jual-beli lahan yang tetap dilakukan secara informal. Efek kolateral dari adanya diskursus mengenai nilai tambah tersebut dapat pula berupa penyewaan bangunan dan pengembangan aset untuk upaya komersialisasi. Secara fisikal, visioning atas pemaknaan ruang untuk mengubah atau memodifikasi lahan dan bangunan menjadi real estate yang bernilai lebih tinggi dilakukan dalam merespon kebutuhan pembangunan IKN yang sedang berlangsung dalam tempo tinggi. Respon atas tekanan pembangunan dari adanya pusat pertumbuhan baru tersebut menjadikan adanya pergeseran persepsi masyarakat atas lahan dari fungsi penggunaan (use value) menjadi fungsi pertukaran (exchange value). Diskursus yang muncul akibat imajinasi mengenai adanya peningkatan nilai tanah tersebut menjadikan lahan yang sebelumnya bersifat ide pengembangan menjadi intensi pembangunan untuk selanjutnya memunculkan bagaimana bentuk modifikasi atas lahan maupun bangunan yang paling memungkinkan (possible) dan diinginkan (desirable). Fenomena pergeseran makna nilai atas lahan ini merupakan proses dua arah yang menghubungkan antara kerangka sirkuit reproduksi sosial dan kapitalisasi industri dalam merespon dinamika society-materiality-nature dalam membentuk ruang baru. Maka dari itu nilai baru yang muncul telah termanifestasikan sebagaimana dijelaskan pada Bab 5 sedemikian rupa sehingga tanah memiliki nilai moneter. 116 “Ya sempat memang tidak terlalu lama si waktu itu sempat banyak yang datang kesini ketika tim-tim dari jakarta banyak yang kesini, nah itu sempat 2 bulan daerah IKN didata, nah masyarakat sempat panik karena kenapa tanah kita didata, dll. Tapi seiring dengan berjalannya waktu kita melakukan sosialisasi, akhirnya ya mereka mendukung.” (Pak Adi, 30 April 2024) Berdasarkan tinjauan dari input komodifikasi lahan, masyarakat telah mendapatkan legalitas kepemilikan atas lahan yang sebagian besar merupakan lahan transmigrasi yang telah diturunkan ke beberapa generasi. Adanya sumber daya lahan dengan status milik dengan hamparan setidaknya 1 (satu) hektar per kepala keluarga tersebut kemudian menciptakan kebebasan yang lebih fleksibel dalam mengeksekusi langkah komodifikasi secara lebih jauh. Diversifikasi atas bentuk komodifikasi selanjutnya dipertimbangkan melalui produksi nilai sosial dalam bentuk kemampuan dalam melakukan komodifikasi atas lahan, serta termanifestasi melalui kemampuan entrepreneurship publik. “Isu IKN kalau saya lihat dari track tendensinya ya Pak Isu IKN itu sempat naik Sempat naik isu IKN Yang setelah gonjeng-gonjeng kemarin iya atau tidak itu mulai turun lagi Tapi yang paling banyak hanya bertanya saja Realisasi masih lokal” (Pak Andi, 25 April 2024) Perspektif sosial dalam menginisiasi komodifikasi lahan terbentuk akibat visioning atas peningkatan nilai aset di masa depan. Munculnya pandangan tersebut dirasakan lewat bagaimana tarikan yang besar atas proses konstruksi IKN dengan input labour secara masif, sehingga tekanan atas berbagai permintaan pembangunan meningkat dalam pemenuhan kebutuhan produksi ruang IKN tersebut. Sirkuit produksi sosial dalam pemaknaan visi komodifikasi di masa depan ini tidak terlalu mempertimbangkan aspek fisik lahan dikarenakan wilayah delineasi penelitian yang relatif homogen. Secara sumber daya material, masyarakat cenderung tidak melakukan investasi agresif dalam rangka spekulasi yang impulsif ditunjukkan dengan bentuk komodifikasi sesuai taraf penghidupan serta tidak adanya insentif skema pinjaman pada bank setempat. Adapun bentuk penghambat laju pra-produksi komodifikasi ditunjukkan oleh input regulasi yang melingkupi terkait transaki jual-beli lahan yang minim akuntabilitas serta dinamika pengaturan tata ruang yang masih sangat dinamis. Variabel regulasi tersebut kemudian menjadi penentu dalam lancar tidaknya aliran dalam proses 117 komodifikasi. Kerangka regulasi dalam penatagunaan lahan menentukan bagaimana bentuk komodifikasi karena menentukan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam memaksimalisasi pendekatan produksi ruang yang optimal. Dalam keberjalanannya, sebagian masyarakat pada wilayah I menunjukkan spekulasi yang lebih agresif dengan mengabaikan variabel regulasi dengan kesiapan untuk menerima konsekuensi atas upaya produksi ruang yang dilakukan baik secara fisik maupun regulatif. “Bahkan masyarakat ada yang menyewakan rumah utamanya dan membuat pondok seadanya karena harga sewa yang tinggi” (Bu Sri, 29 April 2024) “Kalau buka usaha/kerja nambah rame, jd penghasilan nambah, jd lumayan drastis, klo di balikpapan itu paling 10, disini bisa 2x lipat” (Thandra, 1 Mei 2024) Dalam menangkap adanya peningkatan nilai kawasan, publik termobilisasi oleh adanya imajinasi secara komparatif mengenai pembangunan kawasan skala besar yang telah ditunjukkan pada metropolitan DKI (Daerah Khusus Ibu Kota) Jakarta. Secara prediktif, pelaku komodifikasi memiliki kemampuan imajinasi yang berbeda-beda terkait seberapa cepat proses, bentuk yang direncanakan, serta skala pengembangan yang diinginkan. Pengetahuan terkait kepastian rencana pembangunan IKN yang masih dinamis, fleksibel dan kurang akuntabel di tiap level perencanaan menjadikan wujud komodifikasi yang disesuaikan dengan impulsifitas pasar yang dapat ditangkap oleh para aktor komodifikasi. “Wah malah saya baru tau soal itu ada SOP ya mungkin nanti bakal sampe sini, tapi ya selama ini yang terjadi masyarakat tidak tau dan kita ngejalanin aturan yang terakhir kami tahu aja.” (Bu Dirna, 30 April 2024) Secara persepsi komodifikasi dalam fase pra-produksi ini, sumber daya lahan diupayakan untuk menjadi lebih visibel dan konduktif untuk dikomodifikasikan melalui bagaimana transformasi persepsi pada lahan dan ruang. Transformasi tersebut dapat ditinjau berdasarkan proses kualifikasi, commensuration, disentanglement dan legitimasi. Berdasarkan dari temuan hasil lapangan, kerangka proses tersebut kurang lebih dapat menjelaskan fase awal fenomena komodifikasi dalam konteks publik. Pada tinjauan lahan masyarakat yang telah dikuasasi secara turun temurun menunjukkan bahwa secara kualifikasi, masyarakat telah memiliki hak yang terkuat untuk dapat mengomodifikasikan resource lahan tersebut. 118 Selanjutnya, artikulasi terhadap makna baru atas lahan yang telah dimiliki tersebut tidak semata-mata dikomodifikasikan secara transaktif, namun juga secara fisik. Secara transaktif, artikulasi commensuration ditunjukkan oleh upaya penawaran aset baik berupa lahan maupun bangunan kepada pasar. Penentuan harga tawar dalam tiap wilayah ditentukan oleh kesepakatan baik langsung maupun tidak langsung yang dilakukan antar warga dalam melihat penetapan harga lahan maupun bangunan. Pada praktinya, pemikiran terkait pemisahan antara aset lahan dengan konteks yang melingkupinya terjadi lewat bentuk pengalihan hak atas masyarakat kepada kepentingan publik, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki kuasa atas aset lahan. Namun demikian, disentanglement tersebut dipisahkan dengan adanya kompensasi dari pembebasan lahan melebihi NJOP. Dari sisi masyarakat, upaya untuk melakukan legalisasi di fase awal dalam memulai praktik komodifikasi tidak dapat dilakukan secara formal, pada fase terakhir ini, masyarakat dapat menunggu regulasi yang pasti ataupun berspekulasi dalam memutar kapitalisasi input produksi pada skala yang lebih besar. Secara lebih jauh, katalisasi atas diskursi komodifikasi lahan ini dibalut oleh set kerangka peraturan OIKN. Berdasarkan kuasa OIKN dalam fungsi regulasi penatagunaan lahan, SOP yang belum final telah terlebih dahulu didiskusikan secara internal. Pada kerangka pra-produksi di level regulatif ini, kinerja koordinasi antar pemangku kebijakan lebih diarahkan untuk melihat bagaimana kesesuaian pengembangan dengan visi pembangunan IKN di masa depan. Kerangka regulasi ini nantinya akan memastikan bagaimana penyesuaian antara komodifikasi yang terjadi secara eksisting dengan dinamika pembangunan IKN yang terus berkembang. Berdasarkan analisis dan pengamatan yang terjadi, fase pra produksi komodifikasi lahan yang terjadi pada wilayah peri-urban IKN dapat diskemakan kurang lebih sebagai berikut (Gambar 6.1): 119 Gambar 6.1 Skema Fase Pra Produksi Komodifikasi Lahan Peri-Urban IKN Sumber: Analisis berdasarkan Hudson, 2024 6.2 Fase Produksi Diskursif Tahapan produksi diskursif yang dapat diidentifikasi pada peri-urban IKN secara umum yang dapat dilihat adalah variasi bentuk-bentuk komodifikasi fisik dan transaktif sebagai penyaluran sumber daya lahan yang sebelumnya adalah komoditas fiktif menjadi komoditas riil. Pada tahap awal fase ini dapat ditinjau pada bentuk transformasi input sumber daya kepada produksi ruang dalam hal ini adalah lahan dan bangunan. Upaya konversi komoditas tersebut disalurkan secara fisik melalui bagaimana kemampuan masyarakat dalam mengelola lahan dan bangunan menjadi memiliki exchange value yang lebih optimal. Variasi komodifikasi secara fisik yang diwujudkan oleh masyarakat menunjukkan adanya proses spatial delivery arrangement yang mana disesuaikan dengan kebutuhan pasar secara optimal. Wujud yang dapat dilihat adalah dominasi pengembangan lahan menjadi 120 bangunan kontrakan dan kos-kosan untuk pegawai konstruksi. Pengembangan tersebut dianggap lebih acceptable dan desirable. “Ya itu, pinter-pinteran nangkap peluang, jangan jadi penonton lah karena kesempatan itu di depan mata (Pak Arief, 29 April 2024) “Jadi tanah-tanah yg berasal dari kawasan hutan tadi kawasan tanah negara itulah yg kita berikan kpd investor dibangun istana, dibangun jalan, kemudian banyak kabar tanah untuk kepentingan umum yang itu bukan untuk investor”. (Pak Firyadi, 26 April 2024) Secara pengiriman ide, para pemilik lahan menyalurkan pemikiran terkait komodifikasi yang diinginkan kepada tenaga kerja konstruksi dengan ragam bangunan yang relatif homogen sehingga lebih mudah untuk dieksekusi, dapat dilihat pada ragam bangunan yang sederhana dan dapat dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam bentuk transaksi, aktivitas komodifikasi disalurkan melalui konsumen pasar pencari lahan. Diseminasi informasi pemasaran kepada konsumen lebih banyak dilakukan melalui saluran-saluran hubungan dekat seperti komunikasi penjualan dari tetangga, teman, maupun saudara. Selain itu, pemasaran juga dapat dilakukan melalui makelar beserta tim atau jaringan broker antar wilayah yang saling berkoordinasi. Mekanisme yang berlaku dalam penyaluran tersebut lebih bersifat spekulatif mengingat regulasi tata ruang yang masih dinamis serta terdapat periode dalam pembekuan aktivitas transaksi.